Bagaimana cara kita memahami penyakit? Sejauh ini, ada dua jawaban yang dominan. Bagi kalangan medis, penyakit adalah kondisi biologis yang bisa dideteksi melalui berbagai tes laboratorium. Bagi ilmuwan sosial, penyakit adalah pengalaman subjektif yang dimaknai secara berbeda oleh dokter dan pasien. Namun, melalui etnografinya di sebuah rumah sakit Belanda, Annemarie Mol dalam The Body Multiple: Ontology in Medical Practice (2002) menawarkan jawaban ketiga yang lebih kompleks dan jernih: penyakit bukanlah entitas tunggal yang dilihat dari berbagai perspektif, melainkan realitas yang jamak—berbeda-beda tergantung bagaimana dan di mana ia “ditampilkan” dalam praktik medis.
Dari Epistemologi ke Praksiografi
Keunikan buku ini terletak pada cara Mol menggeser fokus dari pertanyaan epistemologis (“bagaimana kita tahu tentang penyakit?”) ke pertanyaan ontologis (“bagaimana penyakit ditampilkan dalam praktik?”). Pendekatan ini membedakan karyanya dari kajian-kajian antropologi medis sebelumnya yang cenderung memisahkan antara “penyakit” (disease) sebagai realitas biologis dan “sakit” (illness) sebagai pengalaman sosial, atau yang berfokus pada perbedaan perspektif antara dokter dan pasien. Bagi Mol, pembedaan seperti ini justru mengaburkan kompleksitas praktik medis sehari-hari.
Untuk menangkap kompleksitas tersebut, Mol mengembangkan pendekatan yang ia sebut “praksiografi”—etnografi yang memperhatikan praktik. Dengan mengikuti bagaimana aterosklerosis (penyempitan pembuluh darah) ditampilkan dalam berbagai lokasi di rumah sakit, Mol menunjukkan bahwa penyakit ini bukanlah objek tunggal yang menunggu untuk ditemukan, melainkan sesuatu yang terus-menerus “ditampilkan” melalui berbagai praktik dengan peralatan dan teknisnya masing-masing.
Di ruang praktik dokter, aterosklerosis hadir sebagai keluhan nyeri saat berjalan. “Seberapa jauh Anda bisa berjalan sebelum merasa nyeri?” adalah pertanyaan kunci yang membuat penyakit ini “ada” sebagai kondisi yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Di laboratorium patologi, ia adalah penebalan dinding pembuluh darah yang terlihat di bawah mikroskop setelah jaringan dipotong dan diwarnai. Di ruang radiologi, ia muncul sebagai bayangan gelap dalam gambar angiogram. Bahkan pengukuran tekanan darah di laboratorium vaskular menunjukkan versi aterosklerosis yang lain lagi.
Melalui deskripsi etnografis yang kaya, Mol menunjukkan bahwa setiap praktik ini tidak sekadar merepresentasikan penyakit, tapi secara aktif menampilkannya dalam bentuk tertentu. Ini membutuhkan kerja teknologi (mikroskop, mesin rontgen, alat ukur tekanan darah), keterampilan praktis (memotong jaringan, membaca hasil tes), dan berbagai bentuk interaksi sosial (wawancara dokter-pasien, diskusi antar spesialis). Dengan kata lain, “penyakit” bukanlah sesuatu yang sudah ada sebelum praktik-praktik ini, melainkan sesuatu yang muncul melalui praktik-praktik tersebut.
Baca juga:
- Sampah Plastik, Masa Depan Laut dan Kesehatan Manusia
- Ekoterapi: Alam Bekerja untuk Kesehatan Mental Manusia
- Dokter Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi
Mengelola Perbedaan dalam Praktik
Yang menarik, versi-versi berbeda dari aterosklerosis ini tidak selalu sejalan satu sama lain. Seorang pasien bisa memiliki gejala berat dari perubahan pembuluh darah yang minimal saat diperiksa di bawah mikroskop. Sebaliknya, gambar angiogram bisa menunjukkan penyempitan pembuluh darah yang parah pada pasien dengan keluhan ringan. Namun Mol menunjukkan bahwa ketidaksejalanan ini tidak membuat praktik medis menjadi kacau. Alih-alih berusaha mencari “versi yang benar”, dokter dan tenaga medis telah mengembangkan berbagai cara untuk mengelola perbedaan ini.
Mol mengidentifikasi setidaknya tiga cara koordinasi yang memungkinkan versi-versi berbeda ini “bekerja” bersama. Pertama, terkadang satu versi diberi prioritas lebih tinggi—misalnya ketika memutuskan pengobatan, keluhan pasien bisa lebih diutamakan daripada hasil tes laboratorium. Kedua, versi-versi yang berbeda bisa didistribusikan ke konteks yang berbeda—aterosklerosis sebagai rasa nyeri relevan di ruang praktik untuk memutuskan perlu tidaknya pengobatan, sementara aterosklerosis sebagai penyempitan pembuluh darah dalam angiogram relevan di ruang operasi. Ketiga, dua atau lebih versi bisa digabungkan untuk membuat keputusan yang lebih komprehensif.
Di ruang operasi, misalnya, aterosklerosis yang “ada” dalam keluhan pasien dan hasil tes diagnostik diterjemahkan menjadi target intervensi bedah. Keputusan untuk mengoperasi tidak hanya bergantung pada seberapa parah penyempitan pembuluh darah yang terlihat dalam angiogram, tapi juga pada bagaimana penyakit ini mengganggu kehidupan sehari-hari pasien, kondisi sosial-ekonomi, dan berbagai faktor lainnya. Ini menunjukkan bahwa praktik kedokteran lebih kompleks dan lentur dari sekadar penerapan protokol standar.
Mol juga mengeksplorasi bagaimana tubuh pasien ditampilkan secara berbeda dalam praktik yang berbeda. Di ruang praktik, tubuh adalah entitas yang bisa berkomunikasi dan menyampaikan keluhan. Di ruang operasi, ia adalah kumpulan jaringan dan pembuluh darah yang bisa dipotong dan dijahit. Di departemen epidemiologi, tubuh menjadi bagian dari populasi yang bisa dihitung dan dianalisis secara statistik. Versi-versi tubuh ini tidak hanya hidup berdampingan, tapi juga saling memengaruhi dan kadang saling mencakup.
Relevansi dan Implikasi untuk Indonesia
Untuk konteks Indonesia, pemikiran Mol bisa menjadi relevan dalam beberapa hal. Pertama, di tengah upaya-upaya rasionalisasi dan standardisasi praktik kedokteran, Mol mengingatkan bahwa praktik medis selalu lebih kompleks dari protokol formal. Tuntutan efisiensi dan akuntabilitas seringkali mendorong penerapan protokol standar yang kaku. Namun alih-alih berusaha menghilangkan kompleksitas ini, Mol menyarankan untuk lebih fokus pada bagaimana mengelolanya dengan baik.
Kedua, argumennya tentang “ontologi jamak” memberikan cara baru untuk memahami pluralisme pengobatan di Indonesia. Alih-alih mempertentangkan kedokteran modern dengan pengobatan tradisional sebagai “perspektif berbeda” tentang penyakit yang sama, kita bisa memahami bahwa mereka menampilkan realitas yang berbeda—realitas yang mungkin bisa saling melengkapi. Ini membuka kemungkinan dialog yang lebih konstruktif antara berbagai sistem pengobatan.
Ketiga, Mol membuka pertanyaan penting tentang pengambilan keputusan dalam praktik medis. Alih-alih berfokus pada pembagian kekuasaan antara dokter dan pasien, ia menunjukkan bahwa pertanyaan yang lebih mendesak adalah “apa yang harus dilakukan?”—pertanyaan yang membutuhkan kolaborasi antara berbagai aktor dengan pengetahuan dan keahlian berbeda. Di era kedokteran berbasis bukti, ini mengingatkan kita bahwa pengambilan keputusan klinis tidak bisa sepenuhnya diserahkan pada protokol dan panduan formal.
Keempat, di tengah upaya reformasi sistem kesehatan nasional, pemikiran Mol mengingatkan bahwa kompleksitas praktik medis perlu diakui dan dikelola, bukan dihilangkan. Standardisasi memang penting untuk menjamin kualitas pelayanan, tapi standar yang terlalu kaku justru bisa kontraproduktif. Diperlukan ruang yang cukup untuk mengelola keragaman praktik sambil tetap menjaga kualitas pelayanan.
The Body Multiple memberikan kontribusi penting bagi kajian antropologi medis, studi sains dan teknologi, serta filsafat. Di era di mana kompleksitas sering dilihat sebagai masalah yang perlu disederhanakan, Mol menunjukkan bahwa ada cara lain: memahami dan mengelola kompleksitas itu sendiri. Melalui etnografi yang kaya dan analisis yang tajam, ia berhasil menggambarkan bagaimana tubuh dan penyakit yang “jamak” tetap bisa ditangani dalam praktik medis sehari-hari. Ini adalah pelajaran penting tidak hanya untuk praktik-praktik kesehatan, tapi juga untuk bagaimana kita memahami dan mengelola kompleksitas dalam berbagai bidang kehidupan. (*)
Editor: Kukuh Basuki