Pernah makan belut

Majalah Hidayah Tak Kurang Mencerahkan daripada Filsafat Thomas Aquinas

Gusti Aditya

3 min read

Sebelumnya, Windy Jayanti pernah menulis panjang-lebar tentang manfaat bacaan fiksi dan betapa cupetnya pandangan orang-orang yang hobi menempatkan bacaan fiksi di kasta bawah perbukuan dalam Mengapa Kita Perlu Membaca Fiksi?. Pengalamanku dan orang-orang di sekitarku sebagai pembaca bolehlah jadi contoh nyata bagaimana kegiatan membaca bisa tetap bermakna dan bermanfaat bagi pelakunya terlepas dari jenis bacaannya.

Baca juga:

Hubunganku dengan literatur itu tidak mesra-mesra amat. Membaca buku beberapa menit saja, sudah pasti kantuk menyapaku dalam damai. Kian menyiksa ketika kenyataan membantingku keras-keras: aku mengenyam pendidikan di Fakultas Filsafat. Sebuah fakultas yang mewajibkan para mahasiswanya untuk membaca.

Pertama masuk kuliah, tentu aku kaget bukan main. Di mana-mana orang membaca. Bahkan, di kantin yang harusnya jadi situs paling luhur untuk isi perut, tak jarang ditemui orang yang sedang membaca buku. Kami sama-sama semester satu, bagaimana bisa rekan-rekanku sudah berkenalan dengan Hegel, Heidegger, bahkan sampai Žižek mereka kuliti begitu teliti?

Ada sebuah mata kuliah yang pembukanya membahas tentang sejak kapan mulai suka membaca buku. Tentu aku bingung, memang aku pernah suka membaca buku? Kalau pernah, memang kapan? Pikiran-pikiran macam itu berputar-putar di kepalaku seakan tak mau pergi sampai-sampai melulu bekelumit di situ.

Jawaban teman-temanku menohok bukan main. Satu di antara yang banyak itu bilang sejak SMP ia dicekoki bonyok-nya untuk membaca buku-buku filsafat. Ia menamatkan Das Kapital jilid satu sampai tiga di usia belasan. Di usia yang sama, bahkan Harvest Moon Back to Nature pun tak mampu aku tamatkan, apalagi membaca buku macam itu.

Satu lagi kawanku katanya menguliti novel-novel Pramoedya Ananta Toer sejak duduk di bangku SMA. “Aku pernah buat pentas drama Arus Balik, salah satu novel Pram,” katanya. Ia tidak sedang flexing. Namun, jika memang berniat flexing pun jelas aku izinkan karena ia memang layak untuk menyombongkan itu.

Baca juga:

Sejak saat itu, aku merasa bahwa Fakultas Filsafat adalah pilihan yang salah. Sebab, di usia yang sama dengan kawanku yang menamatkan Das Kapital, aku sibuk menangisi kepergian Sasuke yang tega-teganya berkhianat. Kemudian, di usia yang sama dengan kawanku yang menggemari naskah-naskah Pram, aku sibuk menangisi kematian Itachi. Menyedihkan betul mahasiswa Filsafat yang satu ini.

Bahkan sampai semester delapan, aku belum cinta-cinta amat dengan membaca. Sampai aku bertemu dengan sosok pemuda asal Wakatobi bernama Taufik La Feki. Jika menurutmu nama itu aneh, ya, aku tak bisa menyalahkanmu. Namun, jika kau bertemu dengan La Feki di dunia yang riil, jelas keanehan namanya itu belum ada apa-apanya—bahkan tidak seberapa anehnya.

Usiaku dan La Feki terpaut jauh. Ia sudah kepala tiga dan menjadi kepala rumah tangga, sedangkan aku masih kepala dua dan kepala batu. Baik, kita lewati kalimat sebelumnya karena menurutku kurang lucu. Nah, walau begitu, aku dan La Feki akrab berbagi pandangan tentang hidup, bahkan ia acap kali merekomendasikan bacaan kepadaku.

Aku dan La Feki punya podcast bernama Podcast Kembali Lagi. Di salah satu episode, ia membahas tentang literasi. Bahasannya ini, membuatku bergetar dan bersyukur dalam satu waktu. Ia suka membaca buku. Namun, di Wakatobi pada saat itu (atau malah masih sampai sekarang?) akses masuk buku bacaan itu kurang sekali. “Saking ingin baca, aku bahkan sampai membaca tulisan-tulisan kecil di belakang botol sampo,” katanya. Awalnya, jelas aku kira ia sedang bercanda, tetapi ekspresi wajahnya tak bisa menipu bahwa ia sedang bersungguh-sungguh.

Aku tak akan membahas aspek kesenjangan akses literatur antara satu daerah dengan daerah lainnya. Mungkin, di pembahasan berikutnya. Yang ingin aku soroti, anak-anak di Indonesia ini ada—dan akan selalu ada—yang suka baca buku. Di tahap ini, aku ingin mereka yang suka baca komik jangan sampai diremehkan.

Banyak sekali yang bilang, “Ah, suka baca, tapi cuma baca komik.” Itu jelas menyakitkan. Jika kata-kata ini terlontar kepada anak-anak yang baru mengenal dunia literatur, jelas bahaya sekali. Sebab, ada yang sudi membaca menurutku sudah berkah luar biasa yang turun dari langit bagi anak-anak Indonesia.

Kualitas bacaan seseorang akan mengikuti perkembangan pengalaman membacanya seiring berjalannya waktu. La Feki, misalnya, yang dulunya membaca berapa persen kuman yang bisa dibasmi sebuah sampo, kini menjadi pembaca Ahmad Tohari yang taat. Ia juga pemburu ilmu di Ngaji Filsafat-nya Prof. Fahruddin Faiz.

Menghakimi bacaan seseorang buruk tanpa melihat bagaimana caranya mengakses bacaan itu adalah kepongahan yang amat fatal. Menurut data tingkat literasi, Indonesia berada di posisi 62 dari 70 negara. Maka dari itu, punya keinginan yang kuat untuk menggilas sebuh bacaan saja bagiku sudah patut diapresiasi.

Sekali lagi kutekankan, kualitas bacaan itu mengikuti pengalaman pembacanya. Di usia berapa seseorang bertemu dengan Gabriel García Márquez, tentu satu orang dengan orang lainnya akan berbeda. Bisa saja seseorang menyerap tentang kemiskinan dalam Bukan Pasar Malam-nya Pram, tetapi ia juga paham terma yang sama dalam arc Dressrosa-nya One Piece. Muatan kedua literatur itu sama; boleh jadi tak lagi penting mana yang orang-orang baca.

Ketika kecil, aku pernah membaca Majalah Hidayah yang sering dibeli oleh Emak—nenek. Majalah itu memang ada gambarnya seperti komik, tapi sedikit sekali. Gambar-gambarnya pun mengerikan betul bentuknya. Misalnya, belatung keluar dari mata atau sebuah makam yang mengeluarkan api.

Semisal kawan-kawanku memahami aspek ketuhanan ketika usai membaca buku-bukunya  Thomas Aquinas sampai teologi prosesnya Whitehead di usia muda, aku juga memahami hal yang sama, kok—di usia yang sama pula. Bedanya, aku memahami ketuhanan dari cara yang amat sederhana. Misalnya, jika kita berbuat jahat atau buruk kepada sesama makluk hidup, maka perutmu akan mengeluarkan paku. Cukup ekstrem memang. Namun, sekali lagi, kualitas bacaan akan berkembang seiring naiknya pengalaman membaca.

Aku yang dulu getol membaca komik-komik shonen seperti Kungfu Boy dan Yu-Gi-Oh!, serta La Feki yang baca tulisan di botol sampo, kini  bisa membicarakan hal yang sedikit upgraded seperti perihal Rasus yang cemen betul ketika mendekati Srintil. Atau, membicarakan novel Ziarah-nya Iwan Simatupang yang pengalaman membacanya seperti sedang menyimak sebuah lukisan abstrak.

Bahkan, menurutku, bacaan yang pernah aku jelajahi terasa amat bervariasi. Aku menjadi orang yang memahami arti “suka membaca” tanpa dipaksa dan tanpa merasa elit. Tanpa menjelek-jelekkan sebuah buku yang sedang—atau pernah—aku baca maupun yang orang lain sedang baca.

Tulisan lain oleh Gusti Aditya:

Sampai saat ini pun aku masih gandrung membaca manga seperti My Hero Academia dan Demon Slayer. Mungkin juga, La Feki, ketika aku sedang mengetik naskah ini, tengah berjongkok di kamar mandi dan berkata dalam hati, “Usap pada rambut yang basah sampai berbusa. Bilas menggunakan air secukupnya.”

 

Editor: Emma Amelia

Gusti Aditya
Gusti Aditya Pernah makan belut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email