Di Indonesia, namanya terbenam di antara Shah Rukh Khan,video makanan jalanan, film India, madu memabukkan dari Himalaya, atau berita perkembangan pemerintahan Taliban di Afghanistan. Meskipun dia dan hal-hal itu berasal dari anak benua yang sama: Asia Selatan.
Adapun kalau kita mencoba membandingkan dia dengan hal yang sama dengannya, karena dia seorang penulis dari Asia Selatan, nama Rabindranath Tagore lebih membekas di ingatan pembaca Indonesia dari pada namanya.
Sudah banyak karya Tagore yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Sedangkan karyanya perlu menunggu hingga tahun 2021, tepatnya setalah 66 tahun kematiannya, sebuah buku kumpulan cerpen hadir sekaligus menjadi karya pertamanya yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Meski demikian, Salman Rushdie, novelis Inggris berdarah India sekaligus penulis Satanic Verses yang fenomenal itu menganggapnya adalah master cerita pendek India modern yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Ia adalah Saadat Hasan Manto.
***
Saya mengenal karya Manto untuk pertama kalinya pada tahun 2020 dan bukan dari buku kumpulan cerpen ini, tapi lewat salah satu cerpen dalam sebuah antologi cerpen dunia berjudul: Cinta Semanis Racun (Basabasi, 2016). Kumpulan tersebut berisi 99 cerpen dari 9 penjuru dunia. Cerpen Manto berada pada urutan 10, dengan judul: Anjing Dari Titwal.
Sehabis membaca cerpen itu, saya belum menyadari gagasan besar apa yang dibawa oleh Manto. Malahan saya tertawa dan menganggap cerpen itu lucu. Penggambaran seekor anjing yang mondar-mandir dari bukit yang dinaungi tentara Pakistan ke bukit yang dinaungi tentara India, sambil ditembaki dan diberi semangat kata-kata berbau patriotisme, menurut saya adalah humor gelap.
Namun, ketika saya menemukan salah postingan di Facebook yang membahas tentang Manto, saya merasa perlu membaca ulang cerpen Anjing Dari Titwal itu. Setelah memutuskan membaca ulang cerpen tersebut, anggapan yang melekat di pikiran saya tiba-tiba berubah menjadi penampakan lukisan yang getir.
Dengan cerpen-cerpennya, Manto menunjukkan bentuk “implikasi yang buruk”, serta upayanya menggambarkan yang jernih sekaligus menyakitkan dari sejarah kelam India, yaitu Partisi, kejadian pecahnya India dan Pakistan selepas merdeka dari inggris.
Postingan Facebook itu milik Mahfud Ikhwan, penulis novel Anwar Tohari Mencari Mati dan seorang penikmat film India. Ungkapannya yang menyatakan Manto adalah penulis atau orang India pertama yang meratapi dan mengutuk Partisi menjadi alasan utama mengapa saya membaca ulang cerpen Anjing Dari Titwal itu.
Selain memandu saya agar lebih mengenal Manto dan karya-karyanya, postingan tersebut juga adalah sebuah pengantar dari sebuah buku. Singkatnya, dapat dikatakan juga saya membeli buku kumcer berjudul Toba Tek Singh & Cerita-Cerita Lainnya akibat dari membaca postingan tersebut.
***
Buku kumcer Toba Tek Singh & Cerita-Cerita Lainnya memiliki sampul yang menarik. Gambar bungkus rokok nyaris mengisi penuh sampul depannya yang berlatar belakang merah muda. Jenis font bergaya aksara India, menunjukkan seolah terbitnya buku ini adalah spesial sebagai buku kumcer pertama Manto berbahasa Indonesia.
Buku ini berisi delapan cerpen Manto. Sebagian besar adalah cerpen yang terkenal, seperti Toba Tek Singh, Namaku Radha, dan Salwar Hitam. Selain itu, dalam buku ini juga terdapat terjemahan satu esai pendek bersifat personal, yang membahas tentang proses kreatif Manto saat menulis cerpen.
Dalam buku ini, cerpen Manto dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah bagian Partisi dan kedua Seks & Seksualitas.
Pada bagian pertama cerpen-cerpen yang ada bertemakan keadaan di masa Partisi. Salah satu yang terkenal adalah Toba Tek Singh. Cerpen ini juga telah berapa kali difilmkan.
Namun, cerpen berjudul Wasiat Gurmukh Singh saya sarankan agar dibaca terlebih dahulu bagi para pembaca yang belum pernah sama sekali membaca karya Manto. Sebabnya adalah dalam cerpen tersebut penggambaran situasi kacaunya India lebih jelas diimajikan, narasinya mengalir, dan ironi menyakitkan yang terjadi di akhir cerita, kiranya akan memudahkan pembaca untuk membayangkan sendiri kesuraman dari Partisi.
Tidak berlebihan jika pada pengantar buku ini, Mahfud Ikhwan menyatakan Manto adalah korban pertama dan yang paling buruk dari Partisi. Hal ini karena Manto sejatinya adalah seorang nasionalis. Partisi, selain membuat Manto kecewa juga membuatnya marah. Kemarahannya yang ia lampiaskan dengan menulis cerpen bernada sarkas kepada tanah airnya sendiri, membuat dirinya menjadi nasionalis yang lain.
Manto menjadi nasionalis yang dapat, meminjam kalimat Salman Rushdie, merasakan kehinaan sebagaimana ia merasakan kebanggaan, merasakan kebencian sebagaimana ia merasakan cinta.
Bagian dua sama seperti judulnya: Seks & Seksualitas, berisi cerpen-cerpen Manto yang dilatarbelakangi oleh birahi. Membaca cerpen Manto pada bagian ini layaknya membaca cerpen Freddy S. Meskipun begitu, bukan maksud Manto untuk semata-mata menyajikan cerpen pemuas syahwat. Cerpen-cerpen lucah yang Manto ciptakan identik dengan perkenaannya terhadap kehidupan pelacuran dan dunia malam, adalah upayanya merekam lingkungan sosialnya sendiri.
Dalam esainya yang berjudul Tanah Air Imajiner, Salman Rushdie menganggap ia dan penulis India lain yang menulis tentang India dari luar negeri ibarat cermin pecah. Gambaran yang dihasilkan “cermin pecah” itu tentang India tidak lengkap. Dan Manto itu sebaliknya. Ia adalah “cermin yang utuh” untuk menggambarkan India masa itu. Seperti kalimat Manto yang terkenal: bahwa jika kalian menemukan ceritaku busuk, maka lingkungan yang kutinggali juga begitu.
Tepat di sinilah saya juga memikirkan kesamaan Manto dan Pramoedya Ananta Toer. Kesamaan itu adalah penderitaan yang mereka terima. Jika Pram menderita sebab karya-karyanya dibakar tentara dan ia dibuang ke Pulau Buru, Manto menderita dengan label “penulis lucah” yang melekat padanya dan membuat kharismanya gelap di antara penulis lain dari Asia Selatan.
Tidak kurang Manto pernah berurusan dengan pengadilan sebanyak lima kali dengan dakwaan menyebarkan karya-karya cabul. Salah satu cerpen yang menyeret Manto ke pengadilan terdapat dalam buku ini berjudul Daging Dingin.
Meski begitu, kiranya label terhadap Manto dapat diterangkan jelas pada halaman awal buku ini: kalian mengenalku sebagai penulis dongeng. Pengadilan mengenalku sebagai pembuat cerita lucah. Pemerintah sekali waktu menudingku sebagai komunis, dan di lain waktu menyebutku sebagai salah satu sastrawan nasional terhebat.
Dunia Kini Mengenal Manto sebagai Sastrawan Besar
Keberanian Manto dalam menulis cerpen dengan tema yang sensitif dan membahayakan dirinya ini, menjadikan namanya menjadi salah satu penulis besar dunia. Cukup logis menggolongkan cerpen-cerpen Manto sebagai karya sastra yang bagus, sebab setelah membacanya orang akan merasa dekat dengan nilai-nilai kehidupan yang sebenarnya.
Keliaran yang tergambarkan dalam cerpen Manto hanya sebagian kecil dari kebusukan yang ada di dunia ini. Dan bagi kita paling mudah menjadikannya sebagai pengingat dalam menjalani kehidupan.
***
Editor: Ghufroni An’ars