Wajah Bopeng Transisi Energi di Tangan Presiden Baru

Firdaus Cahyadi

2 min read

Krisis iklim telah menjadi bencana ekologi terbesar dalam sejarah manusia. Upaya pengurangan gas rumah kaca (GRK), sebagai biang dari krisis itu, menjadi sebuah keniscayaan. Terkait dengan itu, transisi energi kini telah menjadi semacam mantra baru bagi pembangunan, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di tingkat internasional.

Di ajang KTT Iklim di Dubai, Jokowi mengungkapkan bahwa Indonesia tengah menjalankan program transisi energi melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Sebelumnya, Sekretariat JETP seperti terburu-buru meluncurkan dokumen CIPP (Comprehensive Investment and Policy Plan). Dokumen CIPP JETP sendiri mendapatkan banyak kritik dari masyarakat sipil karena skema pendanaannya tidak mencerminkan keadilan iklim. Komposisi pendanaannya CIPP JETP didominasi utang luar negeri.

Baca juga:

Utang luar negeri yang mengatasnamakan transisi energi dalam skema JETP dari negara-negara kaya ini adalah bentuk dari ketidakadilan iklim. Negara-negara kaya, yang lebih dahulu dan masif mencemari atmosfer dengan gas rumah kaca, justru menambah beban baru bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Padahal mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas krisis iklim yang terjadi saat ini.

Ketidakadilan iklim dalam skema JETP juga terlihat dari tidak adanya alokasi anggaran khusus bagi aspek ‘Just’ (keadilan). Pada saat diluncurkan di KTT G20, publik sempat berharap JETP akan lebih baik dibandingkan skema pendanaan transisi energi lainnya, karena ada kata ‘Just’ di dalamnya. Namun, dokumen CIPP yang diluncurkan tahun ini memudarkan harapan publik itu. Skema pendanaan transisi energi dalam JETP bukan hanya sama dengan skema pendanaan lainnya, bahkan mungkin lebih buruk lagi.

Singkatnya, Presiden Jokowi telah meninggalkan wajah bopeng sebelah pendanaan transisi energi dalam skema JETP. Skema tersebut sama sekali tidak mencerminkan keadilan iklim. Pertanyaannya tentu saja adalah, akankah wajah transisi energi yang bopeng sebelah akan dilanjutkan oleh presiden Indonesia yang baru?

Keberpihakan Presiden Baru dalam Krisis Iklim

Calon presiden yang selalu mengklaim akan melanjutkan semua program Presiden Jokowi, termasuk transisi energi, adalah Prabowo Subianto. Wajar bila Prabowo mengklaim akan melanjutkan program Jokowi, karena selain Prabowo telah menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi, pasangannya adalah putra kandung Jokowi sendiri.

Terkait dengan itu, sudah hampir dapat dipastikan bila Prabowo Subianto terpilih menjadi presiden Indonesia, pemerintahannya akan melanjutkan agenda transisi energi dalam skema JETP, meskipun skema tersebut sama sekali tidak mencerminkan keadilan iklim.

Bukan hanya melanjutkan skema pendanaan JETP yang tidak mencerminkan keadilan, jika terpilih menjadi presiden, sesuai dengan dokumen visi dan misinya, Prabowo Subianto nampaknya akan lebih memfokuskan transisi energi berbasis bioenergi.

Baca juga:

Pengembangan energi terbarukan berbasiskan nabati, dalam konteks Indonesia tentu saja adalah sawit. Hal ini berpotensi bertabrakan dengan agenda pencegahan kerusakan hutan di Indonesia. Riset dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengungkapkan bahwa di Indonesia, sekitar 16% hilangnya hutan secara langsung berkaitan dengan komoditas sawit.

Akankah program transisi energi pasangan Prabowo nantinya akan menghancurkan hutan di Indonesia? Entahlah. Namun yang jelas, laporan “State of Climate Action 2023” menunjukkan bahwa kita berada dalam keadaan darurat iklim. Kemajuan sangat jauh dari cukup di semua sektor.

Menurut laporan tersebut, di sektor ketenagalistrikan, penggunaan batu bara perlu dihentikan dari pembangkit listrik tujuh kali lebih cepat dari tingkat terbaru. Di sektor kehutanan, laju deforestasi perlu dikurangi empat kali lebih cepat. Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor batu bara dan pemilik hutan di dunia memiliki tanggung jawab untuk keluar dari keadaan darurat iklim.

Presiden Indonesia yang baru, siapa pun itu, harus memiliki komitmen kuat dalam menjalankan transisi energi yang adil, bukan sekadar melanjutkan agenda transisi energi pemerintah sebelumnya yang tidak mencerminkan ketidakadilan, apalagi membelokkan agenda transisi energi untuk kepentingan industri fosil.

 

Editor: Prihandini N

Firdaus Cahyadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email