Homofictus

Nausea

Ikhsan Muhammad

3 min read

Hujan… pakaianmu telah basah sebagian. Sungguh jadwal pulang kantor yang selalu tak tepat, keluhmu dalam hati. Azan magrib usai berkumandang ketika bus yang setengah jam lebih kamu tunggu tiba di depan halte. Tanpa kamu sadari, seseorang membuntutimu saat kamu masuk ke dalam bus. Sudah seperti rutinitas yang kerap dia lakukan, sengaja atau tidak, keduanya bernilai sama.

Di salah satu bangku kamu duduk sambil memiringkan kepalamu nyaris menyentuh kaca jendela yang berembun air hujan, lalu iseng sendiri mengusap uap embun dari permukaan kaca dan mendapati pantulan cahaya dari lampu-lampu kendaraan. Suasana dingin menjadikan hal itu indah diamati.

Di saat seperti ini, dia pun iseng menebak-nebak apa yang sedang kamu pikirkan. Seorang seperti kamu mungkin saja senang mengajukan pertanyaan-pertanyaan aneh kala mengamati air yang jatuh? Pikirnya. Seperti… bertanya ada berapa banyak jumlah tetes air yang dibutuhkan dalam hujan selama satu harian untuk membuat banjir sebuah Ibu Kota? Berapa jumlah pengangguran yang mengeluh sulitnya mendapatkan pekerjaan ketika kamu sedang merenung memandangi titik-titik air hujan yang jatuh pada kaca jendela? Atau pertanyaan khayali seperti, apa yang bisa dicapai umat manusia jika mesin waktu benar bisa diproduksi?

Radio yang dia dengarkan melalui ponselnya lewat penyuara di telinga mengalunkan lagu sendu. Dan saat lagu itu berakhir, penyiar radio bersuara lembut di sana berkata: “Setiap kita adalah cinta pertama bagi seseorang.” Lalu lagu lain yang tak dia hapal liriknya pun mengalun. Sedangkan kamu masih menatap ke luar jendela, menatap jauh entah pada apa.

Dia kembali iseng menebak-nebak isi pikiranmu: Mungkin kamu tengah memikirkan teman lamamu yang dahulu pernah serumah denganmu. Teringat jika teman lamamu itu menyukai bunga mawar sehingga kamu mulai memenuhi halaman rumah sewamu dengan aneka mawar yang harum dan penuh duri. Mungkin kamu merindukannya dan berharap jika mesin waktu memang benar-benar ada.

Atau mungkin saja sekarang kamu sangat ingin bergegas sampai ke rumah sewamu untuk bisa bersantai, menikmati secangkir teh hangat dengan potongan jahe dan beberapa cemilan, sembari menonton film-film kesukaan. Atau boleh jadi kamu sedang tak memikirkan tentang apa pun, siapa pun, selain membiarkan pikiranmu kosong dan hanya melamun. Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi, akan terjadi, atau bahkan tak akan terjadi sama sekali.

Turun dari bus, tanpa payung, kamu berjalan dalam gerimis, membiarkan tetes-tetas air dari langit jatuh membasahi rambut hingga kerah baju, kedua tanganmu bersembunyi dalam saku jaket tipismu mencari hangat. Dengan sebuah payung hitam dia terus membuntuti. Jarak kalian hanya beberapa meter terpisah. Sebenarnya, dia sangat ingin menghampirimu, memayungimu, dan berjalan pulang bersama, sambil berbincang perihal mawar-mawar yang kamu tanam dan kalau bisa menyingung tentang teman lamamu yang beberapa bulan lalu mati bunuh diri. Namun, urung dia lakukan, mengingat di antara kalian percakapan tentang kematian masih menjadi topik privat. Sedangkan kalian belum terlalu dekat.

Meskipun orang-orang telah bebas bergunjing tentang jenazah temanmu yang menumbuhkan mawar dari jasadnya secara ganjil. Begitulah kabar yang dia dengar dari mulut ke mulut, dari gang ke gang, di sekitar lingkungan tempat kalian tinggal. Beberapa wartawan bahkan datang meliput. Kematian teman lamamu yang gantung diri dimuat dalam berita koran minggu pagi. Dia selalu berpikir bahwa kematian teman lamamu itu adalah penyebab kamu murung di kantor beberapa minggu terakhir ini. Wajah yang tampak terjebak dalam satu masa muram, mata yang memandang tanpa arti, seolah terasing. Mata yang seperti tak henti menangis

Di kantor sesekali kalian berpapasan, sesekali saling melempar senyuman dan seadanya menjawab salam. Kalian tak banyak berinteraksi sebab dia berada di divisi yang berbeda denganmu. Kalian juga naik dan turun pada pemberhentian bus yang sama. Rumah sewamu dan rumahnya hanya dipisah oleh sebuah gang kecil. Kamu tak pernah tahu, dan dia tak menganggap bahwa keberadaannya penting untuk kamu ketahui.

Tanpa sapa. Tanpa sepatah kata. Dan tanpa sepengetahuanmu juga, di persimpangan jalan, kalian pun berpisah arah. Dan yang selanjutnya terjadi tak akan pernah diketahuinya pula; bahwa saat tiba di rumah sewamu, kamu sama sekali tak menikmati secangkir teh hangat dengan potongan jahe dan cemilan ringan, tak pula melanjutkan menonton film-film kesukaan.

Yang kamu lakukan: Kamu membuka tas, mengambil kotak obat yang setia kamu bawa ke mana pun kamu pergi, lalu menelan sebuah pil putih yang selama dua tahun terakhir telah kamu konsumsi. Kamu selalu mengatakan pada dirimu sendiri: Waktunya minum obat agar tak mati sekarat—kalimat yang setia jadi mantra pengganti doa sebelum menenggak obat—sambil mengandaikan bahwa dirimu adalah pohon tua yang telah ditumbuhi banyak benalu dan jika benalu itu tak disingkirkan kamu akan sekarat sebelum akhirnya mati layu.

Kamu pun duduk termenung di atas kasurmu selama setengah jam. Kemudian bergerak membuka kotak pesan di ponselmu; memeriksa kembali pesan-pesan dari ibumu yang beberapa bulan lalu ia kirimkan. Yang tertulis di sana tak banyak mengejutkan, selain permintaan yang selalu sama bahwa ibumu menginginkan kamu pulang dan telah seutuhnya menerima kondisimu, dan apa pun identitas yang kamu yakini. Ibumu juga berharap kamu melupakan amukan ayahmu yang mengatakan bahwa kamu dan penyakit yang kamu derita adalah aib bagi keluarga. Di akhir pesannya ibumu menuliskan bahwa ia merasa umurnya tak lama lagi. Ibumu ingin bisa melihat wajahmu di akhir hayatnya, sebelum maut mendatanginya dengan derap langkah yang akan menyudahi deru napas dalam nyawa. Tak ada kata rindu yang tertera, tetapi kamu bisa merasakan kerinduan yang dalam saat membaca pesan-pesannya.

Kemarin telepon kantor adikmu mengabari bahwa ibumu telah meninggal dunia. Ibumu telah pergi selamanya meninggalkan kamu tanpa salam perpisahan, tanpa kehadiranmu di akhir hayatnya menutup mata. Kamu lantas pergi menuju halaman rumah sewamu sambil membawa dua kantung plastik, di luar hujan telah reda.

Dalam kedua kantung plastik itu kamu memasukkan kelopak-kelopak bunga mawar yang begitu saja kamu petik dari tangkainya. Dua kantung plastik penuh kamu kumpulkan. Kamu berencana akan membawa sekantung penuh mawar-mawar merah tersebut ke pekuburan ibumu dan sekantung lagi untuk pekuburan teman lamamu, berniat menaburkannya di atas masing-masing pusara makam keduanya. Lalu mungkin kamu akan menangis. Mungkin kamu akan menyesali beberapa hal yang sudah terjadi dalam hidupmu dan mungkin juga kamu berharap seandainya mesin waktu memang benar mampu diciptakan manusia, sehingga dengannya kamu diizinkan mengoreksi beberapa keputusan yang sudah kamu ambil dalam periode masa kehidupanmu. Membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang tak mungkin terjadi itu tiba-tiba membuat perutmu merasa mual. Tak sengaja duri tangkai mawar melukai telapak tanganmu. Darah segar menetes satu-satu, merah, semerah kelopak mawar dalam genggamanmu.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ikhsan Muhammad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email