Kekerasan terhadap perempuan masih jadi momok di pelbagai penjuru dunia—termasuk di Tanah Air kita—Indonesia. Salah satu bentuk kekerasan paling ekstrem adalah femisida, yaitu pembunuhan perempuan karena gender mereka. Fenomena ini nggak cuma merenggut nyawa, tapi juga hak dasar perempuan untuk hidup aman dan bermartabat. Yuk, kita bahas lebih dalam tentang femisida dan bagaimana caranya kita bisa memutus rantai kekerasan ini!
Sekilas Mengenai Femisida
Istilah femisida pertama kali muncul pada tahun 1801 dalam buku karya John Corry untuk menggambarkan pembunuhan perempuan. Namun, konsep ini baru banget diangkat kembali secara luas pada tahun 1976 oleh Profesor Diana E.H. Russell, seorang pakar dan aktivis feminis. Dia menggunakan istilah ini untuk menunjukkan kekerasan berbasis gender, mendefinisikannya sebagai pembunuhan perempuan oleh laki-laki yang didasari kebencian, penghinaan, atau rasa memiliki. Definisi ini kemudian diperluas menjadi “pembunuhan perempuan karena mereka perempuan,” seperti yang disampaikannya dalam Simposium PBB tentang Femisida pada 2012.
Femisida sejatinya adalah manifestasi kekerasan paling ekstrem yang dilakukan karena stereotip gender, diskriminasi, atau norma sosial yang merugikan. Laporan terbaru PBB menunjukkan bahwa pada 2022, lebih dari 48.800 perempuan dan anak perempuan dibunuh oleh pasangan atau anggota keluarganya, dengan Afrika mencatat angka tertinggi. Di Indonesia sendiri, kasus femisida semakin meningkat dan perlu perhatian serius dari semua pihak.
Baca juga:
Femisida dalam HAM
Femisida merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM) karena menghilangkan hak dasar perempuan untuk hidup, aman, dan bebas dari kekerasan. Ini mencerminkan ketimpangan struktural dalam relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan martabat manusia sebagaimana diatur dalam berbagai instrumen HAM internasional, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
Hak hidup adalah hak dasar yang diakui oleh semua instrumen HAM dan berlaku universal. Ketika perempuan dibunuh karena gender mereka, ini menunjukkan bahwa sistem hukum dan sosial kita gagal melindungi mereka dari kekerasan yang sistematis dan berakar pada diskriminasi gender. Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi hak perempuan, termasuk melalui pencegahan, penegakan hukum yang adil, dan penyediaan layanan bagi korban dan keluarga mereka.
Instrumen HAM internasional, seperti Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 35 Tahun 2017 tentang Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan, menegaskan bahwa negara harus mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi kekerasan berbasis gender, termasuk femisida. Langkah-langkah ini meliputi pengumpulan data yang terpilah berdasarkan jenis kelamin, pengembangan mekanisme hukum khusus, serta pendidikan publik untuk mengubah norma sosial yang mendukung kekerasan.
Femisida di Indonesia
Di Indonesia, femisida telah menjadi perhatian serius, terutama setelah beberapa kasus tragis yang mengemuka, seperti kasus “wanita dalam koper” di Cikarang, “mutilasi perempuan” di Ciamis, dan “dibunuh karena mengigau” di Minahasa Selatan, serta kasus terbaru mengenai Kejahatan oleh Tannur. Komnas Perempuan pun telah menegaskan bahwa kasus-kasus tersebut adalah contoh nyata femisida. Fenomena ini mencerminkan kompleksitas femisida yang membutuhkan mekanisme khusus, seperti pembentukan femisida watch untuk mendokumentasikan, mencegah, menangani, dan memulihkan keluarga korban.
Data yang dikumpulkan Komnas Perempuan dari pemberitaan media menunjukkan peningkatan signifikan jumlah kasus femisida dalam beberapa tahun terakhir:
- 2020: 95 kasus
- 2021: 237 kasus
- 2022: 307 kasus
- 2023: 159 kasus
Femisida intim, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangan, menjadi jenis yang paling dominan. Selain itu, kelompok rentan seperti perempuan disabilitas, pekerja seks, transpuan, dan perempuan dengan orientasi seksual minoritas juga menghadapi risiko tinggi. Motif utama femisida mencakup kecemburuan, pelanggaran maskulinitas, kekerasan seksual, hingga penolakan perceraian.
Data per September 2024 dari Simfoni-PPA mencatat 15.804 korban kekerasan terhadap perempuan dari total 18.203 kasus yang dilaporkan. Sebagian besar kasus terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dengan kekerasan rumah tangga dan kekerasan seksual mendominasi. Perempuan remaja berusia 13–17 tahun menjadi kelompok korban terbesar (33,2%), diikuti oleh perempuan usia produktif 25–44 tahun (25,2%). Bahkan, anak-anak di bawah 5 tahun dan lansia juga tercatat menjadi korban, menunjukkan perlunya pelindungan bagi semua rentang usia, terutama pada kelompok yang paling rentan.
Memutus Rantai Femisida
Femisida adalah kejahatan keji yang mencerminkan ketimpangan gender dan kegagalan sistem dalam melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender. Sebagai kekerasan yang melanggar hak perempuan untuk hidup, bebas dari kekerasan, dan mendapatkan perlindungan, femisida membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan pemerintah, aparat hukum, masyarakat, dan lembaga pelindungan perempuan.
Feminisida di Indonesia sudah terlalu lama menjadi luka yang sulit sembuh. Untuk benar-benar memutus rantai kekerasan ini, kita perlu langkah konkret yang melibatkan berbagai pihak. Berikut adalah beberapa langkah penting yang harus segera diambil.
Feminisida di Indonesia memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak untuk benar-benar memutus rantai kekerasan ini. Langkah pertama yang krusial adalah membangun mekanisme femisida watch untuk mendokumentasikan dan menganalisis setiap kasus dengan akurat. Data yang terperinci akan membantu memahami pola dan motivasi pelaku, sehingga strategi pencegahan bisa dirancang lebih efektif. Selain itu, memperkuat sistem hukum menjadi kunci untuk memberikan efek jera kepada para pelaku femisida. Penegakan hukum yang tegas dan adil, sesuai dengan rekomendasi internasional seperti Rekomendasi Umum No. 35 CEDAW, akan mengirimkan pesan jelas bahwa femisida tidak akan ditoleransi di Indonesia. Sistem hukum yang transparan dan tidak pandang bulu juga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
Namun, penegakan hukum saja tidak cukup tanpa adanya edukasi dan perubahan budaya. Budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat harus diubah melalui pendidikan kesetaraan gender sejak dini, baik di keluarga maupun di sekolah. Mengajarkan anak-anak untuk menghormati dan menghargai sesama tanpa memandang gender akan membentuk generasi yang lebih inklusif dan adil. Selain itu, akses terhadap layanan pelindungan seperti rumah aman dan konseling perlu diperluas, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan disabilitas dan transpuan. Layanan ini sangat penting untuk memberikan perlindungan dan dukungan bagi korban kekerasan, sehingga mereka dapat pulih dan membangun kembali kehidupan mereka dengan aman.
Baca juga:
- Kekerasan dalam Pacaran: Pengulangan Sistem Patriarki dari Masa Lalu
- Teori Kritis dalam Psikologi untuk Isu Gender dan Seksualitas di Indonesia
Peran masyarakat dan lembaga pelindungan perempuan juga sangat vital dalam upaya memutus rantai femisida. Dukungan dari lingkungan sekitar, termasuk keluarga, teman, dan tetangga, dapat mencegah kekerasan sebelum terjadi. Lembaga pelindungan perempuan harus diperkuat dengan peningkatan kapasitas dalam menangani kasus, pelatihan petugas, dan memastikan korban mendapatkan layanan yang mereka butuhkan. Mengakhiri femisida bukan hanya tentang melindungi perempuan, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang lebih adil dan setara. Ketika perempuan merasa aman dan dihargai, mereka dapat berkontribusi maksimal dalam berbagai bidang kehidupan, menciptakan masyarakat yang harmonis, produktif, dan sejahtera. Mari kita bersama-sama berkomitmen untuk menciptakan perubahan positif dan memastikan setiap perempuan bisa hidup tanpa rasa takut akan kekerasan.
Femisida adalah tantangan serius yang membutuhkan respons bersama dari semua pihak. Dengan membangun mekanisme femisida watch, memperkuat sistem hukum, melakukan edukasi dan perubahan budaya, serta memperluas akses layanan pelindungan, kita bisa memutus rantai kekerasan ini. Indonesia memiliki potensi untuk menjadi negara yang melindungi hak perempuan secara adil dan bermartabat. Mari kita bersama-sama berkomitmen untuk menciptakan perubahan positif dan memastikan setiap perempuan bisa hidup tanpa rasa takut akan kekerasan. (*)
Editor: Kukuh Basuki