17 Januari lalu, melalui akun Instagram-nya Deddy Corbuzier mengunggah video berisi luapan amarah dan kekesalannya terhadap anak yang menyebut bahwa makan siang yang diberikan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) rasanya tidak enak. Dalam video itu, ia mengatakan bahwa anak tersebut pea (pendek akal) dan tak bersyukur.
Deddy lalu menceritakan bagaimana ia sangat marah dan bahkan akan menempeleng anaknya, Azka, bila tidak mau memakan nasi kotak yang dibagikan kepadanya dan rekan-rekannya saat sedang bekerja. Karena pernyataannya ini, Deddy kemudian mendapatkan banyak hujatan dan kritik dari berbagai netizen.
Selain dinilai ngawur dan arogan, pernyataan ini keluar dari mulut seorang Letnan Koloner Tituler. Tentu kita masih ingat berita pengangkatan Deddy Corbuzier sebagai Letkol Tituler oleh Prabowo Subianto pada 2022 lalu, yang selain menuai banyak kecurigaan juga tidak memiliki urgensi sama sekali.
MBG dan Keluhan Masyarakat
Memasuki minggu ketiga pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis, tak sedikit keluhan serta kritik yang muncul merespons program ini, baik dari kalangan siswa dan orang tua, maupun kalangan akademisi, tokoh publik, influencer, dan lain-lain. Bahkan, kritik terhadap program ini sudah muncul bahkan sejak sebelum Presiden Prabowo Subianto terpilih sebagai presiden.
Baca juga:
Ramita Paraswati, dalam opini berjudul “Mengkritisi Program Makan Siang Gratis” yang diterbitkan oleh Harian Kompas (Februari 2024), mengatakan bahwa program ini akan menjadi lahan baru bagi praktik korupsi, sebab program ini memerlukan keterlibatan banyak pihak dan pendataan yang akurat. Hal ini memungkinkan oknum pejabat untuk melakukan manipulasi data serta “main mata” dengan pelaku usaha yang memenangi tender.
Para siswa sebagai sasaran utama program ini juga turut menyampaikan keluhan mereka. Mereka mengeluh karena lauk ayam yang diberikan dalam program ini rasa dan baunya aneh. Ada pula anak yang alih-alih mendapat ayam, justru mendapat lengkuas.
Lebih parah, di Sukoharjo puluhan siswa keracunan karena menu makan siang bergizi. Para siswa tersebut mengalami mual dan sakit perut. Tak hanya itu, masih banyak lagi kritik dan keluhan dari masyarakat atas pelaksanaan program ini, seperti pendistribusian yang tak merata, keterlambatan, dan pengabaian terhadap siswa yang memiliki alegi terhadap makanan tertentu.
Kritik, Syukur, dan Muatan Makna “Gratis”
Agak sulit sebenarnya menentukan keberpihakan Deddy. Deddy dalam banyak kesempatan mengkritik keras berbagai kebijakan pemerintah melalui media sosialnya. Akan tetapi, dalam kasus ini kita dapat melihat bagaimana posisi Deddy dalam merespons berbagai kebijakan pemerintah. Kita tahu bahwa Deddy saat ini masih terhitung sebagai bagian dari TNI berpangkat Letnan Kolonel.
Dalam iklim demokrasi yang sehat, kita perlu memahami bahwa seluruh kritik dan keluhan yang diutarakan oleh rakyat, menjadi semacam penawar bagi program “sakit” yang dikeluarkan oleh pemerintah. Namun, melalui video itu, Deddy seolah-olah ingin mengatakan, “Jangan mengkritik orang yang udah membantumu. Bersyukurlah karena udah dibantu.”
Ini satu pemahaman yang salah, karena seakan-akan Deddy ingin mencampuradukkan antara hal-hal yang “disyukuri” dan “dikritisi”. MBG bukanlah bantuan karena ia dianggarkan dari dana APBN yang berasal dari pajak, dan oleh sebab itu rakyat tak perlu bersyukur maupun berterima kasih kepada pemerintah. Deddy agaknya tidak paham bahwa program MBG adalah program pemerintah yang menyangkut pemenuhan hak rakyat. Dan setiap program patut dikritisi agar berjalan lebih baik.
Jika pemerintah marah bila rakyat mengkritisi kebijakan, itu artinya: Pertama, pemerintah tak ingin memenuhi hak rakyat. Kedua, pemerintah enggan untuk dievaluasi. Ketiga, pemerintah tak ingin negara beserta kebijakannya menjadi lebih baik.
Di samping itu, kita perlu membongkar muatan makna “gratis” yang ada pada nama program ini. Sebab, MBG yang tak lain merupakan model program bantuan langsung, akan memengaruhi psikologi dan persepsi masyarakat terhadap pemerintah. Sehingga, tanpa sadar menempatkan diri mereka sebagai “orang yang dibantu” alih-alih sebagai “orang yang dipenuhi haknya”.
Baca juga:
Jika kita kaitkan Program MBG ini dengan gaya pemerintahan orde baru, maka kita akan menemukan model politik yang kurang lebih sama, yakni politik Bapakisme. Pemerintah agaknya ingin membangun kembali pandangan masyarakat terhadap hubungannya dengan pemerintah sebagai hubungan antar anak dan bapak. Pemerintah seakan-akan menjadi bapak yang memberikan makan (gratis) kepada anaknya.
Di Mana Posisi Deddy?
Saya kira, Deddy bukanlah orang yang bodoh. Ia sendiri bahkan sering menggunakan kata-kata smart people untuk para penonton dan pengikut media sosialnya. Akan tetapi, dalam kasus ini, Deddy seakan ingin melebur dalam pusaran kelompok yang oleh Antonio Gramsci (1891-1937 M) disebut sebagai political society. Yakni kelompok penguasa yang secara dominan menghegomi kelompok civil society.
Civil society adalah kelompok masyarakat yang selalu menghadapi koersi dari kelompok dominan (Political Society), baik dalam bentuk kekerasan, paksaan, dan hegemoni. Kritik dan keluhan masyarakat tentang MBG adalah bentuk dari perlawanan mereka terhadap tindakan koersif tersebut. Melalui video unggahannya, ia ingin meredam perlawan kelompok Civil Society dengan ketokohannya dan ajakan untuk bersyukur.
Sebagai penutup, Deddy kiranya perlu tau bahwa orang yang ia sebut pea adalah anak kecil yang masih polos. Apa yang ia rasakan akan ia tuturkan secara jujur tanpa polesan apa pun. Daripada menuntut siswa-siswa di Indonesia untuk bersyukur atas makan “gratis”, ia lebih baik menyampaikan keluhan itu secara langsung kepada Presiden.
Jika program ini menarget para siswa yang umurnya berkisar antara 7-17 tahun, pemerintah tentunya perlu mempertimbangkan rasa makanan dan gizi yang baik. Sebab, baik anak orang kaya maupun anak orang miskin, sama-sama enggan memakan makanan yang rasanya tidak enak. Hanya kondisi tertentulah yang memaksa mereka untuk mengonsumsi makanan yang ada.
Terlebih, urusan gizi baik ini adalah hak rakyat yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan, sekali lagi, bukan bantuan.
Editor: Prihandini N