Suka bingung kalau disuruh milih, "Radiohead apa Pink Floyd?"

Sastra dan Politik dalam Realisme Sosialis

Muhammad Ridwan Tri Wibowo

4 min read

Secara garis besar, sastra realisme sosialis berakar dari filsafat Marxis, yaitu materialisme dialektis dan historis (MDH). Meskipun Marx dan Engels tidak pernah menyusun suatu teori khusus mengenai estetika, pandangan-pandangan mereka mengenai seni dan sastra tersebar dalam bentuk fragmen-fragmen dan dikumpulkan dalam buku On Literature and Art.

Menurut Sapardi Djoko Damono dalam Sosiologi Sastra, Marx dan Engels seperti kebanyakan pemikir abad ke-19, yaitu memiliki gambaran sastra sebagai cerminan masyarakat. Engels mengatakan dua pokok penting pikiranya tentang sastra.

Pertama, tendensi politik penulis haruslah disajikan secara tersirat saja. Semakin tersembunyi pandangan penulis, semakin bermutulah karya yang ditulisnya. Ideologi politik bukan merupakan masalah utama bagi si seniman dan karya sastranya akan menjadi lebih baik apabila ia berhasil membuat ideologi politik itu tetap tersembunyi. Engels mengatakan isi utama novel harus muncul secara wajar dari situasi dan peristiwa yang ada di dalamnya.

Kedua, Engels menjelaskan bahwa setiap novelis yang berusaha mencapai realisme harus mampu menciptakan tokoh-tokoh yang representatif dalam karya-karyanya. Sebab, pengertian realisme meliputi reproduksi tokoh-tokoh yang merupakan tipe dalam peristiwa yang khas pula.

Baca juga:

Kemudian, Lenin menjadi peletak dasar hubungan partai dan sastra, serta kesenian secara umum, sebagaimana tersiar dalam pamfletnya, Party Organisation and Party Literature.

Dalam Pengantar Penerbit Semut Api di buku Materialisme Dialektis dan Historis karya Joseph Stalin (terjemahan PMA), Marx hanya bicara tentang “metode dialektis”, sementara Engels tentang “dialektika materialis”. Ekspresi “materialisme dialektis” pertama kali dipakai oleh Joseph Dietzgen, salah satu kawan koresponden Marx, di tahun 1887. Kemudian, Lenin menggunakan terma ini secara sistematis dalam Materialism and Empirio-Criticism (1908).

Sesudah Lenin, wacana Marxisme Soviet terbagi oleh dua orientasi pemikiran, “dialektis” (Deborin) dan “mekanis” (Bukhrain). Untuk mengatasi perdebatan antara kedua kubu ini, Sekjen Partai, Stalin, mengeluarkan dekrit di tahun 1931 yang memutuskan bahwa materialisme dialektis adalah sama dengan Marxisme-Leninisme.

Lantas, Stalin menjalankan modifikasi atas ajaran tersebut secara lanjut di pamfletnya, Dialectical and Historical Materialism atau MDH. MDH inilah konsep yang diajarkan di sebagian besar negara sosialis, serta partai-partai dan organisasi-organisasi kiri di berbagai negeri, termasuk Indonesia.

Materiil, Politis, dan Revolusioner

Realisme Barat, atau lebih tepatnya dinamai realisme borjuis, merupakan pembatasan terhadap pandangan seseorang pada realitas-realitas an-sich tanpa membutuhkan kritik. Sebaliknya, realisme sosialis sebagai metode sosialis menempatkan realitas sebagai bahan-bahan global semata untuk menyempurnakan pemikiran dialektik.

Bagi realisme sosialis, setiap realitas, setiap fakta, cuma sebagian dari kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri. Menurut Lenin, perkembangan adalah perjuangan dari yang bertentangan. Jika dunia ini berada dalam situasi yang bergerak dan berkembang, maka jelaslah bahwa tidak ada sistem-sistem sosial yang tidak bisa berubah. Karena itu, sistem kapitalis bisa digantikan oleh sosialis, persis seperti ketika sistem feodal digantikan oleh sistem kapitalis.

Berlawanan dengan idealisme, yang menganggap dunia sebagai bentuk penjelmaan suatu ”ide absolut”, suatu ”ruh semesta”, atau ”kesadaran”, materialisme berpendapat bahwa dunia sifatnya materiil. Materi ialah kenyataan objektif. Materi, alam, keadaan, jasmani adalah hal primer. Sementara itu, jiwa, kesadaran, perasaan, rohani adalah hal sekunder. Gambaran dunia menurut materialisme adalah gambaran materi bergerak dan materi berpikir.

Materialisme pada umumnya mengakui keadaan nyata yang objektif, yang terlepas dari kesadaran, sensasi, dan pengalaman. Kesadaran hanyalah refleksi dari keadaan, paling-paling suatu refleksi yang mendekati kebenaran daripadanya.

Tokoh utama realisme sosialis adalah pujangga besar Soviet, Maxim Gorky, terutama dalam karyanya yang berjudul Ibunda. Munculnya gerakan sastra ini tidak ada tanggal, bulan, dan tahun yang pasti. Namun, Pramoedya dengan hati-hati menerka-nerka kemunculan realisme sosialis pada permulaan tahun 1905.

Lewat novel Ibunda, Maxim Gorky membawa kita masuk ke dunia kaum buruh di kota industri di Rusia ketika benih-benih revolusi muncul dengan berlatar awal abad ke-20. Seluruh hidup buruh dikendalikan oleh peluit pabrik dan digilas oleh kemiskinan. Para buruh lantas terdorong untuk lari pada minuman keras dan menyalurkan rasa getir dan marahnya kepada orang yang berada pada posisi lemah, terutama istri dan anak.

Lingkaran hidup ini pada akhirnya dipatahkan oleh pemuda buruh bernama Pavel Vlassov dan ibunya, Pelagia Vlassov. Pada masa remajanya, Pavel sempat hanyut dalam lingkungan ini. Namun, setelah membaca buku-buku sosialis, ia berubah menjadi pemuda yang serius mencari mencari apa yang dianggapnya kebenaran dan memikirkan usaha untuk mengubah lingkungannya.

Ibunda menceritakan tahap demi tahap perubahan, bukan dari diri Pavel, tetapi pada diri Pelagia. Melalui mata dan telinga sang ibulah proses-proses menuju revolusi sosialis disampaikan. Perubahan pada diri Ibunda dari rasa khawatir dan takut menjadi pendukung setia gerakan anaknya.

Ibunda yang buta huruf pun mulai tertarik untuk kembali belajar membaca, suatu hal yang ditinggalkannya semenjak menikah. Titik balik penting dalam kehidupan ibunda terjadi ketika Pavel dijebloskan ke penjara karena dituduh menyebarkan pamflet gelap di pabrik. Ibunda lantas menyebarkan pamflet di pabrik dengan cara menyembunyikannya dalam keranjang makanan jualannya. Jika penyebaran pamflet terus berjalan, tuduhan terhadap Pavel akan batal.

Ketika usaha itu berhasil sehingga menyebabkan keonaran di pihak penguasa dan kegairahan di kalangan buruh, Ibunda pun merasa bangga dan merasa dirinya begitu berarti. Dalam titik ini, cinta Ibunda kepada Pavel telah mengalami transendensi menjadi cinta bagi semua anak manusia.

Baca juga:

Lalu, istilah realisme sosialis secara resmi diperkenalkan dalam Kongres Sastrawan Soviet yang diketuai oleh Marxim Gorky di Moskow pada tahun 1934. Mengutip ucapan Andrei Zhdanov:

“Pertama-tama, ini berarti bahwa kita harus mengenal hidup untuk bisa melukiskannya dengan sebenarnya dalam suatu kerja seni, tidak dengan cara sekolahan yang kering. Tidak hanya melukiskan ”kenyataan objektif saja”, tapi melukiskan kenyataan dalam pertumbuhan revolusionernya. Dalam pada itu kenyataan dan watak historik yang konkret dari lukisan artistik mesti dihubungkan dengan tugas pembentukan ideologis dan pendidikan pekerja-pekerja dalam semangat sosialisme. Metode-metode kerja sastra dan kritik sastra ini kita namakan metode realisme sosialis.”

Pada bulan Januari 1905, sehabis Maxim Gorky menyelesaikan naskahnya, Notes on Philistinism, ia menyebarkan proklamasi menentang pemerintah. Namun, sehubungan dengan peristiwa Minggu Berdarah 22 Januari 1905, ia ditangkap. Kemudian, ia dilepaskan kembali karena membanjirnya protes-protes internasional atas penangkapannya.

Peristiwa tersebut menguatkan keyakinan di hati Gorky akan kekuatan solidaritas internasional. Ia semakin menjadi militan dan menjadi organisator penerbitan koran Bolsyewik di bawah pimpinan Lenin. Di masa inilah Lenin melihat pentingnya kekuatan kultural, sastra khususnya, dalam perjuangan untuk memenangkan sosialisme. Lenin lantas merumuskan hubungan antara sastra dan politik sebagai berikut:

”Kegiatan sastra harus jadi bagian daripada kepentingan umum kaum proletariat, menjadi ’roda dan sekrup’ kesatuan besar mekanisme sosial-demoraktik, yang digerakan oleh seluruh barisan depan kelas pekerja yang mempunyai kesadaran politik. Kegiatan sastra harus menjadi unsur daripada garapan partai dengan gabungan sosial-demokratik yang terorganisasi dan terencana.”

Dalam pandangan ini, sastra merupakan bagian integral dari kesatuan mesin perjuangan umat manusia dalam menghancurkan penindasan dan penghisapan rakyat pekerja, serta menghalau imperialisme, kolonial­isme, dan meningkatkan hajat hidup rakyat pekerja di seluruh dunia. Maka dari itu, kritik sastra kelompok ini tidak mempermasalahkan persoalan struktur dalam atau intrinsik karya sastra—berbeda dengan sastra borjuis yang tidak mempunyai kewajiban atau tanggung jawab, terkecuali pada estetika, manusia, dan masyarakat yang belum jelas ada atau tidaknya.

Menurut Pramoedya, sastrawan realisme sosialis tidak perlu takut politik. Realisme sosialis merupakan metode di bidang kreasi sastra untuk memenangkan sosialisme. Justru, yang lebih penting adalah politik yang tegas, militan, tak perlu malu-malu kucing atau sembunyi-sembunyi sesuai nama yang dipergunakan.

 

Editor: Emma Amelia

Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Muhammad Ridwan Tri Wibowo Suka bingung kalau disuruh milih, "Radiohead apa Pink Floyd?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email