Gestur menyambut kedatangan adalah penentu kejadian selanjutnya. Di mana pun itu. Postur tubuh gelandang menyambut umpan tentukan 3-4 operan seterusnya. Begitu pun orang tua menyambut bujangnya yang buntu pulang dari perantauan. Bila sambutan berupa senyum diiringi tepukan di pundak, artinya: c’est la vie, Nak. Beginilah hidup. Legowo.
Gestur penyambutan adalah sebuah pernyataan sikap: terima atau tolak Yang-Datang. Entah itu gelandang dengan umpan rekannya atau pun orang tua dengan bujang rantau. Itulah mengapa wajah kota selalu disolek. Diberi gapura atau patung sambutan. Untuk katakan: Kemari, masuklah!
Maka ketika ucapan “Selamat Datang” ditempel timbul di gerbang Gubernuran Lampung, tidak ada kesangsian untuk datang lalu ditolak. Namun, siang itu lain. Ribuan rakyat menuju gedung yang mereka biayai pembangunannya. Hanya untuk membuktikan, kata “Selamat Datang” di sana memang hanya semen dan cat.
Saya memang belum tiba saat massa pertama kali berjumpa pagar Gubernuran. Tapi kabar dari kawan di depan tidak bisa lain: blokade. Massa, seperti demo yang sudah-sudah, mentok di gerbang kompleks Gubernuran. Kompleks yang terdiri beberapa kantor dinas, Gedung DPRD, dan Kantor Gubernur ditutup rapat. Tak cukup, kawat duri dijejer menghalau massa.
Maka ketika beredar video Mobil Komando trabas kawat duri, saya tidak bisa lebih sepakat lagi. Bila massa aksi adalah fluida, maka Hukum Pascal jadi postulat. Bahwa, tekanan yang diberikan oleh cairan dalam ruang tertutup selalu diteruskan ke segala arah dengan sama besar. Bahwa, massa yang mendesak di “ruang” berpagar, tidak akan putus akal. Apalagi putus asa. Tekanan akan diarahkan ke mana pun yang bisa membuat akses ke situs rakyat, kompleks Gubernuran, terbuka. Meski mobil komando remuk adalah harga yang perlu disetor.
Bukan salah fluida menekan ke segala arah. Meski massa bukan persis fluida, namun penguasa tidak perlu jadi sumbatan kanal suara rakyat, yang bikin Hukum Pascal jadi makin relevan. Demo tidak lahir sekonyong-konyong. Dia adalah imbas, suatu reaksi. Bisa didebat apakah gerakan kemarin hanya reaksioner, atau bermula dari agenda politik yang klir. Namun yang sulit ditampik adalah gestur buruk dari pemerintah dalam menyambut kritik.
Baca juga:
Massa berteriak, memprotes. Ada beberapa yang duduk meneduh, tapi poster satire masih teracung. Sementara gerbang kompleks yang memungut congor rakyat saban 5 tahun sekali, masih bungkam. Dari belakang, saya melihat itu. Dari sana, saya melihat pemerintah (tidak) bekerja. Dari sana, saya saksikan gagalnya masyarakat kita.
Bukan, masyarakat bukan sebatas rakyat. Ia adalah sistem sosial, yang melibatkan rakyat dan penguasa sebagai salah dua dari subjeknya. Barangkali kita sebagai rakyat memang gagal membangun basis politik kolektif dengan agenda yang klir. Maka muncul lah terma eksklusif macam Gerakan Mahasiswa. Seolah tidak ada yang namanya buruh, tani, atau ibu-ibu yang mesti peras otak sebab harga pangan pada kelojotan. Seolah mahasiswa adalah obat, solusi umat. Titipkan semuanya ke agent of change ini, simsalabim, berubah! Namun nyatanya dunia tidak bekerja seperti itu.
Otokritik gerakan mesti ada. Tapi yang saya lihat di Rabu Siang itu kelewat terang. Menerabas barisan massa, saya melongok dari sela tembok di samping gerbang. Di Gedung DPRD yang berdiri kelabu dan tinggi, berdiri pula orang-orang yang ,tidak bisa tidak, adalah anggota DPRD itu sendiri. Di atas gedung, di balik pagar.
Buyan betul, umpat saya. Saban 5 tahun sekali mereka banting uang (bukan tulang!) demi mantra “Siap Mewakili Aspirasi Rakyat!”. Tapi kala aspirasi itu datang, bahkan berduyun-berombongan, tidak ada sambutan bahkan sekadar membuka gerbang. Tidak ada ucapan selamat bagi kedatangan massa. Siang itu, tidak ada “Selamat Datang”.
Bukan hanya siang itu, siang-siang yang sudah-sudah, juga demikian. Bukan hanya di Lampung, tapi di seantero Indonesia. Surat Telegram Kapolri pada demo tolak UU Cipta Kerja 2020 silam adalah bukti tak terbantahkan. Poin-poinnya bikin dahi berkerut. Minimal dahi saya.
Telegram itu jadi jawaban dari massa yang dipaksa “tiba” sebelum sampai. Dihalau bahkan sebelum ada di titik aksi. Telegram itu juga bikin pasukan siber yang baru menetas 2-3 hari lantas sibuk mengerek tagar pro-pemerintah jadi konsekuensi yang masuk akal.
Ada kawan saya yang aktif mengorganisasi gerakan tolak UU Cipta Kerja, dirisak di media sosial. Ditelanjangi identitas privatnya di ruang publik. Dituding kadrun (mungkin sebab kontra rezim), meski kitab yang diakrabinya adalah karya-karya Marx hingga Goldman. Tidak ada kata yang bisa kami ucapkan saat itu selain “Lawan” dan “Bajingan”.
Atas dasar apa polisi perlu melakukan kontra-narasi gerakan rakyat? Atas kepentingan apa Polisi perlu membendung aksi rakyat? Polisi adalah organ sipil, ini perlu dicatat. Maka, kepentingan sipil yang perlu dijaga. Termasuk demonstrasi. Bukan jadi anjing penjaga kekuasaan.
Tapi obrolan pendek saya dengan penjaga parkir Perpustakaan Daerah Lampung bikin sadar. Kami berbincang sebentar tentang demo. Soal omzet berlipat jaga parkirnya saat aksi, hingga tuntutan yang dibawa. Sambil berdiri bersandar di dinding, lelaki tanggung ini bilang, “Mereka tidak akan pernah mengerti.”
Mereka, penguasa dan wakil rakyat, tidak akan pernah pusing saat Pertamax melambung lalu Pertalite jadi langka. Di dalam kebijakan car-dependent dan nihilnya transportasi publik, tidak ada pilihan selain tetap membeli BBM berapa pun harganya. Baik mereka atau kita, sama-sama terjebak di sini. Bedanya, kita makin miskin sementara mereka pusing pun tidak.
Mereka tidak akan pernah mengerti.
Barangkali kita yang terlampau berbesar hati. Kelewat yakin kalau “Selamat Datang” ditujukan kepada kita. Rakyat kebanyakan. Padahal, wakil rakyat dan elite eksekutif, jelas tidak banyak diisi rakyat kebanyakan. Pada 2020, Defbry Margiansyah merilis temuan Marepus Corner bertajuk ‘Peta Pebisnis di Parlemen: Potret Oligarki di Indonesia’. Riset ini petakan 60% dari anggota DPR RI merupakan pebisnis. Sebagian besar, berkubang di bisnis energi-migas, dua sektor ekstraktif yang padat modal. Dua sektor yang jadi sarang korupsi dan markas gurita oligarki.
Entah di Lampung seperti apa, tapi saya kira tidak ada perbedaan signifikan sebab tiadanya alternatif ekonomi politik yang signifikan pula. Tidak akan langgeng bila penguasa belum direstui Sugar Group Company. Tidak akan mulus jalan pejabat bila urung berkoneksi dengan korporasi sawit. Oligark.
Sepertinya, alegori gelandang dan umpan rekannya tidak sesuai dalam konteks ini. Juga orang tua dengan si Bujang. Keduanya mengandaikan dua aktor yang satu tim, sekeluarga. Integral. Namun, negara tidaklah integral seperti yang diangankan Supomo.
Negara, yang di dalamnya ada rakyat dan pemerintah, bukanlah gelandang dan bek di satu tim. Bukan juga bagai bapak-anak, meski Suharto berkeras demikian. Hatta bilang, negara adalah kontestasi kuasa yang terus-menjadi. To becoming. Tegangan rakyat-pemerintah bukan suatu yang patut binasa. Ia adalah ruh bernegara, yang perlu dirawat berapa pun harganya.
Dalam negara yang terus direbut, pemerintah yang diisi oleh oligark tidak akan pandang bola dari rakyat sebagai umpan. Ia adalah serangan yang perlu dibikin mentah. Juga bukan bujang rantau yang pulang kampung, massa yang tiba adalah penagih utang yang patut disepak pantatnya.
Bila rakyat disambut sambitan, dijamu kawat duri, pagar yang tak junjung buka, dan wakil rakyat yang melongo tak tahu harus buat apa di baliknya, maka rakyat cukup cerdas untuk percaya “Selamat Datang” di Gubernuran hanyalah cat dan semen.