Sebentar lagi, Presiden Indonesia akan berganti. Suka tidak suka, Prabowo Subianto akan menggantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Banyak pihak yang mempertanyakan tentang agenda Presiden Indonesia 2024-2029. Salah satu yang dipertanyaakan publik adalah bagaimana agenda transisi energi di era Prabowo Subianto?
Untuk mengetahui bagaimana agenda transisi energi di era Prabowo-Gibran, kita bisa melihat kebijakan-kebijakan energi yang dibuat oleh Pesiden Jokowi di akhir masa jabatnnya. Di berbagai kesempatan Presiden Indonesia terpilih Prabowo Subianto selalu menegaskan bahwa ia akan melanjutkan kebijakan Presiden Jokowi, tak terkecuali kebijakan energi.
Celakanya, Presiden Jokowi mewariskan kebijakan yang buruk terkait transisi energi di Indonesia. Menjalang peluncuran skema JETP di KTT G20, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Sekilas dari judul Perpres 112 itu menunjukan komitmen pemerintah untuk pengembangan energi terbarukan, namun jika ditelisik lebih jauh lagi peraturan presiden itu justru bisa menjadi payung hukum bagi kelanjutan bisnis Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara di kawasan industri.
Dalam Perpres Nomor 112 Tahun 2022 itu disebutkan bahwa pembangunan PLTU batubara masih tetap diperbolehkan di kawasan industri hingga 2050. Seperti gayung bersambut, dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP yang diluncurkan di 2023 lalu juga tidak memperhitungkan sama sekali PLTU di kawasan industri ini.
Melemahnya komitmen iklim pemerintah tidak berhenti sampai di situ. Di akhir Januari 2024, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon. Perpres ini akan menjadi payung hukum bagi kegiatan Carbon Capture Storage (CCS) di Indonesia. Padahal, bila ditelisik lebih jauh penggunaan teknologi CCS ini, selain mahal, juga hanya akan memperpanjang usia pemakaian energi fosil. Dampaknya, semakin lama energi fosil tetap digunakan semakin sulit pula pengembangan energi terbarukan.
Puncaknya, Pemerintahan Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 pada akhir Mei lalu. Regulasi ini merupakan revisi atas PP Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dalam regulasi terbaru itu, salah satunya, mengatur tentang pemberian wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan.
Baca juga:
- Menyadarkan Elit NU dan Muhammadiyah yang Dimabuk Batu Bara
- Dosa Ekologis NU dan Muhammadiyah
- Agama sebagai Sebab dan Solusi Krisis Lingkungan
Seperti gayung bersambut, Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia pun berjanji akan segera memberikan izin usaha pertambangan kepada Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) dan Muhammadiyah. Seperti biasa, pemberian konsesi batubara itu dibungkus dengan janji manis tentang kesejahteraan rakyat. PBNU dengan cepat menerima tawaran pemerintah itu. Tak berselang lama, Muhammadiyah menyusul PBNU menerima konsesi tambang batubara itu.
Keputusan dua organisasi Islam untuk menerima konsesi tambang batubara itu merupakan titik nadir dari komitmen iklim Indonesia. Jika ditelisik lebih mendalam, sebenarnya, Presiden Jokowi sudah sejak awal tidak memiliki komitmen iklim yang kuat.
Komitmen Prabowo Subianto yang akan melanjutkan kebijakan di era Presiden Jokowi menjadi sinyal buruk bahwa agenda transisi energi akan menjadi gelap dalam lima tahun kedepan. Kegapnya masa depan tranisi energi juga diperkuat dengan rekam jejak Prabowo Subianto yang sangat dekat dengan energi kotor batubara.
Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), seperti ditulis di laman websitenya, Prabowo Subianto memiliki rekam jejak yang sangat dekat dengan bisnis batubara. Bukan hanya itu, dalam pilpres lalu, Prabowo juga mendapat dukungan dari para pemilik modal di sektor energi fosil termasuk batubara. Bahkan bos perusahaan batubara Garibaldi ‘Boy’ Thohir, dengan percaya diri menyatakan dukungan kepada Prabowo Subianto pada saat kampanye pemilihan presiden di 2024.
Politik itu dinamis, termasuk politik energi. Artinya, Prabowo Subianto bisa saja berubah. Tapi mengubah komitmen iklim yang sudah lemah itu tidak mudah. Publik perlu mendesak Prabowo Subianto agar ia berani mengubah arah kebijakan iklim dan energi Presiden Jokowi yang salah arah.
Celakanya, saat ini bila publik harus memberikan tekanan yang keras kepada pemerintah terkait persoalan iklim dan transisi energi, mereka juga harus berhadapan dengan NU dan Muhammadiyah. Kedua ormas Islam terbesar di Indonesia itu kini juga pemain bisnis energi kotor batubara. Sebagai pemain bisnis energi kotor, NU dan Muhammadiyah tentu tidak ingin transisi energi di Indonesia berjalan mulus, karena transisi energi hanya akan berpotensi menganggu bisnis mereka.
Lima tahun kedepan, komitmen iklim dan transisi energi di Indonesia memasuki masa-masa yang gelap. Namun, segelap apapun, publik perlu terus menyalakan lilin. Bukan tidak mungkin, bila semakin banyak orang yang menyalakan lilin akan mampu mengusir kegelapan itu. Pertanyaan mendasarnya adalah dalam lima tahun kedepan, masihkah ada ruang kebebasan sipil bagi publik untuk tetap menyalakan lilin-lilin itu?
Laporan The Economist Intelligence Unit (EUI) menunjukkan, skor indeks demokrasi di Indonesia cenderung menurun di era pemerintahan Presiden Jokowi. Bahkan, skor indeks demokrasi Indonesia mencapai 6,3 pada 2020, terendah dalam satu dekade terakhir. Lembaga itu juga memasukan demokrasi di Indonesia dalam kategori demokrasi cacat, sepanjang 13 tahun pengukuran terakhir.
Celakanya lagi, rekam jejak Presiden Indonesia terpilih, Prabowo Subianto, juga tidak bisa dilepaskan dari rezim militeristik Orde Baru. Saat rejim itu berkuasa selama 32 tahun, tidak ada demokrasi di Indonesia. Lima tahun kedapan adalah hari-hari yang gelap, sebuah peringatan darurat bagi gerakan lingkungan hidup di Indonesia. (*)
Editor: Kukuh Basuki