Sang Legenda

Masalah Pendidikan yang Tidak Beranjak

Hilmy Almuyassar

2 min read

Sudah tiga bulan ini saya menjadi guru honorer di SMPIT Bilingual Nurul Imam Karawang, dan pekerjaan ini bisa saya nikmati dengan baik. Di sekolah ini, saya bertemu rekan-rekan guru yang suka berdiskusi, dan saya pun senang ikut terlibat. Namun, ketika teman-teman mulai membahas tentang pendidikan, saya sering kali memilih untuk tarik barisan.

Hampir dua tahun setelah lulus, saya jarang menemukan diskusi tentang isu-isu pendidikan, sampai akhirnya bertemu rekan-rekan kerja yang sering membahas masalah tersebut (meski sebetulnya masalah politik lebih sering dibahasa). Dulu, sewaktu kuliah di jurusan pendidikan, diskusi seperti itu adalah makanan sehari-hari. Namun, menurut saya, pendidikan adalah topik yang membosankan untuk didiskusikan. Itulah mengapa saya cenderung menghindar saat teman-teman di sekolah mulai berbicara tentang pendidikan.

Bukan karena merasa sudah paham atau si paling kenyang, tapi topik yang dibahas sering kali hanya menyalahkan pemerintah yang sering mengganti kurikulum, mengeluhkan moral siswa zaman sekarang, membandingkan nasib guru di sini dengan guru di luar negeri, dan hal-hal klise lainnya (kecuali masalah pelecehan dan kekekrasan seksual di sekolah). Namun, Gus Dur pernah membahas persoalan pendidikan yang lebih menarik dan fundamental—dan bagi saya, juga lebih mengena. Ia mengulas pendidikan dari sisi yang lebih mendalam dan historis dalam kata pengantarnya untuk buku Prof. Dr. Paulo Freire yang berjudul Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan.

Baca juga: 

Baru-baru ini, setelah membaca kata pengantar itu, saya ingin membahas beberapa poin menarik dari tulisan Gus Dur tersebut.

Sebelum membahas lebih jauh tentang kata pengantar Gus Dur, saya tegaskan bahwa saya tidak menyepelekan masalah pendidikan yang ada. Saya mengakui bahwa isu-isu tersebut (yang saya sampaikan di atas) penting. Namun, jika hanya menjadi bahan obrolan tanpa aksi nyata, rasanya kurang berarti. Aksi yang saya maksud tidak harus berupa demonstrasi; bahkan tindakan sederhana seperti menulis artikel bisa dilakukan. Dengan menulis, kita menyusun pikiran, yang merupakan keterampilan penting dalam pendidikan. Dengan demikian, kita bisa membahas masalah pendidikan dengan cara ‘pendidikan’, yang berarti lebih mendalam, terstruktur, akademis dan tidak sekadar obrolan kosong. Setuju, kan?

Kembali ke kata pengantar Gus Dur. K.H. Abdurrahman Wahid. Secara ringkas membahas keterkaitan pendidikan dengan kemerdekaan dan struktur sosial-ekonomi di negara berkembang, khususnya Indonesia. Ia menekankan bahwa pendidikan seharusnya menjadi instrumen pembebasan dan pemberdayaan. Bagi saya, ini adalah gagasan yang baru dan menarik, karena dulu saya selalu menganggap pendidikan hanya sebagai sarana untuk bertahan hidup saja.

Gus Dur berpendapat bahwa pendidikan di Indonesia telah menyimpang dari tujuan utamanya sebagai alat untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan. Menurutnya, kualitas pendidikan yang menurun justru menciptakan lingkungan sosial yang tidak adil dan menindas.

Berikut beberapa poin menarik dari kata pengantar tersebut:

Pertama, Gus Dur menyoroti bahwa banyak pejuang kemerdekaan kita berasal dari kalangan pendidik. Para guru dan akademisi, yang sering merasa kecewa dengan penjajahan, memainkan peran penting dalam menanamkan idealisme dan semangat kemerdekaan. Namun, setelah kemerdekaan tercapai, banyak dari mereka beralih ke dunia politik dan pemerintahan. Gus Dur mengatakan bahwa idealisme mereka memudar, tergantikan oleh konsumsi berlebihan, korupsi, dan otoritarianisme.

Kedua, Gus Dur mengkritik rendahnya gaji guru sejak perang dunia II selesai, serta kurangnya arah pendidikan nasional yang mengarahkan pendidikan hanya pada penciptaan tenaga kerja kelas rendah untuk mendukung sistem ekonomi yang bergantung pada ekspor barang murah ke negara-negara maju. Menurut Gus Dur, kondisi ini tidak akan mengangkat mayoritas penduduk dari kemiskinan, malah justru memperdalam ketergantungan pada kapitalisme internasional.

Terakhir, Gus Dur juga membahas munculnya kritik dan alternatif terhadap sistem pendidikan yang ada, terutama melalui konsep pendidikan alternatif seperti yang diajukan oleh tokoh-tokoh seperti Paulo Freire dan Ivan Illich. Pendidikan alternatif ini bertujuan membebaskan masyarakat dari penindasan, namun Gus Dur mengingatkan bahwa penerapannya harus disertai pemahaman mendalam, agar tidak menimbulkan konflik dengan kekuasaan.

Gus Dur menulis kata pengantar itu di tahun 1984. Rasanya, apa yang Gus Dur bicarakan dulu masih relevan dengan kondisi pendidikan hari ini. Di satu sisi, sebenarnya tidak jauh berbeda antara apa yang Gus Dur bahas dan yang biasa saya serta rekan-rekan diskusikan. Apakah itu berarti masalah pendidikan kita sebenarnya tidak bergerak kemana-mana? Entahlah.

Namun, meskipun ada kesamaan, Gus Dur berhasil mengubah keresahan tentang pendidikan menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar omongan. Beliau menuliskannya dalam teks opini yang bernas, dengan menawarkan solusi yang layak dipertimbangkan oleh para pendidik. Menarik, bukan?

Pada akhirnya, melalui tulisan Gus Dur, secara tidak langsung kita atau para pendidik diberi tantangan untuk meninjau kembali relevansi tujuan pendidikan dengan kebutuhan nyata masyarakat, terutama dalam membangun struktur sosial-ekonomi yang lebih adil. Pendidikan, menurut Gus Dur, tidak bisa menjadi alat pembebasan tanpa mengatasi ketimpangan struktural yang membelenggunya. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Hilmy Almuyassar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email