Jika membaca salah satu novel Albert Camus, Le Stranger (Orang Asing), yang diterjemahkan oleh Andreas Nova (Penerbit Kakatua), kita akan dibawa ke dalam kehidupan Meursault yang membosankan tapi teratur. Ya, membosankan karena kehidupannya begitu teratur. Ia bangun tidur, pergi bekerja, merokok, mabuk, lalu makan dan tidur. Begitulah kehidupannya setiap hari. Tak ada cinta maupun Tuhan yang hadir dalam kehidupannya. Bab pertama dari buku ini sempat membuat teman saya terkejut. “Hari ini Mama meninggal, mungkin kemarin, atau kemarinnya…” begitulah kalimat pertama yang lumayan mengaduk psikologi pembaca. Dari halaman pertama tersebut kita diperlihatkan perspektif si Meursault dalam memandang kacaunya dunia ini.
Bagi Meursault, hubungan dirinya dengan sang ibu dialami oleh semua orang. Ia tidak terlalu berduka ketika sang ibu yang melahirkannya meninggal. Orang-orang yang hidup di panti jompo dan menjadi kawan sebaya ibunya heran kepada Meursault. Malahan ia menikmati kopi susu serta merindukan kehidupan pekerjaannya. Keesokan hari setelah penguburan sang ibunya, ia berkencan dengan Marie, seorang teman wanita di tempat kerjanya. Marie mungkin begitu mencintai Meursault. Namun, bagi Meursault, cinta Marie hanyalah salah satu bentuk contoh dari semua orang yang merasakannya. Ia hanya mengangguk, tidak berkomentar apa-apa.
Kehidupan Meursault yang sedemikian rupa mengantarkannya menjadi pria dengan kehampaan serta keterasingan yang sangat jauh dari peradaban, bahkan manusia. Kondisi ini mungkin menjadi salah satu pemicu mengapa dirinya membunuh seorang pria Arab di pantai. Ketika diadili, ia berpendapat bahwa mataharilah yang memicu dirinya menarik pelatuk pistol.
Meursault terjebak dalam rasionalitas tanpa ujung. Pemikirannya dianggap radikal oleh gereja. Ia menolak percaya pada Tuhan serta harapan itu sendiri. Ironisnya, ketika kasusnya disidangkan di pengadilan, jaksa penuntut umum berpendapat secara deduktif bahwa pribadi Meursault adalah benalu dalam masyarakat. Jaksa mungkin sejalan dengan prinsip deontologi Immanuel Kant dalam Critic of Pure Reason. Jaksa memang sering mengatakan bahwa Meursault berjiwa kriminal. Jiwa kriminal itu tumbuh atas penilaian jaksa lantaran pembahasan kasus Meursault bukan pada dirinya. Namun, pada kasus ia mengurus ibunya sampai ia meninggalkan ibunya di panti jompo. Dengan pribadi yang seperti itu jaksa menuntut hukuman mati pada Meursault dan ia akan dipenggal di alun-alun Paris sesuai keputusan hakim. Bandingnya pun tertolak.
Baca juga:
Jauh di dalam hati Meursault, ia tak menyesal secara tulus dan merasakan sesuatu yang membuatnya tak nyaman. Tangannya bergemetar, detak jantungnya berdegup kencang. Ia begitu merindukan kehidupan membosankannya itu. Siklus kehidupan yang tanpa akhir sembari menunggu ajal menjemput. Meursault merasa dirinya sama seperti orang lain. Ia berpikir bahwa dirinya menjalani kehidupan yang normal dan melakukan satu kesalahan. Tetapi ia menggerutu mengapa kenormalannya selama ini malah membawanya sebagai contoh buruk bagi masyarakat. Ia berkata “Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, aku ingin memiliki keinginan bodoh untuk menangis karena aku merasakan betapa aku dibenci oleh semua orang ini.”
Nihilisme Tanpa Akhir
Paradigma bahwa Meursault sama dan normal seperti orang lain serta tak ada indikasi untuk terlibat dalam krisis eksistensial, membawanya ke dalam jurang nihilisme tanpa akhir. Suatu keadaan di mana dirinya tak lagi menerima nilai-nilai yang berada dalam diri manusia. Untuk apa kita hidup dan bagaimana kita mati. Itu semua tidak penting.
Meursault agaknya juga merasa bahwa dunia ini terlalu berlarut-larut bagi manusia. Ia tidak takut pada hukuman penggalnya. Baginya, semua manusia akan dihukum mati. Bagaimanapun cara dan waktunya. Bahkan ketika di dalam penjara, ia mulai bisa menikmati sebagai kehidupan normal seorang narapidana. Ia menerima dengan lapang dada bahwa sehari setelah kepalanya terpenggal Ia akan dilupakan oleh peradaban. Semuanya, dunia ini terlalu kacau dan teratur sehingga ia melepaskan kontrolnya.
Meursault menjadi salah satu dari sekian karakter yang mengambil jalan stoik. Perbedaannya ialah Camus menggambarkan Meursault jatuh kedalam keterasingan sambil menari-nari dan merokok. Jika saja Nietzsche membaca Le Stranger, ia akan memaki Meursault yang menjadi salah satu interpretasi terburuk dari nihilisme. Berpikir bahwa Meursault sama normalnya dengan orang lain jika hanya ditinjau dari silogisme konservatifnya Aristoteles adalah pemikiran yang dangkal. Mengklasifikasikan dunia yang absurd dan membuat simplifikasi atas keabsurdan tanpa melibatkan kompleksifikasi rasionalisme dan cinta mungkin hanya berlaku bagi balita. Mungkin saja beberapa orang dengan kemampuan kognitif yang kurang bisa menelan semua itu bisa dimaklumi. Tetapi bagi Meursault yang cerdas, tindakan serta paradigma seperti ini sangat tepat mengantarkannya menuju kematian. Kematian Meursault tidaklah semenjak kepalanya terpenggal. Kematiannya mungkin saja sudah melekat semenjak dirinya dilahirkan dalam dunia ini. Kematian eksistensial.
Meursault-Meursault di Dunia
Semenjak post-modernisme, Meursault-Meursault baru lahir ke dunia. Terlebih ketika industrialisasi mengakar ke semua sistem. Semua bidang mulai dari pendidikan, kesehatan, agama, bahkan politik mengajarkan untuk bertahan hidup sebagai seseorang yang normal. Bidang-bidang ini terikat oleh superstruktur yang menurut Franz Magnis Suseno dalam bukunya Filsafat sebagai Ilmu Kritis ialah sistem yang mematikan dan menghina potensi manusia. Bidang-bidang yang meliputi ilmu-ilmu khusus tersebut tak menggarap pertanyaan yang menyangkut manusia secara keseluruhan dan dinamis. Seperti, apa arti dan tujuan hidup?
Fenomena kelahiran dan kematian Meursault ini direspons ole Michel Foucault dengan persepsi yang sedikit kompleks. Ia mempersepsikan dalam epistimologi post-strukturalismenya yang juga secara tak langsung menyinggung bagaimana kekuasaan dapat melahirkan manusia semacam Meursault sekaligus membunuhnya. Dalam bukunya “Power and Knowledge”, Foucault membahas sistem hukum diatur oleh dua hal. Pertama melalui kekuasaan dan kedua melalui antagonisme atau dendam.
Baca juga:
Peradilan yang menghukumi Meursault ialah peradilan yang mekanismenya diatur oleh undang-undang dan penguasa. Kasusnya pun tak melawan penguasa. Kehidupan dan kematian Meursault bergantung bagaimana kekuasaan menempatkan dirinya. Meursault bergumam “Bahkan di bangku terdakwa, selalu menarik untuk mendengar tentang diri kita,” dilanjutkan “Semua berjalan tanpa campur tanganku. Nasibku selesaikan tanpa meminta saranku,” kesempatan Meursault untuk memutuskan hidupnya yang normal ini bergantung pada penguasa. Lain hal jika Meursault tergabung dalam kelompok pemberontak yang bagi Foucault dapat menjalankan mekanisme peradilan kedua, yaitu peradilan massa, saat posisi kaum borjuis menjadi antagonis masyarakat dan masyarakatlah yang mengeksekusi mereka. Sayangnya Meursault tak menempati posisi itu. Meursault terlalu berpasrah pada determinisme.
Pada akhirnya, Meursault-Meursault itupun beranak-pinak dan menciptakan impian pada keturuanannya tentang kehidupan yang normal. Tentang jabatan, rumah yang nyaman, mobil dan barang belanjaan. Pada masa itu pula siklus Sysiphus yang tak pernah usai serta tanpa makna itu menjamur ke dalam peradaban dan kita semua. Kita telah berkompetisi dalam mengangkat batu yang sama dan alur yang sama. Membuang semua khayalan dan impian lalu menggantikannya dengan frasa “realistis”. Perbedaan itu akan terlihat dan telah terjawab oleh kita yang melepas determinisme sebagai Sysiphus. Jika saja Camus masih hidup mungkin beberapa orang dan termasuk saya akan menyuruhnya menulis ulang Le Myth de Sysiphus. Membuat cerita tentang Sysiphus yang bahagia karena menerima cinta serta hal-hal yang sebenarnya bisa dilakukan Meursault.
Editor: Prihandini N