Dalam kehidupan sehari-hari kekuasaan negara telah tampak sebagai realitas politik yang mendominasi kehidupan masyarakatnya, bagaimana pengaruhnya terhadap keberlangsungan hidup masyarakat tidak dapat dihindari karena sudah seperti menjadi sesuatu yang given. Kekuasaan negara dijalankan melalui pemerintahan, dan di Indonesia sendiri sistem pemerintahan yang ada adalah sistem demokrasi perwakilan.
Sistem demokrasi baik langsung maupun perwakilan dalam suatu negara dapat menjadi suatu sistem yang cacat jika sumber daya manusia yang menjadi pengontrolnya rendah. Rendahnya sumber daya manusia itu tentu akan berimplikasi pada kualitas pemimpin hasil pemilihan yang tidak dilandasi dengan pengetahuan mumpuni mengenai politik.
Seorang Socrates pun pernah meragukan sistem demokrasi. Ia mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem yang harus dicegah, karena dapat menghasilkan kemungkinan suatu negara dipimpin oleh seorang pemimpin yang bodoh yang kebetulan mendapatkan banyak suara dari pendukungnya.
Keraguan Socrates pada masa itu rasa-rasanya memang terbukti di masa-masa sekarang. Sistem demokrasi telah menciptakan banyak sekali persoalan yang cukup memprihatinkan. Khususnya di Indonesia, betapa telah merebaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme di bawah sistem demokrasi. Persoalan memprihatinkan (dibaca: menjengkelkan) ini tentu saja terbentuk secara sistematis, mulai dari pemilihan seorang pemimpin yang dilakukan oleh pemilih yang tidak memiliki keterampilan berupa pengetahuan politik yang cukup sampai tidak adanya kesadaran masyarakat untuk berdialektika.
Baca juga:
- Fomo dan Apatisme Politik
- Kemah Literasi dan Bangkitnya Kesadaran Politik Ekologis Generasi Muda Kerinci
Lalu, bagaimana solusinya? Haruskah sistem demokrasi ditiadakan? Tentu saja tidak. Kita hanya memerlukan pendidikan politik sebagai alat untuk membentuk, mempertanyakan, menempa kesadaran politik masyarakat umum agar terbentuk kebiasaan berdialektika.
Pendidikan politik sejak dalam pikiran
Masyarakat pada umumnya memahami politik sebagai barang yang kotor, sehingga mereka tampak tidak peduli dengan urusan politik yang ada. Karena bagi mereka, kehidupan mereka tidak ada kaitannya sama sekali dengan politik. Nah, hal inilah yang menjadikan buta politik dan justru sangat berbahaya. Pada kenyataanya segala urusan kehidupan mereka, di upayakan dan diatur melalui kebijakan-kebijakan politik pemerintah.
Kalau masyarakat selamanya buta politik, maka Socrates benar, sistem demokrasi harus dicegah, karena hanya akan menguntungkan segelintir pihak (dibaca: demagog) saja yang mementingkan kepentingan pribadinya melalui kekuasaan. Contohnya? Tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh pada masa Athenanya Socrates, tapi lihatlah kondisi dalam negeri saat ini.
Sejatinya kita perlu pendidikan politik, di mulai dari sejak dalam pikiran. Kita perlu mendidik pikiran kita dengan pengetahuan politik murni. Di mana dapat dilakukan dengan meningkatkan literatur yang memadai mengenai politik, dan menghindari adanya kepentingan politik praktis di dalamnya. Atau kita bisa nongkrong dengan kawan-kawan di warung kopi sambil membahas politik melalui perspektif ilmu politik, dan juga bisa dengan nonton film yang bertemakan isu-isu sosial.
Pendidikan politik sejak dalam pikiran merupakan langkah awal yang penting, karena tanpa pengetahuan dasar mengenai ilmu politik, kelak kita hanya akan menjadi sampan (dibaca: sampah) yang terombang-ambing di tengah lautan. Maksudnya, kita hanya akan menjadi sasaran empuk yang mudah dibeli dengan politik uang, dan mudah terpengaruh kampanye hitam (black campaign) para calon-calon demagog.
Setelah pendidikan politik sejak dalam pikiran, barulah melangkah pada tahap selanjutnya, yakni dalam perbuatan! Nah dalam tahap ini, kita bisa mengimplementasikan apa saja yang pernah kita pelajari. Bukan untuk menjadi seorang politikus (dibaca: demagog), melainkan menggunakan pengetahuan tadi sebagai alat untuk “mempertanyakan” suatu kebijakan pemerintah yang merugikan, atau suatu persoalan yang miskin akan moral di dalamnya seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kita juga dapat mengimplementasikannya pada suatu orientasi yang lebih luas. Misalnya, membuka sekolah politik gratis untuk umum. Bisa juga dengan menulis artikel dan esai yang menyoroti ketimpangan sosial dan ketidakadilan hukum.
Pendidikan Politik Dalam kehidupan Bernegara
Melihat kecenderungan negara digunakan sebagai alat oleh kelompok penguasa untuk menjamin posisinya sebagai kelas dominan, agaknya tepat kalau pendidikan politik menjadi satu-satunya cara untuk membatasi atau mencegah kelompok penguasa menjadikan negara sebagai alatnya. Dalam konteks kehidupan bernegara, ini menjadi penting. Pada dasarnya kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat, maka rakyat dapat menggunakan pendidikan politik sebagai sarana untuk mencapai sekaligus menjalani kekuasaan tertinggi itu.
Berangkat dari apa yang telah diuraikan di atas, maka dapat kita katakan bahwa pendidikan politik tidaklah berisi tentang pandangan akan nasionalisme yang sempit—seperti yang diajarkan oleh pemerintah melalui buku-buku pendidikan kewarganegaraan—melainkan lebih berorientasi pada bagaimana masyarakat sebagai warga negara dapat menjalankan perannya sebagaimana mestinya. Jika masyarakat sudah terdidik melalui pendidikan politik, maka proses keberlangsungan demokrasi dapat dijamin dengan baik.
Baca juga:
- Dasar-Dasar Ilmu Politik: Sebuah Kitab Klasik Anak FISIP
- Memahami Dampak Hegemoni Politik dari Serial One Piece
Dan perlu diingat, pendidikan politik bukanlah sarana untuk menumbuhkan patriotisme, melainkan sebagai suatu metode untuk berontak—dari keadaan serta kesadaran palsu—yang di dasari dengan memanfaatkan kekuatan kolektif manusia sebagai makhluk sosial. Pendidikan politik selalu menekankan betapa pentingnya kesadaran akan solidaritas universal, dan menaruh keraguan di atas segala konsepsi negara, dengan basis kesadaran dan kekuatan moral yang baik. Pendidikan politik menjadi penting, baik sebagai alat maupun sarana untuk keberlangsungan hidup yang lebih baik; menumbuhkan serta menjaga kesadaran politik individu.
Membangun Kebiasaan dan Kesadaran Berdialektika
Pendidikan politik universal adalah instrumen yang dapat mendidik pikiran dan tindakan untuk menghadapi realitas politik yang ada. Artinya, pendidikan politik tidak boleh dimaknai sebagai pendidikan mengenai cinta tanah air yang buta. Pendidikan politik harus diorientasikan pada cara berpikir bebas namun kritis supaya tidak melahirkan patriotisme dan kecintaan yang buta terhadap negaranya.
Bukan maksud menghilangkan kecintaan terhadap tanah air, pendidikan politik lebih dimaksudkan untuk mendidik akal dan kesadaran akan pengetahuan mengenai kehidupan bernegara yang bertumpu pada rasionalitas, dan dialektika. Sederhananya, untuk menghindari adanya akibat dari gejala otoritarianisme pemerintah, pendidikan politik harus menjadi pemantik terbentuknya kebiasaan dan kesadaran berdialektika pada masyarakat umum dalam kehidupan sehari-harinya.
Demikian betapa pentingnya pendidikan politik dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat memang menjadi unsur terpenting eksisnya suatu negara, tetapi bukan berarti masyarakat hanya dijadikan lahan basah guna disemai doktrin-doktrin yang berorientasi pada mempertahankan kekuasaan atau kepentingan suatu kelompok, dan kemudian hari hanya dituai suara-suaranya saja. Masyarakat harus mengerti perannya dalam kehidupan bernegara untuk menghindari gejala otoritarianisme. Kebiasaan dan kesadaran berdialektika adalah syarat pentingnya yang bisa dibentuk melalui proses pendidikan politik yang sehat. (*)
Editor: Kukuh Basuki