SD Negeri yang Kini Sepi

Sumti Chusna

2 min read

Sekolah dasar negeri tidak lagi diminati. Pernyataan ini tak berlebihan. Cobalah berselancar di internet dengan kata kunci “SD negeri sepi”, berita soal krisis murid baru SD negeri di beberapa kota di Jawa Timur seperti Malang, Kediri, Ponorogo, dan Mojokerto akan langsung terpampang.

Hal ini kontras dengan kondisi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SD swasta yang laris manis, bahkan beberapa SD sampai menerapkan sistem indent yang tidak murah. Biar begitu, SD swasta tetap mampu menarik hati para wali siswa. Poin tidak murah ini penting untuk kita bincangkan.

Baca juga:

Swasta Laku Keras

Melalui press release, beberapa sekolah swasta di Kota Malang mengklaim adanya kenaikan jumlah peserta didik secara signifikan pada tahun 2024. Jumlah pagu untuk tahun depan juga mulai terpenuhi dengan menggunakan sistem indent.

Berdasarkan informasi pada website beberapa SD swasta, biaya masuk SD swasta di Kota Malang terdiri dari biaya pengembangan pendidikan, SPP, seragam, dan buku. Biaya pengembangan pendidikan berkisar empat juta hingga lebih dari dua puluh juta rupiah. Kemudian, SPP berkisar lima ratus ribu hingga dua juta rupiah. Biaya seragam dan buku mulai di angka dua jutaan. Sekurangnya, orangtua siswa baru di SD swasta perlu menyiapkan sepuluh juta rupiah untuk biaya awal masuk.

Sekolah seyogyanya tidak boleh menjadi komoditas bisnis. Ini mimpi yang masih terus diusahakan. Mengutip Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 dan 2, “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran” dan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang”.

Akan tetapi, institusi swasta sejak lahirnya ditantang dengan permasalahan dana dan pembiayaan mandiri walaupun pemerintah memiliki porsi kecil untuk membantu pendanaan operasionalnya. Dari lembaga yang berdikari, lulus, dan tuntas dengan proses pendewasaannya, lahirlah pondasi nilai dan ide-ide kreatif yang kemudian mampu mencipta kualitas. Beberapa sekolah swasta yang berjaya menjual kualitas untuk mempertahankan eksistensi mereka. Lantas, seperti apa kualitas yang mereka jual hingga menarik kepercayaan para orangtua? 

Pada website dan akun media sosial sekolah-sekolah swasta, kita bisa temukan informasi lengkap terkait aktivitas pembelajaran, struktur organisasi sekolah, fasilitas, profil guru, dan biaya pendidikan di sana. Bila masih kurang jelas, mereka pun telah siap dengan narahubung yang bisa dikontak untuk mencari tahu informasi lebih detail.

Implementasi kurikulum menjadi segi pembeda sekolah swasta dengan negeri. Beberapa sekolah swasta memiliki daya tarik berupa rancangan kurikulum sekolah sesuai dengan nilai yang mereka yakini. Kurikulum tersebut kemudian akan melahirkan aktivitas belajar yang bervariasi dan memungkinkan pengembangan potensi siswa lebih dari yang bisa diakomodasi oleh sekolah negeri.

Sekolah swasta yang berbasis keagamaan, misalnya, akan secara aktif melibatkan siswa dalam kegiatan keagamaan dalam berbagai kegiatan di sekolah. Sementara itu, di sekolah dengan penekanan pada penguasaan teknologi, intensitas penggunaan teknologi dalam pembelajaran juga lebih tinggi.

Di sekolah swasta maupun negeri, tetap saja guru yang menjadi pilar utama pendidikan. Selain menjadi pengajar, guru jugalah partner belajar siswa di sekolah. Tentunya, partner belajar yang baik harus mampu memanusiakan dan membina hubungan baik dengan siswa agar tercipta kenyamanan dalam belajar. Profesor John Hattie, seorang ahli pendidikan dari Universitas Melbourne berpendapat bahwa relasi baik antara guru dan siswa berpengaruh baik terhadap pencapaian siswa. Pertanyaannya, dapatkah keakraban antara guru dengan siswa tercipta di sekolah negeri yang memiliki rombel besar?

Baca juga:

Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 dan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 melarang adanya pungutan liar di sekolah negeri. Namun, biaya minim, bahkan gratis, ternyata tidak lantas mengundang orangtua untuk berebut bangku SD negeri. Benarkah kini para orangtua sudah lebih melek kualitas pendidikan? Bagaimana nasib sekolah milik pemerintah ke depannya?

 

Editor: Emma Amelia

Sumti Chusna

One Reply to “SD Negeri yang Kini Sepi”

  1. Ya setuju banget…
    Sekolah negeri bukan hanya gratis tanpa pungutan yang menjadi nilai jual, tapi tanpa beban kualitas.
    Sudah saatnya meniru universitas negeri dengan penerimaan berbayar mahal dan penerimaan standard.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email