Pasca disahkannya UU TPKS 12 April lalu, PR besar menanti semua pihak, yaitu memastikan agar implementasi perlindungan kekerasan seksual dalam UU tersebut terlaksana hingga ke desa-desa.
Di desa pelosok seperti di desa saya, pengesahan UU TPKS kemarin seperti angin lewat. Jika Kalis Mardiasih, Najwa Shihab, dan aktivis kesetaraan gender lainnya bergembira ria dengan mengunggah berita pengesahan itu di media sosial mereka, di sini tidak seorang perempuan pun melakukan itu. Apalagi sampai membicarakan topik yang ada kaitannya dengan kesetaraan gender. Mereka masih terjebak sistem patriarki yang mengungkung dengan dalih “keniscayaan perempuan”. Ini menjadi bukti bahwa perjuangan kesetaraan gender, pada saat ini, masih cenderung kota sentris.
Nasib Perempuan di Desa
Di desa, kasus-kasus seperti pernikahan paksa di bawah umur, klaim-klaim subordinatif, dan domestifikasi adalah hal lumrah. Seorang perempuan tetangga saya, kelas 9 SMP, dipaksa menikah karena ketahuan pacaran. Seorang perempuan lain, dijampi-jampi agar mau dinikahkan. Tak sedikit pula yang dijodohkan karena ada yang melamar, sementara si perempuan tidak tahu harus berbuat apa selain menerima. Mereka takut dan merasa akan menyakiti kedua orang tua mereka bila menolak.
Banyaknya kasus seperti di atas, memperlihatkan bahwa pandangan eksploitatif, subordinatif, dan diskriminatif terhadap perempuan masih dipelihara oleh masyarakat di desa. Pemberian hak perempuan, sering kali terbentur sistem patriarki berkedok agama dan budaya tradisional. Ditambah lagi masih kurangnya pengetahuan kesetaraan gender dalam masyarakat. Sikap terbuka sangat diperlukan agar hak-hak kesetaraan perempuan terpenuhi.
Bentuk kekerasan seksual yang sering terjadi di desa, seperti pemaksaan perkawinan, eksploitasi seksual terhadap anak di bawah umur, dan KDRT, masuk ke dalam poin-poin bentuk kekerasan seksual dalam UU TPKS. Undang-undang ini juga mengatur dan memastikan bahwa korban mendapatkan hak penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Jadi, sangat penting untuk memastikan bahwa implementasi UU TPKS sampai ke desa-desa, di mana penyebaran informasi mengenai kekerasan seksual belum semasif di kota.
Baca juga:
Krisis Penyalur Gagasan
UU TPKS hanya satu dari banyak faktor yang berkontribusi dalam perjuangan hak-hak perempuan. UU TPKS hanyalah instrumen, ia butuh penggerak agar bisa eksis. Tak ada penggerak yang lebih baik selain sosok yang memiliki pengetahuan kesetaraan gender, menjadikan ide-ide kesetaraan bagian dari jati diri, dan berani mengaktualisasikannya di ruang publik.
Di desa-desa, akses dan kemampuan membaca buku, diskusi topik-topik di luar keseharian, dan menuangkan gagasan dalam tulisan belum rata dimiliki masyarakat. Untuk menularkan gagasan kesetaraan gender, dibutuhkan komunikator keperempuanan di akar rumput. Gagasan tersebut dapat disampaikan dengan bahasa sehari-hari. Penggunaan pendekatan informal bisa dilakukan agar tidak memicu ketegangan tiba-tiba. Siapa pun yang bersedia, bisa menjadi komunikator.
Penggunaan narasi-narasi keislaman akan sangat membantu penyebaran gagasan di lingkungan pedesaan yang religius. Santri bisa menjadi komunikator yang efektif. Namun mirisnya, masih sedikit pesantren penghasil orang-orang yang punya perhatian soal ini. Sebaliknya, yang terjadi di lapangan—karena ditopang literatur-literatur ulama yang dominan patriarki, seperti kata Husein Muhammad—mereka melanggengkan ketimpangan itu berdasarkan dalil agama.
Baca juga: Pesantren Darurat Kekerasan Seksual
Krisis penyalur gagasan kesetaraan gender masih menjadi masalah di pedesaan. Mahasiswa yang menjadi harapan sering kali tak didengar suaranya, bahkan jika mereka memiliki pengetahuan memadai. Dalam hierarki sosial pedesaan, sayangnya, orang dewasa selalu dianggap benar ketimbang yang lebih muda. Bagi kalangan dewasa, mahasiswa seperti ceracau burung yang tidak perlu ditanggapi, cukup didengarkan saja. Namun, untuk sebayanya, mahasiswa dapat diharapkan.
Gagasan tokoh agama atau kepala desa cenderung lebih mudah diterima oleh kalangan dewasa. Tokoh agama dianggap sebagai sosok sakral melalui hubungan akrabnya dengan Tuhan. Sedangkan kepala desa prestisenya dibangun melalui kebelateran, legitimasi birokratis, dan keglamoran.
Memperjuangkan kesetaraan gender merupakan kerja kolektif. Tidak akan cukup jika hanya kaum perempuan yang berjuang. Perjuangan ini harus dibarengi kesadaran seluruh lapisan masyarakat. Perempuan di kota maupun desa sama-sama rentan menjadi korban kekerasan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan gagasan kesetaraan gender sampai ke lingkungan sosial terkecil. Namun, itu belum cukup. Perlu ada jaminan perlindungan terhadap korban, serta aturan keras yang memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan. Di situlah negara memainkan peran.
Editor: Prihandini N