menyisir setapak
menyisir setapak di sini, kau akan temukan
patahanpatahan menyerupai retaknya kayu
yang lapuk karena derasnya cuaca. jalanlah
terus, ikuti suara pecahnya gerimis atau koak
burungburung malam yang sedang bersembunyi.
mungkin kau akan temukan lokan yang telah
terjebak di dalam abad, yang terdampar jauh
dari tempat asalnya. mungkin kau akan mengira
dulu di sini adalah laut yang dalam, atau bisa jadi
setapak ini adalah bekas olakan tak berdasar.
tataplah langit maka ia akan menunjuk arah
yang sebenarnya melalui gerak bintangbintang.
–
untuk diriku sendiri
aku menemukan diriku sendiri
di dalam kepingan diriku sendiri.
aku menemukan diriku sendiri,
bersama bahasa yang hadir pada puisi.
pada bukubuku, yang sebagiannya
bergeliat dalam tubuhku: kepingankepingan
itu hidup, berusaha hidup di antara
rumah dan tempat tidur, kantorkantor
dan tempat tidur.
aku tidak bisa bicara.
mulutku hilang, beserta suaranya,
tenggelam di dalam panduan menulis
untuk menghadapi dunia.
aku menulis diriku sendiri,
mengetik banyak katakata untuk diriku sendiri.
kadang tentang cinta yang gugur,
kadang tentang kalimat yang tak selesai,
kadang tentang segala yang tak sempat.
di dalam banyaknya waktu, ada detikdetik
telah mengganda di dalam diriku. bersamanya
menghadapi diriku sendiri dengan perasaan
seperti bom yang akan meledak di dalam diriku sendiri.
–
rumah adalah tempat bahasa bekas pakai
pagi menjadi dasar untuk menjejaki udara,
tenggelam dan melebur bersama waktu
yang telah merembes di seluruh rumah.
rumah yang hadir, rumah kita, adalah
tempat bahasa lahir dan ia telah meninggalkannya.
sulit untuk mengucapkan selamat kepada dunia,
ketika kau sadar, kau hanya punya rumah yang
sepenuhnya runtuh oleh bahasa bekas pakai:
bahasa yang telah meninggalkan seluruh artinya.
berjalanlah keluar, kau akan temukan orangorang
yang diam, banyak yang diam, karena rumah cuma
hadir untuk tempat istirahat.
karena yang terbengkalai itu
tempat satusatunya untuk pulang.
–
sulit beranjak
di kota ini kita masih bermukim,
gemar melakukan kerjakerja
agar bahagia.
banyak cinta mudah dikejar
di setiap liku jalan pulang.
tiaptiap arah, kota meraung,
dan membuka pandangannya
untuk kita lalui.
rumah ketika senja
seperti dermaga,
pelabuhan sementara.
kita tak pernah beranjak,
kita sulit untuk beranjak.
kadang kala,
kita takut meninggalkan kota ini,
karena di sana sungguh jauh,
dan bukan tempat yang tepat
untuk singgah.
–
noda buah
di dalam diri yang lain ini,
kita masih senang bermainmain,
dan terkadang takut kepada angin.
ruparupa kita seperti melata,
hinggap di sini juga di sana.
kita punya umur,
yang pelanpelan mundur,
agar bersegera gugur.
kehidupan melingkar,
dan terlihat bagai bola.
kita pun tertanam, sudah mengakar,
untuk bertumbuh pohon berbuah noda.
*****
Editor: Moch Aldy MA