“Perjuangan mereka lakukan dengan taruhan nyawa dan kebebasan. Mereka tidak menggunakan peluru maupun senjata untuk menembus harapan. Mereka hanya menggunakan cinta kasih sayang di hati untuk masa depan bangsa dan rakyat. Pantaskah mereka dihilangkan? Mereka hanya ingin mengingatkan, sekadar mengingatkan, ingin mengingatkan, ingin mengingatkan.”
Jika pemimpin negara tidak mengambil tindakan atas kegelisahan rakyat, berarti perlu adanya sirine tanda peringatan kepada mereka. Siapa yang harus mengingatkan? Jawabannya sudah pasti rakyat itu sendiri. Rakyatlah yang paling tahu dan merasakan sendiri kondisi hidup sehari-sehari. Tidak mungkin pemimpin merasakan kemiskinan, penindasan, dan ketidakadilan dalam kesehariannya.
Rakyat pantas melakukan aksi protes sebagai bentuk peringatan terhadap pemimpin tanpa adanya balasan tindakan represif dari negara. Namun, tindakan protes mereka sering kali dianggap sebagai kejahatan yang membahayakan penguasa. Sejarah negeri ini menunjukkan bahwa tindakan represif berulang kali dilakukan demi membungkam suara murni rakyat, seperti peristiwa penghilangan aktivis selama masa Orde Baru sampai pembunuhan para aktivis setelah reformasi.
Baca juga:
Namun, rakyat menolak lupa. Hingga hari ini berbagai cara dilakukan oleh masyarakat untuk merawat ingatan tentang betapa negara telah melakukan banyak pelanggaran HAM. Salah satu cara merawatnya adalah lewat Aksi Kamisan.
Lahirnya Aksi Kamisan
Aksi damai Kamisan berawal pada 2006 saat Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK), dan Kontras mencari alternatif perjuangan untuk mengungkap fakta atas kasus pelanggaran HAM. Aksi Kamisan tidak hanya menuntut pengusutan tuntas pelanggaran HAM di era Orde Baru, tetapi juga tragedi HAM pasca-reformasi, seperti pembunuhan Munir, pembunuhan Marsinah, serta peristiwa pasca reformasi lainnya.
Aksi Kamisan dipelopori oleh keluarga korban, seperti Ibu Sumarsih, ibu dari Bernardus Realino Norma Irawan, mahasiswa Atma Jaya yang tewas tertembak pada peristiwa Semanggi I tahun 1998, dan Suciwati, istri dari Munir. Aksi Kamisan pertama kali digelar pada 2007 dan berlangsung hingga saat ini.
Kamisan memiliki simbol ikonik. Payung hitam menjadi lambang perlindungan dan keteguhan iman dari Aksi tersebut. Foto korban pelanggaran HAM yang dibawa saat aksi adalah upaya untuk mengenang perjuangan mereka sekaligus mengingatkan tindakan keji penguasa. Berdiri diam di depan Istana Negara menunjukkan bahwa setiap peserta aksi datang bukan untuk melakukan kericuhan, melainkan berdiri penuh kedamaian sambil mengingatkan bahwa masih ada persoalan HAM.
Ruang Publik: Simbol Perjuangan dan Solidaritas
Sebagai ruang publik, Aksi Kamisan merupakan simbol perjuangan kolektif masyarakat. Aksi Kamisan tidak hanya diikuti oleh keluarga korban untuk mengekspresikan rasa kecewa dan sakit mereka terhadap rasa kemanusiaan. Hari ini, sangat lumrah apabila semakin banyak orang berdatangan untuk berpatisipasi dalam Aksi Kamisan. Sangat lumrah apabila semakin banyak yang peduli terhadap tragedi pelanggaran HAM, sebab mereka meyakini di negara manapun nyawa rakyat lebih penting dari jabatan politik atau proyek-proyek politik lainnya. Hilangnya nyawa satu orang dalam menyuarakan keadilan sudah terlalu banyak. Dan ratusan atau ribuan orang sekalipun yang berani menyuarakan tentang keadilan itu masih terlalu sedikit jumlahnya.
Baca juga:
Aksi Kamisan akan meningkatkan kesadaran publik untuk bergerak secara kolektif dalam mengusut tuntas pelanggaran HAM. Setiap kali aksi ini diadakan, masyarakat dapat melihat betapa seriusnya permasalahan ini. Sayangnya, pemerintah tidak memperlihatkan keinginan dan upaya untuk membongkar dalang di balik peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM tersebut. Ada anggapan dari kalangan pegiat HAM, bahwa mereka yang menjadi dalang tragedi memilukan ini masih leluasa menjabat sebagai pemimpin negara. Sementara keluarga korban masih memendam rasa sakit, sedih, bahkan kekalutan dalam kesehariannya.
Penggunaan ruang publik dalam Aksi Kamisan membawa pesan penting, bahwa pelanggaran HAM bukan hanya permasalahan pribadi antara keluarga korban dengan pihak tersangka, tetapi persoalan kemanusiaan yang turut menuntut tanggung jawab negara.
Dari Rasa Sakit ke Harapan
Foto-foto korban pelanggaran HAM dan tulisan-tulisan “usut tuntas” yang dibentangkan para peserta Aksi Kamisan adalah simbol harapan terhadap pemimpin agar benar-benar menyelesaikan permasalahan kemanusiaan ini. Foto-foto tersebut tentu menyimpan cerita dan kenangan yang penuh emosi.
Dalam salah satu wawancara, sambil membawa foto anaknya, Ibu Sumarsih dengan kegigihan tinggi dan ketahanan emosional yang sangat luar biasa terus menanyakan, “Kenapa anak saya di tembak sampai mati, siapa yang menembak?” Ibu Sumarsih tidak pernah berhenti bersuara, “ Selagi saya masih hidup saya akan memperjuangkan keadilan anak saya.”
Baca juga:
Tindakan keluarga korban lainnya tak jauh beda dengan ucapan Ibu Sumarsih. Keluarga-keluarga korban terus berusaha menagih janji keadilan kepada para pemimpin yang sedang berkuasa. Ini adalah momen ketika kesedihan, kehilangan, dan harapan saling berinteraksi menjadi satu tujuan. Banyak peserta aksi menyatakan bahwa kehadiran mereka dalam aksi kamisan adalah untuk mengenang dan menghormati orang-orang yang mereka cintai.
Ketika suara mereka bersatu dalam seruan keadilan, ada kekuatan muncul di dalam diri mereka. Momen ini tidak hanya menyentuh hati mereka sendiri, tetapi turut mampu menyentuh hati orang-orang yang melihat dan mendengarkan kegigihan yang telah diperjuangkan hampir 18 Tahun tersebut.
Editor: Prihandini N