Saat ini bermukim dan mengambil studi humaniora di Yogyakarta. Instagram; @rulyandsyah

Perihal Undangan Menulis

Rully Andrian Syah

4 min read

Kenalan atau teman-teman saya memang baik. Mereka adalah pejuang-pejuang saleh yang tiada letih melelang kesempatan-kesempatan menulis. Mungkin saking jarangnya mereka dapati orang menulis atau yang mau menulis, sehingga obral mengobral untuk menulis seringnya mendamprat muka saya. Antara saya dengan seekor kucing macam tak ada pembeda, sama-sama disodori ikan asin. Kami suka, tetapi tidak setiap saat. Mungkin pula kucing-kucing tak ingin disamakan dengan saya. Karena, mereka kapanpun selalu siap menggondol ikan.

Sementara, saya akan lebih girang menyelami olah vokal Mariya Takeuchi atau menyedot khusyuk kanal video Martin Suryajaya. Sebab, menulis adalah proses pecah belah yang sedikit senang-senangnya. Dugaan saya teramat mungkin keliru dan berbanding terbalik. Orang-orang, hari ini, justru kian gemar menulis. Saya heran, harapan apa yang mendasari orang untuk menulis, selain kelezatan kilat ketika tulisan itu siap santap!? Barangkali, kenikmatan menulis hanya mengerami jantung sebagian orang dan bukan untuk saya.

Perkara undangan menulis, memang, tak mungkin diceraikan dari lingkaran saya di kampus. Akan sangat mudah bagi orang-orang mengendusi keberadaan saya. Terkadang bikin gondok semisal arah percakapan mulai menyitir soal menulis. Saya kerap terbelalak dan seluruh anggota badan mendadak kebas setiap akan meningkahi. Kikuk lantas mengiyakan. Kiranya, ini masalah jam terbang.

Pertemuan dengan oknum-oknum jahat yang mengenal saya lewat tulisan, jika berawal diskusi maka ujung-ujungnya adalah ajakan untuk menulis. Ini menyebalkan sekaligus bikin repot. Asa saya untuk menongkrong ceria dan bergosip cantik buyar melompong. Folklor-folklor yang saya karang dari rumah dengan tipu muslihat, yang berniat menggeser lambe turah, gagal menghantui batok-batok kepala mereka. Selain lebih purba, mendongeng, jelas lebih kecamuk ketimbang menulis.

Kendati demikian, pembaca-pembaca sinting teramat nafsu dengan kata-kata bertenaga. Jenis narkoba apa yang terkandung dalam kata-kata? Dari lempung mana kata-kata tercipta? Saya agak resah dengan kecanduan para pembaca. Sekalipun berderet mesin pintar pengolah kalimat (ChatGPT, OpenAi, Gemini, Perflexity, dsb.), mereka sama sekali tak selera dengan kepraktisan, “Tulisan itu kurang emosi!”

Saya terharu mendengar gema dada pembaca yang masih percaya tangan-tangan penulis dari bangsa manusia. Artinya, giat tukang menukang menulis belumlah dikecup maut. Dengan kata lain, kami yang menulis kembali memburuh.

Baca juga:

Saya amati benar pola undangan menulis dan tentu tidak semua ajakan bernasib mujur. Memang, hampir semua saya terima. Tetapi bukan berarti tak ada yang menggantung. Tampaknya jelas tidak sedap, ketika saya terlanjur mengiyakan dan bahkan tidak menyelesaikan tulisan dalam tenggat yang disepakati. Ini bibit penyakit, tetapi sungguh, kemalasan di burjo sembari menyeruput Supermi adalah semulia-mulianya ritus harian. Lepas itu ngopi, mendengar Plastic Love, kembali mengaso, merancap, dan mempertanyakan rencana-rencana hidup.

Kasus lainnya, kadang ada target pribadi untuk mengirim tulisan ke sebuah media atau semacam menjajal keberanian ikut sayembara. Tetapi draft-nya pun hanya layar putih Microsoft Word. Di lain kesempatan, saya kerap menerima surat-surat cinta dan membayangkan wajah-wajah beringsut ‘penjaga gawang’ (redaksi) selepas membaca tulisan saya; “apa-apaan ini!?”

Sewaktu jemari saya bergemerutuk dan mantap menulis, terkadang muncul pula begajulan tengik bernama pesakitan, yang menyelonjorkan polisi tidur dan menggulingkan saya dari tampuk menulis. Kiranya, ada empat kategori undangan menulis yang sering menodong bayonet ke tempurung otak saya.

Pertama, menulis lucu-lucuan. Terlalu banyak hal menarik untuk ditulis dan saya cukup kesulitan menumpahkan air bah jika menulis sekadar lucu-lucuan. Saya suka, sih, dalam taraf tertentu. Siapa coba yang tak ingin berlaku centil dan berakrobat seperti jaranan dalam tulisan?

Kemunculan terma “lucu-lucuan” dalam menulis, saya kira, seiring dengan maraknya media-media yang meminta tulisan santai tapi tak kekurangan bobot. Gegasnya kehidupan dan mobilisasi membuat kita mengonsumsi ironi secara surplus. Minat pembaca terhadap tulisan-tulisan karikatur, anekdot, dan satir lagi tinggi-tingginya. Namun, batas konsumsi yang tak terkontrol juga agaknya menghawatirkan, setidaknya bagi saya. Keberayunan saya menulis lucu-lucuan dengan yang baku mesti sepadan.

Diundang atau tidak diundang, menulis lucu-lucuan memiliki jatah sendiri, entah yang memecah atau sangat memecah. Urusan-urusan asyik dalam jenis tulisan ini terletak pada kebebasan tema, diksi, cara bertutur, dan seabrek pembangkangan yang meloncati batas mistar menulis serius.

Kedua, undangan menulis eksperimental. Banyak yang lupa bahwa bumbu rahasia eksperimen adalah ketidaksengajaan. Tengoklah riwayat choco chips, korek api, penisilin, kantung teh, dan daftar-daftar lain. Tak terkecuali menulis, kadang berhasil, tapi lebih besar kemungkinannya menepuk dahi. Seringkali, eksperimen yang penuh sadar jarang memuaskan. Kejemuan kita akan bentuk-bentuk tulisan konvensional dan hasrat mengejar kebaharuan — menggenjot kita agar terburu-buru menggarap lahan secara sembrono. Ya, siapa tahu, ugal-ugalan satu dari seratus membuahkan watak tulisan yang sama sekali lain.

Namun, saya teringat kata Mbah Raymond Carver—cerpenis wahidun Amerika—dalam esai On Writing; “Too often ‘experimentation’ is a license to be careless, silly, or imitative in the writing. Even worse, a license to try to brutalize or alienate the reader.” (Terjemahan bebas: Seringkali tindakan iseng-iseng dapat menggiringmu menjadi gegabah, tolol, atau pembeo dalam menulis. Bahkan bejatnya, membolehkanmu untuk coba menyiksa atau mengisolasi pembaca).

Tulisan yang mengerikan adalah tulisan yang mengasingkan pembaca. Saya mewanti-wanti ini, walaupun tulisan eksperimen amat berpotensi mengantarkan penulis dan pembaca menuju lanskap baru. Sukses atau gagalnya eksperimen hanya pembaca yang bisa mengukur. Agaknya sulit juga mengharapkan hasil bagus dalam sekali percobaan. Dan, memang tak ada keharusan untuk mencoba. Di lain sisi, coba-coba adalah tabiat alami setiap pencipta. Jangankan manusia, Tuhan-pun memiliki narasi “menyempurnakan” untuk merevisi model-model ciptaan sebelumnya.

Ketiga, undangan menulis serius. Jenis yang ini banyak maunya, dan tentu klise. Sebab saya rasa adegan menulis tak pernah tidak serius. Kita kerap membelah mana tulisan serius dan mana tulisan kocak, padahal keduanya sama-sama menguras fokus. Menjemput ide-ide abstrak dan menjumputnya ke dalam kaleng bahasa bukanlah upaya mudah.

Dalam prosesnya, menulis serius punya tuntutan dengan kekakuan layaknya seorang fasis. Semua kaidah dan titik bengek bahan baku sudah diatur sedemikian ketat. Apa di sana letak seriusnya? Jawabannya masih belum. Itu baru derita awal. Akan ada mimpi buruk lanjutan. Lagipula menulis ringan nan nyelekit juga tak kalah ribet. Embel-embel populer yang sebisa mungkin menghindari kalimat mendatar macam tembok, pun menyediakan duri-duri jahanam yang bukan main. Halang rintang dalam proses mengoplos kata-kata hampir selalu mirip.

Baca juga:

Kegaliban menulis serius, anehnya, tegak lurus dengan kesanggupan saya merampungkan tulisan. Sependek ingatan saya, menulis serius itu menyulut ketegangan. Bahwa apabila saya tak tuntaskan seolah-olah hidup saya bakal terancam. Akhirnya, saya takluk dan bertafakur dengan komputer.

Keempat, menulis di blog pribadi. Tepatnya, bukan undangan melainkan tantangan, “Lama nggak nulis di Medium, Bang!” Laman pribadi menulis saya sekarang cuma Medium. Menulis di sana saya hajatkan sebagai seloroh asal-asalan. Tiada standar, tiada tenggat, hanya ada menulis. Kapan saja tulisan di Medium bisa saya lanjutkan dan lebur.

Fitur-fitur sekenanya bikin saya liar menulis, minusnya cuma internet. Selama masih terhubung dengan sinyal, saya bisa menjagal kalimat-kalimat dan mengunggahnya di mana pun. Saya menjadikan Medium sebagai laboratorium berjalan, sekalipun cuma draft, itu layak diperhitungkan. Singkatnya, saya bisa membekap telinga dan mengabaikan undangan menulis sekali nafas. Dalam hal ini, Medium, menentramkan hati saya dari tekanan-tekanan menulis.

Terlepas dari brengseknya undangan menulis, saya sungguh angkat topi. Berarti ada satu dua orang yang menyia-nyiakan waktunya untuk membaca tulisan-tulisan saya. Kalau ditanya antara membaca dan menulis, saya cenderung memilih membaca daripada menulis. Sampai kapan pun, membaca adalah prioritas dan tetap menjadi pekerjaan saya yang paling kudus. Sementara, menulis tak lebih kegiatan ikat mengikat simpul pembacaan, bisa dikatakan usaha-usaha menautkan diri dengan kenyataan bahwa saya pernah bingung di dunia ini. Jadi, lepas ini apakah ada undangan menulis?

Yogyakarta, 2024 (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Rully Andrian Syah
Rully Andrian Syah Saat ini bermukim dan mengambil studi humaniora di Yogyakarta. Instagram; @rulyandsyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email