Bagian Bangsa Indonesia

Di Balik Tirai Modernisasi Pertanian

Angga Hermanda

4 min read

Di tengah zaman yang terus bergerak dan arus teknologi yang terus berkembang, sektor pertanian tak luput terkena dampak dari kemajuan. Kebudayaan pertanian terus berubah, dari pertanian subsisten yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga petani, menjadi pertanian industri yang ditujukan untuk mencukupi kebutuhan dan keinginan penduduk di seluruh penjuru dunia.

Pada konteks ini, pada akhir tahun 1977, WS Rendra telah memperingati bangsa kita melalui puisi bertajuk “Sajak Pertemuan Mahasiswa”. Ia bertanya seraya menggugah, “Kenapa maksud baik dilakukan tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya?” Rendra mengkhawatirkan tanah-tanah di gunung yang telah dimiliki orang-orang kota. Demikian juga fakta bahwa perkebunan yang luas hanya menguntungkan segolongan kecil saja. Bersamaan dengan itu, alat-alat pertanian yang diimpor tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya. Sajak terakhir lalu menyadarkan, “Lantas maksud baik saudara untuk siapa?”

Modernisasi Pertanian

Perubahan orientasi pertanian disebut sebagai modernisasi pertanian. Ini merupakan fenomena pergeseran budaya, budidaya, distribusi, bahkan perkembangan ekonomi suatu negara dari sektor pertanian. Dalam beberapa dekade terakhir, modernisasi pertanian telah menjadi fokus utama pemerintah dalam upaya meningkatkan produksi pertanian, mengurangi kemiskinan, dan menjamin kecukupan pangan nasional. Namun, seperti halnya setiap perubahan besar, modernisasi pertanian juga memiliki kelebihan dan kelemahan yang perlu diperhatikan secara seksama.

Baca juga:

 

Modernisasi pertanian bak tirai yang tampak bagus di luar tetapi sesungguhnya keropos di dalam. Fenomena ini terlihat baik karena menjanjikan peningkatan produksi pangan melalui penggunaan teknologi modern, seperti penggunaan alat dan mesin pertanian, pupuk buatan, pestisida kimia, benih-bibit unggul hasil rekayasa genetika, dan sarana produksi pertanian modern lainnya. Modernisasi juga ditujukan agar pertanian dapat memproduksi lebih banyak hasil dengan waktu yang lebih singkat. Hal ini bersandar pada Teori Malthus, yakni memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk.

Selain itu, modernisasi pertanian juga dinilai mampu meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya. Teknologi modern memungkinkan petani mengoptimalkan penggunaan lahan, air, dan energi. Dewasa ini sistem pertanian yang dimaksud itu disebut sebagai pertanian presisi. Sebagai contoh, sistem irigasi modern memungkinkan pengaturan penggunaan air yang lebih efisien sehingga mengurangi pemborosan.

Penggunaan alat dan mesin pertanian yang canggih juga dapat mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja manual, baik manusia maupun hewan ternak, dan mempercepat proses produksi. Berdasarkan itu, modernisasi pertanian diklaim dapat meningkatkan produktivitas pertanian secara efisien dan efektif. Tujuan besar yang diharapkan dari modernisasi pertanian ini adalah agar bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor pangan dan menjadi jembatan dalam menegakkan kedaulatan pangan.

Yang Luput dari Modernisasi Pertanian

Di sisi yang lain, secara praktik modernisasi pertanian memiliki kelemahan yang patut diperhatikan serius. Pertama, modernisasi menghendaki pertanian yang bermodal besar. Pertanian keluarga tidak lagi dijadikan tulang punggung dan secara perlahan digantikan oleh korporasi yang menguasai alat produksi yakni tanah berskala besar. Situasi ini membuat keuntungan pertanian terkonsentrasi kepada korporasi yang menjual sarana produksi pertanian seperti benih, pupuk dan pestisida. Kemudian menanam dan membudidayakan tanaman secara langsung, serta mengontrol distribusi dan pasar komoditas pertanian.

Kedua, modernisasi pertanian cenderung mengabaikan keberlanjutan lingkungan. Penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang berlebihan terbukti telah merusak ekosistem, menurunkan kesuburan tanah, dan mencemari air. Selain itu, penggunaan benih yang hanya berfokus pada keuntungan ekonomi dapat mengancam keanekaragaman hayati tanaman, dan menyebabkan kerugian jangka panjang. Selain itu, teknologi yang tidak tepat guna juga dapat menyumbang kenaikan suhu bumi atau pemanasan global.

Ketiga, modernisasi pertanian dapat meningkatkan kesenjangan sosial dan ekonomi. Pengenalan teknologi modern sering kali membutuhkan investasi yang tinggi, yang mungkin tidak dapat diakses oleh petani kecil atau masyarakat yang bekerja di perdesaan. Hal ini menyulut ketimpangan pendapatan dan meningkatkan kesenjangan antara petani yang mampu mengadopsi teknologi modern, dengan petani kecil yang tidak memperoleh akses sama sekali.

Keempat, modernisasi pertanian juga dapat menyebabkan perubahan sosial yang signifikan. Penggunaan mesin-mesin pertanian dapat mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja manusia dan hewan ternak. Hal ini mengakibatkan pengangguran dan pergeseran pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian. Dengan demikian, alih fungsi tanah pertanian produktif menjadi sesuatu yang bisa dikatakan pasti. Sementara itu, alat dan mesin pertanian tersebut sebagian besar didatangkan dari luar negeri, bukan hasil produksi negeri sendiri.

Kelima, modernisasi pertanian membuka jalan pasar bebas dan ketergantungan pangan. Sejak revolusi hijau digalakkan setengah abad lalu, modernisasi pertanian dijadikan dalih untuk pemetaan perdagangan dunia. Berawal dari bantuan pangan untuk mengatasi kelaparan, menjadi ketergantungan terhadap pangan impor. Peristiwa ini bisa dicuplik dari sejarah gandum di Indonesia. Gandum sebelumnya digunakan untuk bantuan pangan, tetapi kemudian mengubah Indonesia menjadi importir terbesar di dunia dengan kuota sekitar 11 juta ton per tahun.

Contoh selanjutnya sawit. Indonesia dipaksa menjadi produsen sawit terbesar di dunia, yang harus mengekspor secara rutin ke negara-negara industri di belahan bumi bagian utara. Sementara petani di sana yang menanam bahan minyak nabati selain sawit. Harga sawit yang murah membuat bahan minyak nabati yang berasal dari negara-negara subtropis, sedang, dan dingin tak sanggup bersaing.

Baca juga:

Keenam, modernisasi pertanian meminimalisasi kehadiran negara. Pernyataan ini dilatari oleh urusan pangan mesti dipisahkan dari negara. Negara dibuat tidak punya kuasa atau memiliki keterbatasan wewenang untuk urusan produksi pangan. Semisal polemik minyak goreng yang sempat menggegerkan publik. Indonesia yang dinilai sebagai produsen sawit terbesar tidak punya kontrol harga, produk turunan sawit seperti minyak goreng ditentukan oleh pasar. Alhasil rakyat banyak dirugikan dengan fluktuasi harga yang tidak bisa dikendalikan.

Fase Reorientasi  

Menimbang pelaksanaan modernisasi pertanian yang bergeser dari tujuan awal, membuat kita perlu mengambil pendekatan yang seimbang dan terpadu. Modernisasi pertanian sesungguhnya dapat memberikan manfaat ekonomi dan menjamin kestabilan produksi pangan. Tetapi juga mempengaruhi lingkungan, kesenjangan sosial, dan perubahan sosial. Oleh karena itu, penting untuk menerapkan pendekatan pertanian yang berkelanjutan, memperhatikan keadilan sosial, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan. Terkhusus petani yang semestinya berperan sebagai subjek, bukan objek dari kebijakan.

Penting bagi kita semua untuk memastikan redistribusi tanah kepada petani sebagai produsen pangan. Kemudian mempertimbangkan pendekatan pertanian berkelanjutan yang memperhatikan keselarasan antara produksi pertanian dan pelestarian alam. Transfer teknologi yang adil dan merata juga mesti diterapkan seiring dengan gerakan nasional modernisasi pertanian. Tidak boleh terbatas untuk sebagian petani yang bisa mengakses program dan bantuan seperti sekarang ini. Dengan begitu perubahan sosial yang terjadi di lapangan bisa bertahap dan tidak terkesan memaksa.

Pada waktu yang bersamaan, modernisasi pertanian harus menekankan keadilan distribusi dan pasar, terutama bagi petani kecil. Langkah ini bisa dimulai dari skala lokal dan nasional. Lalu di tingkat internasional harus mengacu pada perimbangan antara produksi dan kebutuhan pangan nasional masing-masing negara, tidak lagi saling melemahkan. Fase tersebut dijalankan dalam rangka menguatkan negara dalam urusan pangan, sebab pangan merupakan hajat hidup rakyat banyak.

Pada akhirnya, modernisasi pertanian merupakan langkah penting dalam mencapai kemajuan ekonomi dan menegakkan kedaulatan pangan. Kita tidak boleh bersikap antipati terhadap modernisasi pertanian, sekali pun masih banyak catatan yang harus diperbaiki. Dengan pendekatan yang seimbang dalam pembenahan tersebut, kita meyakini modernisasi pertanian dapat mewujudkan pertanian yang adil, produktif, berkelanjutan, dan inklusif untuk masa depan pangan, yang mana mampu mengentaskan kelaparan bagi seluruh penduduk dunia.

 

Editor: Prihandini N

Angga Hermanda
Angga Hermanda Bagian Bangsa Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email