Jogja adalah Upah Rendah, Buku Melimpah

Yusqamarul Munshif

2 min read

Penyair Joko Pinurbo pernah bilang kalau “Jogja itu terbuat dari rindu, pulang dan angkringan”. Kata-kata itu menjelma menjadi mantra yang kerap kali dirapalkan oleh siapa saja yang pernah singgah atau yang tinggal di Jogja.

Jogja selalu dirindukan dan menjadi kota untuk “pulang” bahkan oleh mereka yang tak pernah benar-benar tinggal di Jogja. Ada begitu banyak alasan orang untuk pulang ke Jogja. Mulai dari alasan yang remeh-temeh sampai pada alasan yang sentimentil. Dari yang hanya ingin sekadar jalan-jalan atau melepas rindu pada makanan favorit, sampai pada sebuah ritus menziarahi kenangan yang barangkali belum sempat dikemas dan masih berserakan di sepanjang jalan Malioboro dan Tugu. Ya, begitulah Jogja, serupa magnet, menarik dan menyihir siapa saja yang pernah berkunjung untuk pulang kembali. Kadang juga seperti opium, pulang ke Jogja adalah sebuah candu.

Memang, segala romantisme tentang Jogja ini sering kali berlebihan. Banyak juga kritik dilontarkan bahwa romantisme tentang Jogja ini telah menutupi masalah-masalah nyata yang dihadapi warga Jogja sehari-hari. Misalnya soal rendahnya Upah Minimum Provinsi Jogja yang selama beberapa tahun menyandang predikat provinsi dengan UMP termurah di Indonesia. Rendahnya upah ini tak sebanding dengan biaya hidup dan kenaikan harga tanah dan properti di Jogja. Demikian juga dengan kemilau gaya hidup yang ditandai dengan deretan kafe-kafe mahal – yang seolah memang hanya untuk melayani para pendatang kaya.

Tentu saja, saya bukan bagian dari pendatang kaya yang datang ke Jogja untuk menikmati berbagai kemewahan itu.

Kota Buku

Buat saya, ada satu alasan utama yang mendorong saya untuk selalu pulang ke Jogja. Alasan itu adalah: Buku!

Saya datang dari sebuah kampung yang jauh dari kota besar, dengan tradisi dan akses literasi yang sangat minim. Tak ada toko buku atau perpustakaan. Sepanjang hidup saya di kampung, buku adalah benda mewah. 

Jogja kemudian mengubah segalanya. Dari anak yang sebelumnya tak akrab dengan buku, tak pernah menginjakkan kaki di toko buku, kini Jogja membuat hubungan saya dan buku menjadi begitu dekat dan intim. Seintim buku dan pembatasnya.

Di kota ini, toko buku bertebaran di setiap sudutnya, entah itu toko buku mayor yang merupakan bagian dari jaringan perusahaan besar atau toko buku-toko buku kecil yang dikelola secara independen, entah itu toko buku konvensional yang berjualan secara luring atau toko buku yang berjualan daring, entah itu toko buku yang menjual buku-buku baru maupun toko buku yang menjual buku-buku bekas, hingga toko buku dengan tempat dan penataan yang unik sehingga menarik orang untuk berfoto. Segala jenis toko buku ada di Jogja.

Jogja juga menjadi ibu kota bagi dunia penerbitan indie di Indonesia. Banyak penerbit lahir dan menjalankan bisnisnya dari Jogja. Kebanyakan penerbit ini dimotori anak-anak muda yang memulai usahanya dengan modal kecil. Bahkan ada guyonan yang berkembang di Jogja soal industri buku indie ini. Konon, di Jogja, hari ini ngumpul-ngumpul dan bicara ngalor ngidul tanpa tujuan pun bisa berakhir dengan kesepakatan untuk membuat penerbitan bersama. Lalu jadilah keesokan harinya sebuah penerbitan baru.

Kampus yang Sebenarnya

Selain toko buku yang menggurita, Jogja juga sering menggelar festival maupun acara yang bertemakan literasi. Sebut saja Kampung Buku Jogja yang berhasil digelar selama 5 tahun berturut-turut. Ada pula Mocosik yang menggabungkan festival buku dan musik, lalu ada Tahun Baru di JBS yang merayakan pergantian tahun dengan buku, Patjar Merah yang menjadi pasar penjualan buku dan masih banyak lagi acara lainnya yang serupa.

Baca juga: Dulu Saya Benci Sheila On 7

Berbagai acara tersebut menyuguhkan berbagai menu penuh ilmu yang dikemas dengan asyik dan kreatif, Seperti bazar buku, diskusi dan bincang-bincang, pelatihan, lelang buku, pertunjukan musik, orasi literasi. Untuk mengisi berbagai macam acara tersebut pastinya ada tamu yang diundang. Mereka merupakan narasumber-narasumber ulung yang telah malang-melintang di industri perbukuan dan dunia literasi secara umum.

Uniknya acara-acara tersebut tidak memungut biaya sepersen pun, kita hanya tinggal mengumpulkan niat sekuat-kuatnya untuk datang dan mengunduh ilmu sebanyak mungkin, Lalu menyisipkan uang minimal 100 ribu untuk meminang buku-buku dengan diskon gila-gilaan. Bagi para pecinta buku dan sebagian besar mahasiswa acara tersebut barangkali merupakan sebuah kemewahan intelektual. 

Acara-acara itu telah menjelma sebagai sebuah tempat pesta pora serta ajang pertemuan para pecinta buku di Jogja. Dari sana, denyut nadi kehidupan intelektual Jogja tumbuh dan hidup yang semakin mempertegas julukan Jogja sebagai Kota Pendidikan. Festival-festival literasi tersebut menjadi “kampus” dalam maknanya yang lain; tempat belajar, bercengkrama tentang apa saja juga tempat lahirnya buku-buku baru dan penulis-penulis muda.

Barangkali jogja memang bukan hanya sekedar sebuah kota, lebih dari itu, ia adalah bentangan samudera ilmu penegtahuan yang luas. Menampung segala rupa manusia yang terombang-ambing oleh derasnya lautan kefakiran ilmu dan kekerdilan pengetahuan. Di sana, setiap orang bisa menyelaminya dari sudut mana saja, yang didalamnya akan kita temui mutiara-mutiara pengetahuan yang bisa direngkuh, meski hanya sebiji zarah. Sebab, selain terbuat dari rindu, pulang dan angkringan, barangkali jogja juga terbuat dari buku-buku yang memecah lautan beku dalam diri kita, seperti yang pernah dituturkan Kafka.

Yusqamarul Munshif

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email