Dunia pendidikan terkejut kembali. Betapa tidak, selang satu hari serah terima jabatan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Supriyani, guru dari Konawe Selatan, dikriminalisasi. Dugaan yang didakwakan kepada guru honorer tersebut karena telah melakukan kekerasan kepada siswanya.
Publik bereaksi karena masalah “sepele” ini tidak perlu dibawa ke ranah pengadilan. Cukup dimusyawarahkan antara orang tua dan sekolah. Selain itu, seandainya pun terjadi tindak kekerasan yang dituduhkan, perlu dilihat konteks dan maksud tindakan tersebut. Jika bertujuan mendidik, seharusnya orang tua paham dan mendukung tindakan guru tersebut.
Mengapa guru yang telah menempuh pendidikan sarjana selama delapan semester, dipandang oleh masyarakat bukan sebagai ahli pendidikan, melainkan “buruh” atau “pengasuh anak”, yang dalam konteks sekolah swasta, dibayar oleh orang tua melalui uang SPP? Seakan terlupakan peran guru dalam tumbuh kembang anak sehingga anak dapat menulis, membaca dan berhitung. Dengan bekal itu, di jenjang perguruan tinggi, ia mampu menjadi lulusan yang dibutuhkan di dunia usaha dan industri, tenaga terampil dan profesional.
Terpinggirkan
Mengapa profesi guru kalah bergengsi dibanding profesi dokter, pengacara, bahkan dosen yang sama-sama mendidik? Jawabannya tidak sederhana. Bisa jadi karena masyarakat menganggap guru itu pekerjaan mudah, yang setiap orang bisa melakukannya. Bisa juga, guru menjadi profesi terakhir yang dipilih saat pekerjaan lain tidak dapat menerima ia bekerja. Tentunya, ini yang mencuat, bagi guru honorer dan guru yang mengajar di sekolah swasta ‘gurem’, gaji per bulannya di tahun 2024 ini di kisaran Rp. 200.000,- hingga Rp. 500.000.-.
Saat pemerintah membuka ASN PPPK untuk guru, banyak guru dari sekolah swasta berpindah haluan. Mendaftar menjadi guru ASN PPPK dengan gaji di atas UMR. Tentunya lebih dari layak. Mengapa sekolah swasta gurem tidak mau menaikkan gaji guru hingga sama dengan UMP? Ini lagi-lagi tidak dapat dijawab dengan sederhana.
Baca juga:
Tata kelola pendidikan yang diselenggarakan masyarakat sejatinya menyisakan banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah. Di satu sisi pemerintah ingin menyejahterakan guru swasta. Namun di sisi lain, pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk “memaksa” yayasan agar memberikan penghasilan layak kepada para guru. Hal ini karena fingsi yayasan sesungguhnya adalah membantu pelaksanaan kewajiban pemerintah dalam pendidikan. Disamping itu, tidak sedikit yayasan “nakal” mengambil dana BOS yang sebenarnya dapat dialokasikan untuk menambah penghasilan guru swasta tersebut.
Karena over supply lulusan guru dibandingkan lowongan kerja di sekolah-sekolah, otomatis membuat pihak sekolah dengan mudah mencari guru yang mudah, fresh graduate, dan dipaksa mengikuti sistem penggajian minimalis. Toh, jika menolak, masih banyak ratusan map lamaran pekerjaan yang siap di sortir. Over supply ini yang pada ujungnya melemahkan bargaining power guru di sekolah.
Selain itu, kompetensi guru profesional yang mampu menjadi guru yang dirindukan kehadirannya di kelas, masih sekadar di atas kertas regulasi. Sosialisasi dan pelatihan mengenai standar kompetensi guru baru sebatas seremonial. Bahkan lebih pada merealisasikan anggaran kegiatan dan pastinya tidak berkelanjutan. Hal itulah yang membuat guru jadi termarjinalkan dari dua sudut. Sudut pertama, di masyarakat dianggap sebagai buruh, pengasuh, bukan sebagai ahli profesional dalam mendidik. Sudut kedua, oleh pemerintah, ia menjadi objek anggaran kegiatan. Mengundang guru dari sekolah, dikumpulkan di hotel beberapa hari. Dilakukan pelatihan oleh narasumber dari guru sendiri. Setelah kembali ke sekolah, ia kembali ke ‘setelah pabriknya’ (default system).
Mengembalikan Marwah
Bisa jadi, rendahnya marwah guru dibandingkan dosen atau profesi yang lain adalah karena pihak pemerintah yang mengelola pendidikan dasar dan menengah hanya sedikit yang berlatar belakang guru. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengahnya saja bukan dari guru. Ia hidup pada ekosistem pendidikan tinggi. Kepala dinas baik tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, tidak berasal dari guru. Padahal jabatan publik ini bila diisi oleh yang berlatar belakang guru, ia mampu mengangkat marwah dan membangun kepercayaan masyarakat.
Baca juga:
Perlu evaluasi menyeluruh atas profesi guru ini dengan tujuan menghentikan termarjinalnya profesi ini. Evaluasi dapat dilakukan pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), Sekolah Tinggi atau Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Evaluasi itu meliputi kurikulum yang diajarkan di kampus untuk menghasilkan luaran yang bermutu.
Organisasi profesi yang berkaitan dengan dewan etik, advokasi dan perlindungan guru seharusnya dilibatkan dalam penyusunan kurikulum di LPTK atau Perguruan Tinggi. Sebagai lembaga pembentuk undang-undang, pemerintah dan DPR membuat regulasi yang memperkuat posisi guru sehingga jika di satuan pendidikan terjadi kasus seperti Supriyani, ia tidak perlu masuk ke ranah pro justitia, melainkan diselesaikan di dewan etik lembaga profesi, persis seperti dewan pers. Pemerintah dan DPR harus memiliki niat yang sama untuk mengembalikan marwah guru sebagai profesi mulia yang sangat berperan dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia. Bila rezim Prabowo ini ternyata tidak mampu menjaga marwah guru, berarti kebijakan politik atas guru masih sekadar “omon-omon” atau lips service belaka. Miris! (*)
Editor: Kukuh Basuki