Organisasi lingkungan hidup 350.org baru saja melakukan serangkaian perjalanan untuk melihat solusi energi terbarukan berbasis komunitas di berbagai daerah di Indonesia. Perjalanan itu dimulai dari region Jawa dan dilanjutkan ke beberapa daerah di luar Jawa. Kenapa dimulai dari Jawa? Sebab, Jawa merupakan konsumen listrik dari PLN terbesar di Indonesia.
Sebagai konsumen listrik terbesar, ternyata sebagian komunitas di Pulau Jawa lebih memilih untuk menggunakan dan mengelola energi terbarukan. Energi terbarukan berbasis komunitas ini lebih murah dan ramah lingkungan.
“Dulu sebelum ada PLTMH (pembangkit listrik tenaga mikro hidro), tidak ada penerangan di desa ini,” ujar Pak Tohar, warga Gunung Sawur, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. ”Sekarang, bukan hanya penerangan, warga juga bisa memproduksi kripik salak, makanan kecil khas Lumajang, dengan listrik dari PLTMH.”
Kehadiran PLTMH di Gunung Sawur membawa berkah bagi masyarakat sekitar. Kini, mereka bisa mengakses listrik dengan murah. Dalam sebulan, rata-rata pengeluaran mereka untuk listrik hanya sekitar Rp50.000,00. Bagi warga Gunung Sawur, listrik murah bukan sekadar impian, tapi sudah menjadi kenyataan.
Listrik dengan energi terbarukan bukan hanya ada di Gunung Sawur, Lumajang. Energi terbarukan berbasis komunitas juga ada di Jawa Barat, tepatnya di Kasepuhan Ciptagelar. Di kawasan itu, masyarakat adat sudah memanfaatkan PLTMH sejak tahun 1988. Masyarakat adat di Ciptagelar telah memanfaatkan aliran air Sungai Cisono dan Cibareno untuk menghasilkan listrik yang disalurkan ke ribuan rumah di Ciptagelar.
Di luar Jawa, tepatnya di Desa Ban, Kecamatan Kubu, Karangasem, misalnya, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) telah menyuplai listrik untuk 17 kepala keluarga dan 3 fasilitas umum, termasuk pula tempat ibadah. PLTS juga ada di Muara Enggelam, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. PLTS ini memiliki kapasitas 30 kilowattpeak (kWp) dan telah beroperasi sejak 1 Februari 2015. Sebanyak 152 pelanggan rumah tangga dan fasilitas umum berlangganan listrik yang dihasilkan dari dari PLTS ini.
Tulisan lain oleh Firdaus Cahyadi:
Akses Listrik Belum Merata
PLN mencatat masih ada 4.700 desa yang belum teraliri listrik. Penggunaan energi terbarukan bisa menjadi solusi untuk membuka akses bagi 4.700 desa itu terhadap listrik.
Namun, peningkatan akses masyarakat terhadap listrik tentu memerlukan pendanaan yang besar. Pertanyaannya, apakah ada peluang pendanaan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap listrik? Jawabnya singkat, ada.
Pada gelaran KTT G20 tahun 2022 lalu, pemerintah berhasil menggalang dana untuk membiayai transisi energi dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang. Skema pendanaan tersebut dinamakan Just Energy Transition Partnership (JETP). Selanjutnya, pada 16 Agustus 2023, pemerintah meluncurkan skema investasi JETP.
Namun, akan diarahkan ke mana investasi JETP tersebut? Akankah diarahkan untuk mendanai solusi palsu? Akankah diarahkan untuk mendanai energi terbarukan berskala besar dengan mengabaikan pengembangan energi terbarukan berbasiskan komunitas?
Jika dilihat dari konsepnya, yang dibidik dalam JETP bukan hanya aspek transisi energi, tetapi juga aspek keadilan. Aspek keadilan akan tercermin dalam proyek-proyek yang dibiayai oleh JETP. Jika pilihan pendanaan JETP hanya pada proyek-proyek energi terbarukan berskala besar, dapat dipastikan aspek keadilan dalam JETP hanya pajangan.
Bagaimana tidak, pengembangan energi terbarukan dalam skala besar akan meningkatkan risiko kerusakan alam dan konflik agraria dengan masyarakat lokal. Semakin besar skala energi terbarukan yang akan dibangun, semakin besar pula risikonya. Tentu, pembangunan energi terbarukan skala besar juga penting. Namun, bila itu dilakukan tanpa memperhitungkan risiko yang muncul, jelas akan berdampak buruk bagi masyarakat sekitar.
Dengan menimbang risiko itu, ada baiknya pemerintah juga mengarahkan pembiayaan transisi energi dalam skema JETP untuk pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas. Pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas rendah risiko secara sosial dan ekologi, serta dapat meningkatkan akses masyarakat di daerah terpencil terhadap listrik. Nantinya, akses terhadap listrik akan meningkatkan produktivitas masyarakat hingga menurunkan tingkat kemiskinan.
Namun, pendanaan energi terbarukan berbasis komunitas di JETP hingga kini tidak jelas. Salah satu penyebabnya adalah komposisi pendanaan JETP di Indonesia yang didominasi oleh utang luar negeri. Pendanaan transisi energi berbasis utang membuat JETP akan fokus pada pembiayaan energi terbarukan skala besar yang memiliki nilai ekonomi. Pengambil kebijakan akan melihat bahwa pendanaan energi terbarukan berbasis masyarakat tidak memiliki nilai ekonomi.
Jika negara donor JETP seperti Amerika Serikat dan Jepang masih menempatkan pendanaan JETP berbasis utang, maka energi terbarukan berbasis masyarakat akan disisihkan. Artinya, pendanaan transisi energi dalam JETP akan meninggalkan masyarakat di desa-desa terpencil yang selama ini tidak dialiri oleh listrik.
Waktu yang kita punya untuk mengubah arah pendanaan JETP tinggal sedikit. Masyarakat harus mendesak pemerintah menggunakan uang JETP untuk pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat. Pemerintah Indonesia harus serius menegosiasikan ulang komposisi pendanaan JETP yang selama ini masih didominasi oleh utang luar negeri.
Dominasi utang luar negeri agaknya menutup mata para pengambil kebijakan di negeri ini bahwa ada model pengembangan energi terbarukan yang berbasis komunitas. Dalam situasi seperti ini, para pengambil kebijakan di negara-negara donor JETP juga perlu dibuat sadar bahwa pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas begitu penting agar negara dapat memenuhi hak-hak warganya atas pembangunan secara berkeadilan.
Editor: Emma Amelia