Seorang pengarang cerita ibarat membawa lembar kata-kata menuju kebebasan. Mereka leluasa mengolah kata, membentuk cakrawala harapan pembaca, sekaligus merajuk kita masuk ke cerita. Di satu sisi, cerita bersifat reflektif, tapi di sisi lain cerita menampilkan tragedi tragis atau pun sisi humor.
Cerita bersalin kelindan, membentuk sebuah semesta dan cakrawala harapan bagi kita sebagai pembaca. Wolfgang Iser menyatakan bahwa karya sastra dengan sifatnya sebagai teks terdiri atas dua kutub, yaitu artistik dan estetik.
Kutub artistik mengacu pada teks ciptaan pengarang, sementara itu kutub estetik pada konkretisasi atas teks itu oleh pembaca. Lebih lanjut, makna sebuah karya bergantung pada kreativitas dan imajinasi pembaca dalam mengisi ‘ruang kosong’ di dalamnya. Dengan arti lain, sebuah karya sastra dibaca dan dimaknai pembacanya dengan cara berbeda-beda. Lantas, apakah makna teks pada akhirnya direduksi secara subjektif bukan objektif oleh pembaca?
Hal ini kemudian terjawab melalui tulisan Hans Robert Jauss, Toward An Aesthetic of Reception. Objektivitas disusun dengan tiga kriteria.
Pertama, konvensi yang berkaitan dengan teks yang dibaca. Pengalaman membaca teks sebelumnya berpengaruh langsung dengan pengalaman membaca teks saat ini. Artinya, kekayaan bacaan si pembaca turut ambil andil.
Kedua, pengalaman dan pengetahuan pembaca pada teks-teks yang dibaca sebelumnya.
Ketiga, kontras antara fiksi dan kenyataan yang merupakan kemampuan pembaca untuk menerima teks baru di dalam cakrawala harapan yang ‘sempit’ dan cakrawala pengetahuan hidupnya yang ‘luas’.
Cakrawala harapan bergantung pada statistik personal tentang seks, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal, agama, sikap, dan norma pembaca, kompetensi sastra dan lingustiknya, pengalaman analisisnya, luas sempitnya keakraban dengan pengirim sarana, serta situasi resepsi si pembaca. Pertanyaannya, apa yang terjadi jika cakrawala harapan itu bercampur baur dengan kesadaran lain?
Jawabannya mungkin akan beragam. Cerita yang hadir akan membuat ‘semacam’ perayaan kekuatan imajinasi bersama dengan ketidakpastian tentang kenyataan. Cerita yang menulis cerita di dalam cerita, kehilangan batas antara yang fiksi dan yang nyata (tapi definisi soal fiksi dan realitas sulit didistingsikan).
Kesadaran tentang Bahasa
Setidaknya premis itu menjadi pintu gerbang kita dalam memandang metafiksi. Metafiksi—sependek pengetahuan—adalah cara seorang pengarang mengolah fiksi yang menekankan konstruksinya sendiri, tetapi secara terus-menerus mengingatkan pembaca untuk sadar bahwa mereka sedang membaca atau melihat sebuah karya fiksi. Metafiksi adalah kesadaran diri tentang bahasa, bentuk sastra, dan penceritaan. Metafiksi sering digunakan sebagai bentuk parodi atau alat untuk menertawakan kemufakatan sastra dan mengeksplorasi hubungan antara sastra dan realitas, kehidupan, dan seni.
Patricia Waugh, dalam Metafiction: Theory And Practice Of Self Conscious Fiction (1984), mengatakan bahwa metafiksi adalah cara pengarang menarasikan novel atau cerita yang meneliti, bereksperimen, atau mengolok-olok konvensi fiksi itu sendiri. Istilah metafiksi secara harfiah berarti ‘di luar fiksi’ atau ‘kesadaran di atas fiksi’. Metafiksi merujuk pada penulis atau narator yang berdiri di atas teks fiksi dan menilai dengan cara yang sangat sadar diri.
Tidak seperti kritik atau analisis sastra, metafiksi itu merupakan fiksi itu sendiri. Metafiksi adalah cara atau teknik yang digunakan penulis fiksi. Metafiksi, oleh Waugh Patricia, dibedakan menjadi tiga karakteristik utama.
Pertama, breaking the fourth wall atau mendobrak tembok keempat. Ini memiliki arti bahwa metafiksi berusaha menembus batas antara penulis dan pembaca dengan mengaburkan batas antara kehidupan nyata dan fiksi. Metafiksi sering langsung ditujukan kepada pembaca, secara terbuka mempertanyakan cerita dari si narator sendiri.
Kedua, self-reflexive. Penulis memakai self-reflexivity atau kesadaran diri untuk merefleksikan proses artistik mereka sendiri, menarik perhatian penonton dari cerita dan memungkinkan mereka untuk mempertanyakan isi teks itu sendiri.
Ketiga, eksperimental. Metafiksi sering bersifat eksperimental, menggabungkan sejumlah teknik berbeda bersama-sama untuk menciptakan narasi yang tidak konvensional. Metafiksi juga dapat bereksperimen dengan peran narator dan hubungannya dengan karakter fiksi dalam cerita.
Metafiksi menonjolkan pada sisi parodi atau sindiran. Meskipun karya-karya tersebut tidak selalu melibatkan narasi sadar diri, namun masih tergolong metafiksi karena memperhatikan teknik dan genre penulisan populer. Waugh lebih lanjut menjelaskan bahwa metafiksi sebenarnya bukan hal baru. Cara ini bahkan sudah digunakan sejak lama.
I would argue that metafictional practice has become particularly prominent in the fiction of the last twenty years. However, to draw exclusively on contemporary fiction would be misleading, for, although the term ‘metafiction’ might be new, the practice is as old (if not older) than the novel itself (hlm, 7).
Don Quixote karangan Miguel de Cervantes, yang ditulis abad ke-16, telah menceritakan kisah mereka sendiri sebagai bagian dari konteks cerita. Don Quixote adalah kisah pria hidalgo La Mancha yang masuk pada pusaran imajinasi lewat perjalan-jalan gila di luar nalar. Don Quixote mabuk buku ksatria, dia ingin membangun kembali tradisi ksatria padahal zaman itu telah lewat. Metafiksi dalam Don Quixote terletak pada cara sang penulis, Cervantes, dalam menciptakan semesta cerita yang luas. Di satu sisi Don Quixote bercerita tentang cerita lain, di sisi lain Cervantes mengaku cerita itu bukan idenya, tetapi ide dari oarang lain bernama Cide Hamete Benengeli.
Metafiksi yang lebih tua terdapat dalam kisah The Odyssey karya Homer dan epik Inggris abad pertengahan Beowulf yang berisi refleksi tentang penceritaan, karakterisasi, dan inspirasi.
Baca juga:
- Jalan Sunyi Menulis Puisi
- Bisakah Memahami Politik Global Melalui Fiksi?
- Membaca Sastra bersama Llosa
Beberapa karya sastra Indonesia, khususnya prosa dalam bentuk novel, belakangan ini telah menerapkan gaya metafiksi. Sebut saja misalnya Dawuk karya Makhfud Ikhwan, Raymond Carver Terkubur Mie Instan di Iowa karya Faisal Oddang, Cala Ibi karya Nukila Amal, dan Hari-Hari Mencurigakan karangan Dea Anugrah.
Bagaimana Pengarang Menggunakan Metafiksi?
Metafiksi memupus batas antara yang nyata dan fiksi dalam semesta cerita. Ia secara sadar dan sistematis menarik perhatian kesadarannya sekaligus mengajukan pertanyaan tentang hubungan antara fiksi dan kenyataan. Namun, bukankah yang fiksi dan yang nyata memang susah dibedakan?
Meskipun karakteristik dan spektrum teknik yang digunakan sangat bervariasi, pola dari beberapa ciri umum metafiksi dapat dilacak. Teknik-teknik ini sering muncul dalam kombinasi, tetapi juga dapat muncul secara tunggal. Metafiksi sering menggunakan referensi dan kiasan intertekstual dengan memeriksa sistem fiksi, menggabungkan aspek teori dan kritik, membuat biografi penulis imajiner, menyajikan dan mendiskusikan karya fiksi dari karakter imajiner.
Karya metafiksi menggali teori penulisan fiksi melalui praktik menulis fiksi. Penulis metafiksi sering melanggar tingkat naratif untuk mengomentari tulisan. Caranya, ia melibatkan dirinya dengan karakter fiksi secara langsung. Penulis metafiksi menyapa pembaca secara terbuka. Mereka mempertanyakan bagaimana asumsi dan konvensi naratif mengubah dan menyaring realitas. Mereka mencoba untuk membuktikan bahwa tidak ada kebenaran atau makna tunggal. Teks terbuka, tafsir terbuka.
Dari segi teknik, penulisan metafiksi menggunakan cara tutur yang tidak konvensional, bahkan terkesan eksperimental. Cara ini sekaligus menolak plot konvensional yang menganggap cerita sebagai ‘tiruan kehidupan nyata’ (baca: teori mimesis). Meski begitu, karya metafiksi tetap menampilkan refleksi.
Dengan semua perangkat tersebut, penggunaan metafiksi memungkinkan pengarang tidak hanya memberi struktur fundamental dari narasi fiksi, tetapi juga mengeksplorasi kemungkinan kefiktifan dunia di luar teks fiksi sastra. Dalam pemaparan metafiksi, pengarang menyajikan cara pandang yang luas sehingga metafiksi dapat dikatakan sebagai cara pengarang untuk mengeksplorasi teori fiksi melalui praktik menulis fiksi.
Novel metafiksi seolah menempatkan diri sebagai perlawanan dalam bentuk novel konvensional, tetapi pada saat yang sama dia merupaka refleksi dari gaya novel konvensional. Setiap pengarang yang bermain-main dengan metafiksi secara sadar menetapkan pembebasan bersyaratnya sendiri bertentangan dengan bahasa (kode dan konvensi) novel konvensional. Mereka mengubah hal yang terlihat negatif dari nilai konvensi sastra menjadi dasar kritik sosial yang membangun. Ini menunjukkan bahwa, pada kenyataannya, mungkin ada banyak yang bisa dipelajari dari sastra itu sendiri seperti unsur bahasa, linguistik, maupun representasional.
Daftar Rujukan
Terry Eagleton. (2010). Teori Sastra; Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Upston, Sara. (2009). Spatial Politics in the Postcolonial Novel. Farnham Surrey: Ashgate Publishing Company.
Waugh, Patricia. (1984). Metafiction: The Theory and Practice of Self-Conscious Fiction. London & New York: Routledge,.