Ungkapan bahwa manusia adalah entitas yang paling baik dibandingkan entitas lainnya memang tidak sepenuhnya salah. Namun, arogansi ini sering mengantarkan manusia terhadap sikap abai, meremehkan, dan bahkan acuh terhadap kehadiran entitas lainnya. Sikap ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan merugikan manusia itu sendiri. Seperti halnya ketika manusia saat berinteraksi dengan alam.
Dewasa ini kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari perilaku ekstraktifnya terhadap alam, bahkan kini perilaku tersebut semakin masif, agresif, dan tanpa mempertimbangkan dampaknya. Terutama mereka yang memiliki kepentingan menghancurkan bumi dan mengeruk keuntungan untuk segelintir golongan.
Ahli sosiologi dan geografi asal Binghamton University, Jason Moore, mengusulkan konsep Capitalocene yang dapat membingkai perilaku ekstraktif manusia tersebut. Tesis Capitalocene mengatakan bahwa untuk memahami krisis planet saat ini, kita perlu melihat kapitalisme sebagai ekologi dunia tentang kekuasaan, produksi, dan reproduksi. Perilaku tersebut dapat kita lihat di tengah-tengah kita saat ini, ketika negara justru membuka lebar-lebar usaha pengrusakan lingkungan melalui rencana deforestasi 20 juta hektar hutan dengan dalih ketahanan pangan.
Baca juga:
Rencana tersebut tentu akan menjadi sumber bencana. Kekeringan, banjir, tanah longsor, hilangnya mata air, serangan hama, dan masih bencana lainnya merupakan dampak dari pembiaran penghancuran ekologi atas nama ‘pembangunan’ dan ‘memenuhi kebutuhan pangan’. Selaras dengan pernyataan Vandana Shiva dalam buku Terra Viva (2024), berdirinya perkebunan sawit melalui deforestasi hutan alami punya andil terhadap perubahan iklim. Gangguan iklim yang terjadi tersebut dapat semakin memperparah timbulnya bencana seperti kekeringan, banjir, dan angin topan.
Bahasa Alam
Banyak contoh bencana yang telah terjadi di negeri ini diawali dengan mengorbankan ekologi, seperti deforestasi hutan. Di antaranya bencana banjir yang baru-baru ini terjadi di Desa Labota, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali pada akhir tahun 2024 lalu.
Walhi Sulteng menyebut selain karena curah hujan deras yang terjadi di kawasan industri nikel Morowali, banjir tersebut disebabkan oleh hilangnya pepohonan dan meluasnya bukaan tambang. Kegiatan tersebut mengakibatkan resapan air hujan ke dalam tanah berkurang sehingga air cepat membawa material tanah ke daratan rendah, tempat masyarakat bermukim.
Sudah seharusnya kita sebagai manusia semakin peka terhadap bencana yang semakin sering terjadi dan semakin parah risikonya. Hal tersebut tidak lain merupakan buah dari perilaku kita. Terutama dari mengorbankan fungsi hutan yang sangat vital bagi kehidupan demi suatu kebijakan yang tidak didasarkan pada keadilan.
Pada akhirnya bencana yang telah terjadi bukan sebatas peristiwa sepintas lalu. Terdapat pesan di dalamnya. Bruno Latour, yang dikenal sebagai filsuf, sosiolog, sekaligus antropolog kontemporer Prancis, sejak lama telah melihat hubungan antara manusia dan non manusia—termasuk hutan, hewan, cacing, bakteri, udara dan lainnya—bersifat linear atau setara dan memiliki interdependensi yang bahkan logikanya sendiri mungkin tidak pernah terpikirkan oleh manusia
Baca juga:
Gagasan Latour tersebut terinspirasi dari teori Gaia a la Lovelock, bahwa non manusia—termasuk alam—memiliki kemungkinan untuk “membela diri” apabila mengalami ketidakadilan yang tidak bisa “ditoleransi” lagi. Pembelaan diri ini secara radikal dapat berbentuk bencana. Dan hal ini akan memengaruhi aktor lainnya termasuk manusia dalam bentuk kerugian materiil hingga menyebabkan korban jiwa.
Apa yang ingin saya sampaikan, selaras dengan gagasan Latour dalam melihat hubungan antara manusia dan non manusia, diperlukan pandangan mendalam yang adil dalam merumuskan kebijakan agar bencana yang timbul akibat mengorbankan ekologi setidaknya tidak semakin parah di kemudian hari.
Apabila kita terus mengabaikan alam yang “berbicara” melalui tanda-tanda kecil, bukan tidak mungkin alam akan berbicara dengan lebih keras bahkan langsung meluapkan kemarahannya dalam bentuk yang paling radikal melalui bencana alam besar.
Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat ketika melihat rencana kebijakan yang mengorbankan ekologi oleh pemerintah? Sebagai masyarakat umum kita tidak boleh berdiam saja. Sebaliknya, kita perlu mempertanyakan, mengkritisi, dan ikut marah. Selain itu, kita harus mengurangi arogansi sebagai manusia yang selalu merasa lebih tinggi dari makhluk lain. Ini merupakan PR besar kita bersama.
Editor: Prihandini N