Lebih sering menulis esai. Hampir lulus dari kampus UIN Surakarta

Tiga Tanda Demokrasi Indonesia sedang Terpuruk

Dhima Wahyu Sejati

3 min read

Banyak ahli dari berbagai negara di dunia dan media-media internasional sepakat bahwa demokrasi di Indonesia di era Presiden Joko Widodo sedang menurun, bahkan mendekati rezim otoriter.  The Economist menyebut Jokowi sebagai penyerang demokrasi, sedangkan Al Jazeera mendaulatnya sebagai pemimpin paling mengecewakan di Asia dalam masalah demokratisasi. Namun, apa penanda demokrasi di Indonesia terus memburuk? Inilah tiga penandanya.

Ruang Ekspresi yang Dipersempit

Jika kita mengingat apa itu demokrasi, maka pengertian dasarnya adalah; dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat. Dari pengertian itu kita langsung tahu bahwa partsipasi rakyat atau keterlibatan publik menjadi syarat mutlak. Keterlibatan ini bukan hanya berarti rakyat ikut serta pemilu, tetapi justru keterlibatan paling penting adalah ikut mengawal jalannya pemerintahan dan proses pengambilan kebijakan publik.

Mural menjadi ekspresi paling konkret bahwa sebenarnya kesadaran demokrasi kita cukup baik dan menjadi indikator kalangan akar rumput bisa mengungkapkan pikiran dan kritik mereka. Suara itu disalurkan lewat mural. Ini sekaligus menjadi indikasi bahwa masyarakat mau terlibat dalam proses demokrasi.

Logikanya, ketika ada kelompok masyarakat atau individu menuntut haknya kepada pemerintah, ia percaya bahwa pemerintah mau mendengar, dan bahwa bakal ada setidaknya jawaban dari yang berkuasa. Alih-alih mendapat respon yang menjawab keresahan, mereka malah diberangus, dikriminalisasi, bahkan ditangkap. Mengapa ungkapan perasaan rakyat lewat mural yang justru merupakan angin segar bagi demokrasi yang sehat malah direpresi?

Jika ekspresi ini memang sedari awal adalah permainan politik praktis segelintir orang, tindakan penguasa masih dapat kita mengerti meskipun tentu segala bentuk represi tidak dapat ditolerir dalam demokrasi. Namun, ini adalah  ungkapan keresahan rakyat dalam bentuk poster dan mural. Padahal jika kita tarik ke masa 40-an, jelas tembok-tembok berisi mural yang umum kita ketahui bertulis “merdeka atau mati?”.

Setidaknya dua insiden penangkapan yang terjadi, benar-benar menunjukkan represi penguasa terhadap suara rakyat. Pertama di Blitar, seorang petani ditangkap karena mengeluh lewat poster ketika Presiden Jokowi melakukan kunjungan di sana. Kedua di Solo, sepuluh mahasiswa UNS ditanggap karena membentangkan poster ‘santun’ ketika Presiden Jokowi juga sedang melakukan kunjungan.

Baik poster dan mural adalah ekspresi yang jujur. Ruang dan ekspresi itu adalah medium yang sah guna menyampaikan aspirasi publik ke pemerintah. Ruang ini seharusnya tidak dipersempit, apalagi dianggap sebagai ancaman. Poster dan mural adalah ‘kepedulian’ dan ‘dukungan’ publik untuk jalannya pemerintahan.

UU ITE

UU ITE sedari awal seharusnya melindungi kita dari kejahatan dunia cyber. Dengan UU ini, seharusnya orang yang menyalahgunakan data pribadi adalah target utama yang harus dihukum. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Kita sering mendapat berita soal data bocor, bahkan dijualbelikan.

Kemungkinan terburuk dari data yang diperjualbelikan adalah apa yang disebut kejahatan cyber. Skenarionya misal begini, tanpa sengaja surel dan kata sandi kita bocor ke pihak ketiga. Pihak ketiga bisa mengakses data ponsel kita dengan mudah. Apalagi ponsel sekarang, menggunakan surel yang terhubung dengan nomor kontak, data penyimpanan, sampai akun media sosial. Bisa saja setelahnya terjadi peretasan di perangkat komputer, sampai penyebaran konten privasi.

Skenario lainnya, bisa saja nomor ponsel, alamat, dan nama kita digunakan untuk pinjaman online, atau nomor kita digunakan untuk menipu.

Lalu apa hubungannya UU ITE dengan demokrasi? Demokrasi memungkinkan relasi antar negara dan warga berlangsung dua arah. Satu sisi negara yang dipegang oleh pemerintahan (dari rakyat) harus dipatuhi. Di sisi lain, guna mengimbangi kepatuhan agar tidak terlampau otoriter, negara wajib membuka ruang kebebasan (liberty) dan pemenuhan atas hak warga sebagai individu atau kelompok. Di poin terakhir, secara gamblang negara punya kewajiban untuk melindungi setiap warga dari ancaman⸺dalam konteks ini adalah potensi kejahatan cyber.

UU ITE malah berbalik arah, bukannya melindungi warga negara, justru UU ini malah membuat gaduh dengan drama saling lapor antar warga negara. Melalui delik pencemaran nama baik, terjadi dua konflik sekaligus. Pertama, konflik horizontal antara korporat dan warga. Kedua, konflik vertikal antara warga dengan warga. Poin pertama, misal, kita menyaksikan penggusuran tanah/rumah mukim. Warga yang melawan, oleh korporat langsung dibawa ke pengadilan dengan delik aduan pencemaran nama baik. Poin kedua jelas, kasus teranyar yang menimpa karyawan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dia yang melapor karena dirinya dilecehkan, malah dilapor balik dengan delik pencemaran nama baik.

UU ITE gagal memfungsikan dirinya sebagai alat untuk menertibkan. Kini yang sering terjadi malah adanya bentrok antar warga, begitu juga dengan korporat yang semakin ganas dan beringas kapada warga yang menghalangi bisnis mereka. Negara yang bertugas sebagai “stabilisator”, malah seakan memfasilitasi konflik itu.

Bergabungnya Pemilik Modal dengan Kelompok Elite Politik

Penanda yang paling menonjol adalah berkolaborasinya pemilik modal atau pengusaha besar dengan kelompok elite politik dalam memonopoli penguasaan sumber daya negara. Istilah yang paling saya suka untuk menyebut hubungan keduanya adalah ‘politik kapital’, satu istilah yang pernah disebut oleh Donal Faiz, seorang aktivis anti-korupsi.

Kapital yang dimaksud itu modal, dalam hal ini tentu pengusaha. Katakanlah pengusaha di bidang industri, jika ada yang ingat film Sexy Killer (2019), kasusnya mirip seperti itu.

Misalnya, jika ada pengusaha yang berkempentingan melangengkan bisnisnya (terutama di bidang ekstraksi), umumnya bisnis seperti ini bermasalah karena berdampak merusak lingkungan. Makanya, izin dari pemerintah sulit keluar. Untuk mengakali itu, pengusaha mensponsori atau mendanai salah seorang politisi, dengan motif agar kepentingan bisnisnya kelak dikabulkan.

Atau opsi kedua, para pebisnis ini terjun langsung ke politik. Jika kita observasi secara kasar saja, banyak di antara politisi kita adalah pengusaha, baik itu pengusaha tambang, pengusaha media, sampai pengusaha mebel. Ini memungkinkan terjadinya bias kepentingan ketika mereka menjabat. Di satu sisi, mereka membawa kepentingan bisnis mereka, di sisi lain mereka membawa kepentingan partai atau ambisi politik pribadi. Jadi, di mana letak kepentingan warga negara?

Kumungkinan lain, memang dari awal pebisnis-pebisnis ini terjun ke politik dengan tujuan untuk mempertahankan atau bahkan mengembangkan bisnis mereka. Jadi tujuan akhirnya adalah bisnis (baca: kapital). Jika mau mendefinisikan model keterlibatan politik semacam ini adalah:  dari rakyat, untuk pejabat dan oleh kelompok pengusaha.

Dari ketiga tanda tersebut, silakan menduga–sekadar menduga saja–kira-kira demokrasi kita bakal bertahan sampai kapan.

Dhima Wahyu Sejati
Dhima Wahyu Sejati Lebih sering menulis esai. Hampir lulus dari kampus UIN Surakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email