Bahlil dan Hegemoni Wacana Transisi Energi

Firdaus Cahyadi

4 min read

Sebelum Bahlil Lahadalia diangkat kembali menjadi Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) dalam kabinet Prabowo Subianto,  Universitas Indonesia (UI) memberikan gelar Doktor (Dr) kepadanya.  Banyak orang mempertanyakan keputusan UI itu, bahkan muncul petisi dari alumni FISIP UI untuk para pengambil kebijakan di UI melakukan investigasi atas dugaan komersialisasi gelar doktor yang diberikan kepada Bahlil.

Terlepas ada atau tidaknya komersialisasi gelar doktor di UI, namun yang menarik adalah disertasi Bahlil yang  terkait dengan aspek keadilan dan keberlanjutan hilirisasi nikel di Indonesia. Dalam disertasinya, yang kini sudah tersebar melalui media sosial,  Bahlil mengungkapkan bahwa pihak yang mendapat manfaat besar hilirisasi nikel sekarang ini adalah investor dan pemerintah pusat. Sebuah ungkapan yang berani. Tapi tunggu dulu, masih dalam disertasinya, ia mengungkapkan bahwa hal itu bukan kesalahan pemerintah. Menurut penelitiannya, kekurangan hilirisasi tak akan terungkap bila pemerintah tak pernah memulai. Singkatnya, Bahlil dalam disertasinya ingin mengungkapkan bahwa belum diuntungkannya rakyat dalam proyek hilirisasi nikel itu hanya sebagai  unintended impacts, alias dampak yang tak disengaja.

Benarkah dikorbankannya masyarakat lokal dalam proyek hilirisasi hanya sekedar  unintended impacts? Hilirisasi nikel telah memicu perlawanan masyarakat lokal di berbagai wilayah. Salah satunya adalah perlawanan masyarakat terhadap Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Menurut Climate Rights International, setidaknya 5.331 hektar hutan tropis telah ditebangi di dalam konsesi pertambangan nikel di Halmahera. Hal itu mengakibatkan hilangnya sekitar 2,04 metrik ton gas rumah kaca (CO2e) yang sebelumnya tersimpan sebagai karbon di hutan.

Di hulunya, pertambangan nikel, perlawanan masyarakat juga muncul. Salah satunya di Wawonii misalnya. Tambang nikel ditolak warga karena warga merasa terancam tersingkir dari sumber-sumber kehidupannya. Tanaman mente, pala, cengkih dan kelapa, yang merupakan sumber-sumber kehidupan warga, bisa gagal panen bahkan mati karena aktivitas tambang nikel.

Keberadaan masyarakat lokal yang hidupnya mengandalkan hasil bumi telah lebih dahulu ada dibandingkan keberadaan tambang nikel. Dengan kata lain, tambang nikel di Wawonii tercerabut dari akar kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat lokal. Persoalan ini pasti diketahui oleh para pengambil kebijakan sebalum memberikan ijin tambang nikel di kawasan itu, tapi mereka sejak awal tidak menganggap keberadaan masyarakat Wawonii. Ini bukanlah unintended impacts melainkan kesengajaan sejak dalam perencanaan.

Masyarakat Wawonii terus melakukan perlawanan, baik melalui jalur litigasi (hukum) maupun non-litigasi (seperti advokasi dan kampanye). Namun apa yang diterima oleh masyarakat Wawonii? Kriminalisasi. Seperti ditulis oleh Mongabay.id, masyarakat dilaporkan ke polisi dengan tuduhan perampasan kemerdekaan seseorang, sebagaimana ketentuan pasal 333 Kitab UU Hukum Pidana (KUHP). Apakah negara yang membiarkan tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan sumber-sumber kehidupannya ini sebagai bagian dari  unintended impacts?

Hilirisasi nikel adalah bagian dari kebijakan kebijakan transisi energi pemerintah. Nah pertanyaan berikutnya, bagaimanakah desain proyek transisi energi pemerintah? Benarkah dikorbankannya masyarakat lokal di satu sisi dan diuntungkannya pemilik modal merupakan unintended impacts atau kesengajaan sejak dari awal?

Baca juga:

Untuk menjawab pertanyaan di atas kita harus pula melihat pendanaan program transisi energi pemerintah. Dalam konteks transisi energi Indonesia menjadi arena pertarungan dua kekuatan ekonomi besar, negara-negara Amerika Serikat, Eropa dan Jepang di satu sisi dan Tiongkok di sisi lainnya. Negara-negara maju di luar Tiongkok (sangat aktif memberikan bantuan dan investasi energi terbarukan di Indonesia. Data IESR mengungkapkan, total nilai dukungan finansial mereka mencapai sedikitnya USD 14 miliar (termasuk USD 1 miliar dari komitmen Inggris di bawah Just Transition Energy Transition Partnership/JETP).

Tiongkok juga tak mau ketinggalan berinvestasi dalam transisi energi di Indonesia. Jumlah investasi Tiongkok di Indonesia pada sektor energi sejak 2006 hingga 2022 mencapai US$ 8,9 juta atau sekitar Rp 93 triliun. Dari porsi investasi di sektor energi tersebut, 14 persennya untuk transisi energi.

Investasi terkait transisi energi dari negara-negara maju di luar Tiongkok lebih mengutamakan pengembangan energi dalam skala besar. Prioritas pengembangan energi terbarukan dalam skala besar juga tercermin dalam CIPP (Comprehensive Investment and Policy Plan)-JETP tahun 2023. Salah satu prioritas pengembangan energi terbarukan dalam skala besar adalah pembangkit listrik tenaga panas bumi. Padahal, pengembangan panas bumi di Indonesia kerap mendapat penolakan dari warga sekitar karena berpotensi melanggar hak asasi manusia.

Salah satu proyek panas bumi yang mendapatkan perlawanan keras warga itu ada di Poco Leok, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Masyarakat lokal menilai proyek panas bumi, yang rencananya akan mendapat kucuran dana dari Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW), telah melanggar hak asasi manusia.

Jika proyek transisi energi yang dibiayai negara-negara maju di luar Tiongkok mendatangkan malapetaka bagi masyarakat setempat, bagaimana dengan proyek energi hijau yang dibiayai Tiongkok? Celakanya, investasi Tiongkok di transisi energi juga mendatangkan malapetaka bagi masyarakat setempat.

Salah satu investasi besar Tiongkok terkait transisi energi adalah di Indonesia berupa nikel untuk bahan baku kendaraan listrik. Salah satu investasinya adalah di Halmahera. Menurut Climate Rights International, sedikitnya 5.331 hektare hutan tropis telah ditebangi di dalam konsesi tambang nikel di Halmahera.

Investasi Tiongkok lainnya yang terkait dengan transisi energi ada di Pulau Rempang. Investasi tersebut akan mencakup 10 proyek, salah satunya adalah industri kaca panel surya. Namun, pembangunan eco-city di Rempang ditolak oleh masyarakat setempat. Masyarakat adat Kampung Melayu Tua yang telah mendiami wilayah Pulau Rempang selama puluhan tahun menolak digusur proyek eco-city itu.

Pilihan untuk mengembangkan transisi energi skala besar untuk melayani investor dari negara-negara maju, baik di luar Tiongkok maupun Tiongkok sendiri, merupakan kesengajaan. Pengembangan transisi energi skala besar ini yang menguntungkan investor  di satu sisi dan menyingkirkan masyarakat lokal adalah konsekuensi dari pilihan pemerintah secara sadar. Oleh sebab itu segala dampak buruk yang muncul dari proyek-proyek transisi energi ini bukanlah unintended impacts. Hanya saja pemerintah tidak menyadari bahwa masyarakat akan melakukan perlawanan.

Kesengajaan pemerintah untuk mengorbankan rakyat, melalui pilihan pengembangan proyek-proyek transisi energi skala besar ini, tentu harus disamarkan. Tujuannya, agar perlawanan rakyat tidak menyentuh akar persoalan, berupa pilihan kebijakan yang keliru.

Michel Foucault (1926-1984), seorang pemikir dan cendekiawan Perancis terkemuka abad ke-20, mengatakan bahwa kuasa memproduksi pengetahuan, sedangkan pengetahuan memiliki kuasa. Dengan kacamata Foucault kita dapat membaca kepentingan politik-ekonomi di balik disertasi Bahlil Lahadalia di UI.

Jika melihat dengan kacamata Antonio Gramsci, dapat dikatakan bahwa Bahlil Lahadalia adalah intelektual organik yang membela kelasnya, borjuis, yang diuntungkan oleh pilihan kebijakan negara terkait transisi energi skala besar. Untuk melawannya perlu munculnya intelektual organik dari kelas proletar (tertindas), yang dirugikan atas pilihan kebijakan negara terkait transisi energi skala besar.

Sebagai intelektual organik dari kelas borjuis, Bahlil Lahadalia harus membangun wacana bahwa pilihan transisi energi skala besar, termasuk hilirisasi nikel adalah pilihan yang tepat. Kalaupun ada korban ya itu bukan merupakan kesengajaan. Tujuan dari wacana itu agar publik, termasuk dari kalangan kelas proletar menyetujui bahwa kebijakan transisi energi pemerintah adalah benar. Kelas proletar meskipun menjadi korban dari kebijakan transisi energi tidak perlu menggugat pilihan itu. Kalau pun menggugat, kelas proletar harus menyentuh ke permukaannya saja, terkait dampak ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Kelas proletar tidak perlu bertanya mengapa pilihan kebijakan transisi energinya harus berskala besar, termasuk hilirisasi nikel.

Dari kacamata Gramsci, kita bisa melihat bahwa disertasi doktoral Bahlil adalah bagian dari upaya menghegomoni wacana agar publik menyetujui pilihan transisi energi yang dilakukan pemerintah. Padahal sejatinya, pemerintah memiliki pilihan lain untuk menjalankan transisi energi yang lebih berpihak pada kepentingan masyarakat lokal. Pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas misalnya. Namun, pilihan itu tidak diambil pemerintah karena tidak menguntungkan elite ekonomi dan politik yang ada di lingkar kekuasaan. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Firdaus Cahyadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email