Korupsi sebagai hal yang mustahil dibinasakan: sebuah kesimpulan yang, hanya bisa dimaknai dengan pandangan pesimistik. Pada saat yang sama, kita memiliki pandangan ini sambil sepenuhnya sadar akan betapa besar kerugian yang ditimbulkan korupsi bagi masyarakat. Sehingga, barangkali yang tersisa sekarang ini ialah pertanyaan lalu apa, ‘now what? ‘ bila dikata orang-orang Jakarta Selatan.
Maka pertanyaan inilah yang mendasari pokok tulisan ini; tentang bagaimana kita masih bisa mencari harapan dan di mana kita dapat mencarinya. Tanda tanya.
Terkadang, upaya untuk menjawab permasalahan kontemporer yang ada saat ini justru dilakukan dengan mencari jawabannya di masa lalu.
Menarik, ya.
Supaya menemukan cara untuk melangkah ke depan, kita mencarinya dengan mundur ke belakang. Sejatinya kita memang selalu mencari harapan dari apa-apa yang ditinggalkan oleh mereka yang hidup di masa lalu. Apa yang ingin dikatakan secara gamblang, adalah bahwa penulis saat ini hendak menyajikan kembali bagaimana para pemimpin di masa lalu menghadapi dan menyikapi persoalan korupsi, dan dari sana pula kita dapat menggali inspirasi tentang apa yang harus kita lakukan.
Ya, salah satunya ada.
Pernah ada.
Pernah tercatat dalam sejarah, seorang pemimpin dari timur tengah dengan ciri khas perilaku antikorupsi yang melekat dengan namanya. Ialah sosok yang tercatat sebagai seorang penegak keadilan yang bertindak sangat keras menentang kezaliman dari harta. Hari ini, penulis telah memutuskan untuk berbicara tentang khalifah dinasti bani Umayyah yang kedelapan: khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Sekapur sirih.
Sepanjang kepemimpinan bani Umayyah, Umar adalah khalifah yang dianggap paling nyentrik karena tabiatnya sangat berbeda dengan khalifah sebelumnya. Kendatipun seorang khalifah, hidupnya sangat sederhana dan tidak mewah. Ia enggan menggunakan fasilitas-fasilitas negara seperti transportasi unta atau kuda, dan lebih memilih menggunakan keledai miliknya sendiri. Ia juga melarang memberikan hadiah kepada pejabat (gratifikasi) lebih-lebih ketika hadiah itu ditujukan untuk dirinya sendiri.
Umar bin Abdul Aziz juga masih merupakan cicit dari Umar bin Khattab melalui jalur ibunya. Barangkali genetika “orang jujur” turun temurunnya memang berpengaruh, Umar bin Abdul Aziz tumbuh sebagai pribadi yang begitu kontra dengan status quo pemerintahan di zaman itu. Satu contohnya adalah ketika ia dinobatkan sebagai Khalifah oleh Bani Umayyah, ia justru melengserkan diri dan meminta agar kaum muslimin memilih pemimpin atas pilihan mereka sendiri. Ini mendobrak bagaimana tradisi pemimpin dipilih secara turun temurun, dan Umar lebih ingin agar kaumnya berdemokrasi.
Pada akhirnya, kaum muslimin tetap memilih Umar karena mereka memang telah ridha kepadanya.
Berikutnya, penulis telah mengumpulkan aspek-aspek antikorupsi yang telah digali selama kepemimpinan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Aspek-aspek yang dikulik dari keputusan politiknya, maupun dari pribadi Umar bin Abdul Aziz itu sendiri.
Mengubah Sistem.
Apa yang seringkali luput dari mata kita adalah ketika memahami korupsi sebagai yang dilakukan pejabat secara besar-besaran saja (grand corruption) dan melupakan perkara korupsi kecil yang kerap terjadi begitu dekat. Suatu contoh yang dapat dikemukakan, coba jelaskan bagaimana Anda mendapatkan Surat Izin Mengemudi atau SIM? Beberapa orang terdekat penulis mengatakan bahwa mereka membayar untuk mendapatkan KTP lebih cepat. Korupsi administrasi kecil-kecil macam ini justru patut dicurigai dan dilihat bukan sebagai hal kecil, melainkan merupakan sebuah kepingan kecil dari gambaran besar tentang sebuah sistem yang korup.
Baca juga:
Syahdan, penglihatan serupa dengan inilah yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz. Apa yang dibenahinya ketika menjabat sebagai khalifah adalah apapun dan siapapun yang menjadi bagian dari pengatur sistem. Ia menurunkan para pejabat yang zalim dan mengangkat orang-orang yang berintegritas. Dalam hal ini, tolak ukurnya luar biasa, ia memilih orang yang dipercaya dalam bidangnya, pandai agama, serta teguh dalam keimanan dan ketakwaan. Apa yang bisa menjadi inspirasi bagi kita saat ini adalah membenahi birokrasi dan kualitas pelayanan publik, melengkapi dengan nilai-nilai keimanan, serta mengoreksi sistem supaya tidak menciptakan situasi di mana pemerintah justru berbisnis dengan rakyatnya.
Dimulai dari Diri Sendiri.
Gerbang pertahanan pertama dalam menghadapi korupsi dimulai dari pribadi diri sendiri. Inilah langkah pertama Umar ketika menjabat sebagai khalifah: Mengeluarkan seluruh hartanya yang didapatkan dengan zalim.
Langkah pertama ini kemudian menjadi pintu gerbang menuju langkah-langkah yang lain. Setelah memulai dari diri sendiri, baru kemudian Umar mengubah sekelilingnya. Seperti yang kita tahu, masa awal kepemimpinannya ditandai dengan pelucutan besar-besaran harta kekayaan dari semua kalangan bani Umayyah. Harta yang didapatkan dengan cara zalim dikembalikan kepada yang berhak, dan harta berlebih yang dimiliki hanya karena mereka keluarga pejabat dikembalikan kepada Baitul Mal, agar harta itu kemudian dapat kembali ke kaum muslimin seluruhnya tanpa dimonopoli seseorang atau kelompok.
Awalnya, para bani Umayyah menentang kebijakan politik Umar, namun Umar tetap teguh dan berkata: “Seandainya tanganku harus putus, kemudian tersambung hanya untuk putus kembali, aku akan tetap berharap tidak ada satu hartapun di muka bumi ini yang didapat dari kezhaliman kecuali aku akan mengembalikannya.”
Pendidikan.
Akan tetapi, perilaku antikorupsi Umar saat menjadi khalifah tidak datang serta-merta begitu saja. Sebelum menjadi khalifah pun Umar sudah tekun menuntut ilmu dan memperkaya dirinya dengan sifat-sifat zuhud, wara’, dan rasa takut kepada Allah.
Maka, menjejalkan manusia dengan sifat-sifat terpuji semacam itu merupakan peran pendidikan. Tidak hanya tentang ilmu, pendidikan juga memiliki peran penting terhadap pembentukan adab. Inilah implementasi dari makna kalimat yang telah masyhur disebut-sebut, “adab lebih tinggi dari ilmu.” Sayangnya, banyak sekali dugaan-dugaan korupsi justru datang dari institusi pendidikan. Di sinilah letak kepelikan perkara. Pendidikan perlu jadi ujung tombak dalam pembersihan korupsi.
Dari yang Kecil-Kecil.
Perkara lain yang kerap terabaikan, adalah ketika menyalahgunakan suatu barang dalam pekerjaan untuk kepentingan pribadi. Contoh sepele saja, penulis pernah mendengar cerita tentang seseorang yang suka menukar alat-alat sekolah anaknya ke pabrik, ataupun tentang mengambil kertas milik perusahaan untuk digunakan secara pribadi. Sebenarnya, itu termasuk korupsi.
Baca juga:
- Menafsir Pemberantasan Korupsi ala Presiden Prabowo
- Yang Penting Bukan Saya: Kurangnya Kontrol Masyarakat terhadap Tindak Korupsi
- Pengkhianat Nilai Pancasila: Mantan Napi Korupsi Diperjuangkan Jadi ASN
Pemisalan budaya korupsi kecil-kecil (petty corruption) yang semacam itu patut dicurigai menjadi tunas untuk korupsi yang besar-besar. Maka, upaya mengeliminasi budaya korupsi harus dimulai dari perilaku yang terkecil—sekali lagi, merupakan amanah bagi pendidikan untuk mengajarkan perilaku antikorupsi yang dibutuhkan anak-anak bangsa.
Diriwayatkan, pada suatu malam datang seorang utusan pejabat yang bertamu ke ruangan kerja Umar bin Abdul Aziz. Ketika sang tamu sedang membicarakan urusan negara, Umar membiarkan lilin di ruangannya tetap menyala. Namun ketika pembicaraan itu mulai beralih kepada pertanyaan-pertanyaan pribadi, Umar langsung meniup lilin dan seketika itu ruangan menjadi gelap.
Merasa heran, tamu tadi menanyakan maksud Umar. Umar mengatakan bahwa lilin yang dipakainya menggunakan uang rakyat. Jadi Umar merasa tidak berhak memakai barang tersebut ketika digunakan untuk urusan pribadi.
Ini adalah sikap yang sangat ekstrem dan berat untuk ditiru. Namun membersihkan budaya korupsi yang sama esktremnya memang membutuhkan semangat seabsolut ini.
Apa yang dapat menjadi inspirasi, adalah bagaimana semangat zero-tolerance (tidak ada toleransi sedikitpun) yang serupa dengan Umar bin Abdul Aziz ini bisa diproduksi secara massal dengan mengejawantahkannya ke dalam kurikulum pendidikan.
Dahulu itu, bila Anda termasuk daripada generasi yang merasakan Ujian Nasional sebagai syarat lulus sekolah menengah, maka Anda kurang lebih dapat menggambarkan bagaimana teman-teman Anda mengerjakan UN kala itu. Pendidikan sebagai barisan terpenting menghilangkan budaya korupsi justru memantik situasi di mana sekolah harus mengajarkan bahwa “korupsi tidaklah mengapa selama tujuan tercapai”. Bagaimana tidak? Dengan UN, keadaan yang didapatkan adalah bahwa sekolah justru mendorong siswanya untuk menjawab soal dengan Lembar Kunci Jawaban (LKJ) alih-alih menjawabnya dengan jujur.
UN yang pernah terjadi di masa lalu ini, harus menjadi pelajaran untuk pendidikan di Indonesia, sampai saat ini dan ke depannya, tentang bagaimana kita harus lebih mampu untuk membuat semangat antikorupsi dapat termanifestasikan kepada anak bangsa dengan sebaik-baiknya, tanpa toleransi sekecil apapun.
Akhir hayat sang Khalifah.
Setelah dua setengah tahun lamanya ia menjabat sebagai khalifah, Umar bin Abdul Aziz kemudian tutup usia. Dua setengah tahun terbilang sebagai waktu yang singkat, sebetulnya. Tetapi dalam waktu yang singkat itu Umar mampu memberikan perubahan yang besar lagi bermanfaat untuk rakyatnya.
Memang, setelah menyampaikan gagasan-gagasan antikorupsi yang diambil dari hidup Umar bin Abdul Aziz, agaknya rasa pesimistik ketika melihat isu korupsi di Indonesia bukannya hilang. Melainkan hanya sebatas peredaman sementara saja.
Menjadi orang jujur di zaman yang penuhi kezaliman nyatanya tidak pernah mudah. Melihat kebijakan-kebijakan yang dilakukan Umar, masuk akal bila ada yang tidak menyukainya. Penyebab pasti wafatnya Umar bin Abdul Aziz masih diperdebatkan, tetapi pendapat yang masyhur disampaikan ahli sejarah adalah bahwa beliau kemungkinan besar diracun oleh pihak-pihak yang merasa terancam oleh kebijakannya.
Inilah akhir hayat sang khalifah yang… dapat disangka-sangka.
Kendatipun penulis telah menyampaikan secara panjang lebar, sesungguhnya menjadi orang yang jujur memang tidak mudah. Tidak mudah. Itulah mengapa, bayarannya besar di sisi Allah.
Dengan demikian, aspek-aspek penting untuk bisa menghidupkan semangat antikorupsi adalah dimulai dari diri sendiri, sekeliling kita, sistem yang ada, dan pendidikan. Terakhir, yang paling pokok dari menegakkan perilaku anti korupsi adalah bahwa penulis berharap, semoga Allah senantiasa menguatkan kita untuk terus bertahan menjadi orang jujur sampai akhir, dan meninggal seraya telah dicatat sebagai orang yang hidup dengan jujur. (*)
Editor: Kukuh Basuki