di sudut taman kota
tiada bunga & kupu. kalau kau
bertanya, hanya ada setangkai
bulan di taman langit &
lampu-lampu kota yang bisu.
malam yang likat & udara mengikat dingin
pada tubuhku—kesepian kian membeku!
mencium wangi luka-luka bermekaran;
seperti mendengar
burung camar menangis
di ranting cemara.
apakah itu kesedihan? duh, tetapi kesedihan
tidak mungkin tidak dikenal. & ya sesekali
aku ingin berjarak dengan kesedihan,
sungguh. walau hanya seperti kepada
bayanganku sendiri. meski
pada akhirnya kita pun pasrah
sebab tidak bisa mengusir bayang-bayang diri
segala yang diciptakan cahaya
adalah: ya! alangkah banyaknya nestapa
di sekitar kita.
–
ingatan tentang bintang-bintang
bintang-bintang kemudian jatuh di kota yang
bukan kotamu. bintang serupa lampu-lampu
kota, kataku itu air mata bulan. sementara
langit hanya kamar gelap, tempat bagi
seseorang duduk di sudut dan menangis.
& apakah kotaku jatuh di kotamu, apakah
kau memikirkannya? adakah yang mampu kau
tangisi melainkan diriku sendiri.
apakah bulan di kotamu mampu menatapku
tanpa menangis? adakah kau melakukannya;
menatapku
dengan tatapan iba penuh perasaan ibu
—mencintaiku, yang artinya mencintai
kecewa.
–
ritus perpisahan
yang belum terucap
dari mabuk semalam
adalah kita terlampau
banyak bicara
perihal perpisahan
& hal-hal yang lampau
sebab kita juga
telah dibatasi, oleh
roda besi yang diburu pagi
yang musti bergegas pergi
& aku lupa bilang—
selain karena menangis
& menenggak banyak
kecemasan. merah mata
adalah tanda
cinta kita
cinta
kita
(cheers!)
–
air mata itu
yang tenggelam dalam anggur adalah harapan & kekecewaan.
aku perlu memutar lagu untuk menangis: mendengarkan bulan
menyanyikan lagu kesedihan. aku memang pernah menangis
tetapi aku belum mungkin mengenali air mataku sendiri.
aku perlu seloki & dua botol untuk sepasang mata
yang sedih & aku akan memuntahkannya di muka langit,
agar langit mengerti derita & darah bukan hanya merah.
pada malam itu ketika puisi membaca aku & aku memukul
dada & kepala sesekali—o betapa hidup;
betapa hidup sempoyongan seperti daun kering pada ujung dahan
yang rapuh, ditiup angin siut serupa maut: kecemasan—apakah doa-doa
masih ada & apakah kau mendengar suara itu, nyanyian itu, tangis itu,
air mata itu—menenggelamkan aku, melupakan & meluapkan aku.
–
pagi berhujan menuju stasiun
pagi hari aku mencatat suara burung di kaca
jendela yang tak pernah bisa dibaca &
dimengerti, aku pun tak pernah bisa
menuliskannya. kaca jendela hanya ada—
seperti sisa hujan & udara. dingin & bisu.
yang dimengerti dari semuanya itu cuma
masa kanak-kanak; seorang bocah kecil
dalam jiwaku yang melintas seketika. &
di tangan seorang bocah, waktu adalah
ketidakberdayaan;
menjelma kembang gula yang apabila raib
atau ditarik paksa dari genggamannya
yang halus & lembut
—air mata dijadikan satu-satunya senjata.
(Malang-Bekasi, 2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA