Apa yang Dirayakan ketika Wisuda?

Akbar Mawlana

2 min read

Wisuda sebagai seremoni kelulusan tentu disambut penuh gairah oleh para wisudawan. Bahkan, berbagai kampus merayakan acara wisuda dengan meriah hingga mengundang penyanyi nasional. Namun, kebahagiaan wisuda sejatinya hanyalah bungkus luarnya saja. Di baliknya, momen wisuda menghasilkan beragam polemik.

Baca juga:

Saya tidak ingin menyebut wisuda sebagai perayaan. Sebab, perayaan seharusnya merupakan ritual yang ada pencapaian gembira di dalamnya. Misalnya, perayaan pernikahan. Apabila ditengok kembali, hakikat wisuda bukan perayaan atas suatu kegembiraan karena yang dirayakan adalah keberhasilan kampus membentuk wisudawan menjadi tenaga kerja birokrat.

Rasa-rasanya, omong kosong saja setiap kali pimpinan kampus mengatakan bahwa kampus telah berhasil membentuk sumber daya manusia berkualitas dari lulusannya saat ini. Sumber daya manusia berkualitas yang seperti apa? Apakah sumber daya manusia berkualitas yang sesuai standar industri? Bukankah manusia yang berkualitas adalah manusia yang tidak terkurung karena dia memiliki kebebasan untuk menentukan tindakannya?

Kampus tidak pernah membentuk sumber daya manusia yang berorientasi pada nilai kemanusiaan. Kampus justru membentuk manusia birokratis. Apa yang dimaksud dengan manusia birokratis? Ahli psikologi sosial Erich Fromm beranggapan bahwa manusia birokratis adalah mereka yang bersikap patuh, mengalami kepincangan psikis, dan orientasi tindakannya bersifat instrumental.

Ketiga karakter manusia birokratis tersebut adalah sasaran luaran dunia kampus saat ini. Pembentukan karakter manusia birokratis, misalnya, mewajibkan mahasiswa mempublikasikan artikel ilmiahnya ke jurnal terindeks Sinta nyaris pada setiap penugasan. Apabila tidak berhasil, nilai yang diperoleh mahasiswa tidak optimal.

Alhasil, mahasiswa hanya berusaha untuk mempublikasikan artikel ilmiahnya ke jurnal terindeks Sinta tanpa mengedepankan kualitas risetnya. Saya sering menemukan tulisan artikel ilmiah mahasiswa yang justru berbentuk artikel opini. Tak jarang, pada artikel ilmiah tidak ada gap riset, analisis teori, dan metode penelitian yang baik. Ini terjadi karena psikis mereka telah pincang sebagai buah dari tolok ukur capaian pembelajaran yang malas seperti mewajibkan menerbitkan artikel ilmiah di jurnal mentereng.

Belum lagi persoalan administrasi kampus. Dalam pendidikan kritis, pendidikan harus bersifat menyenangkan dan tidak membebani individu dalam prosesnya. Namun, hal ini tidak berlaku pada kampus yang menjadi kaki tangan pendidikan modern yang membuat mahasiswa terbebani oleh urusan administrasi.

Pengurusan administrasi kampus penuh dengan persyaratan yang memaksa individu melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan keinginannya. Contohnya, kebijakan kampus yang mengharuskan mahasiswa untuk mencapai skor minimum TOEFL tertentu sebagai syarat kelulusan untuk bisa ikut wisuda. Apa yang menjadikan persyaratan administratif seperti skor TOEFL ini begitu penting dan mendesak?

Ketidakbahagiaan yang mengiringi momen wisuda juga tak lepas dari aspek budaya. Salah satunya adalah make-up wisuda. Tampil dengan riasan “manglingi” yang ongkos jasa riasnya tidak murah saat diwisuda memang bukan keharusan, tetapi seakan ada tekanan untuk melakukannya—yang berarti, jika tidak, akan ada semacam sanksi sosial. Hal ini tentu membebani mereka yang tidak nyaman menggunakan riasan maupun tidak mampu menjangkau ongkos jasa rias. Salah-salah, wisudawan bisa sampai meminjam uang demi memenuhi tuntutan untuk berlaku sesuai budaya ini.

Dilema lainnya adalah bahasa kebohongan yang hadir dalam bentuk tradisi pemberian buket saat wisuda. Mereka memberikan buket ingin menunjukkan rasa sayang terhadap teman atau pasangannya yang diwisuda. Tak jarang, usaha menunjukkan rasa sayang ini tidak lebih dari sebuah basa-basi. Sebab, rasa sayang yang mereka berikan dengan pemberian buket sebenarnya beririsan dengan sikap pamer. Penekanan pentingnya tradisi buket ini bergeser dari menunjukkan sayang dan dukungan menjadi pemenuhan kebutuhan akan konten untuk diunggah ke media sosial semata.

Baca juga:

Kebahagiaan dalam momen wisuda hanyalah kesadaran semu. Momen wisuda tak lebih dari kebahagiaan sesaat yang mengubur tragedi pendidikan dan dehumanisasi di kampus-kampus. Dengan begitu, masih pantaskah wisuda disebut sebagai perayaan pendidikan?

 

Editor: Emma Amelia

Akbar Mawlana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email