Penikmat aliran keras manga dan anime sejak sekolah dasar. Kegemaran lainnya menulis dan membaca buku-buku filsafat, agama, dan sains.

Kekerasan dalam Pacaran: Pengulangan Sistem Patriarki dari Masa Lalu

Faris Ahmad Toyyib

3 min read

Banyaknya kasus kekerasan dalam pacaran begitu mengkhawatirkan. Komnas Perempuan mencatat hingga Oktober 2021 kemarin, ada 4.500 kasus kekerasan dalam pacaran. Angka ini bahkan lebih tinggi dari kasus kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan dalam bentuk lainnya.

Kekerasan dalam pacaran ini sangat disesalkan. Saya sendiri percaya bahwa pacaran adalah interaksi yang membebaskan dan mendewasakan.

Pacaran saya sebut membebaskan sebab dalam pacaran tidak ada nilai tertentu yang mengekang. Seseorang berhak memilih dengan siapa ia akan berpacaran, tidak ada campur tangan orang tua atau lingkungannya. Berbeda dengan menikah. Pernikahan biasanya melibatkan pihak lain dalam memilih pasangan, seperti orang tua atau keluarga. Mereka ikut memberikan usulan dan sesekali mengintervensi siapa yang akan dinikahi. Selain itu, penentuan kecocokan dalam pacaran jauh lebih gampang. Jika dirasa tidak cocok, kata “putus” bisa dilayangkan kapan saja dan tidak ada konsekuensi setelahnya. Si pria bisa lekas mencari perempuan lain, begitu pula si wanita bisa lekas mencari laki-laki lain.

Kedua, mendewasakan. Pacaran menjadi ajang untuk mengenal sifat-sifat pasangan. Ini sangat bermanfaat sebelum menjatuhkan pilihan. Pengalaman memahami karakter pasangan akan membentuk ketangguhan mental, keluasan berpikir, dan tindakan bijak yang menjadi bekal memadai sebelum melanjutkan pada jenjang lebih serius.

Nyatanya, dua hal ini tidak menjadi motif utama mengapa seseorang menjalin hubungan pacaran. Ada ketertarikan lain, seperti hasrat atau cinta yang meluap-luap. Acap kali cinta yang meluap-luap ini tidak dibarengi kesadaran prinsip-prinsip moral yang memadai. Alhasil, terjadilah kasus-kasus kekerasan dalam pacaran.

Kekerasan dalam pacaran adalah intimidasi verbal, fisik, maupun sejenisnya dengan tujuan mengeksploitasi pasangan. Ada beragam bentuk kekerasan. Jika dalam konteks ekonomi, ada kekerasan ekonomi, yakni memaksa pasangan mengeluarkan uang atau membiayai kebutuhannya. Jika memaksa pasangan melakukan hubungan badan, disebut “kekerasan seksual”. Jika melukai, memukul, atau menendang agar pasangan melakukan apa yang dikehendaki, disebut “kekerasan fisik”. Tentunya segala model kekerasan ini punya pengaruh psikis yang sama: trauma, depresi, selalu menyalahkan diri sendiri, menutup diri dari sosial, dan lain-lain.

Korbannya Lebih Banyak Perempuan

Januari lalu jagat media geger oleh video yang diambil dari sebarang jalan. Ini terjadi di Magelang, Jawa Tengah. Dalam video itu, seorang pria penuh amarah menghantam helm pacarnya. Mereka terlibat pertengkaran di trotoar. Sempat terdengar perempuan itu mengatakan ia lelah berpacaran dengan si pria karena selalu diperlakukan seenaknya. Tangan pria itu kemudian menghantam kepala perempuan yang menggunakan helm. Suara hantaman itu terdengar amat keras dalam video.

Di kalangan artis pun, kekerasan dalam pacaran juga kerap terjadi, seperti ditendang, dipukuli berjam-jam, nyaris ditusuk menggunakan botol pecah, sampai mau dibakar hidup-hidup. Mereka biasanya mengadukan itu di akun media sosialnya dan beberapa sampai melaporkan ke pihak berwajib. Pada tahun 2010, WHO melaporkan bahwa 25% perempuan di negara maju mengalami kekerasan. Mirisnya, di negara-negara Asia (termasuk Indonesia) dan Afrika persentasennya lebih tinggi, yaitu 37%.

Baca juga:

Pada 2016 lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS)  melakukan survei pada perempuan usia 15-64 tahun. Hasilnya, 42,7%  perempuan belum nikah mengalami kekerasan seksual ataupun fisik. Data ini juga menyebutkan bahwa dari total 10.847 pelaku kekerasan, sekitar dua ribuannya adalah atas nama pacar.

Sekarang pokok persoalannya adalah mengapa kekerasan dalam ruang lingkup pacaran kerap kali terjadi? Sejatinya, korban kekerasan dalam pacaran tidak melulu perempuan, laki-laki pun ada, tapi mayoritas dialami perempuan. Apa penyebabnya?

Pengulangan Masa Lalu

Kita tahu bahwa nasib perempuan pada masa lalu lebih nelangsa dibandingkan saat ini, mengapa bisa demikian?

Setiap hal praksis niscaya berdasar dari sebuah pandangan tertentu. Seorang ayah yang banting tulang merantau ke negeri jauh hingga bekerja kasar untuk memperbaiki ekonomi keluarga pasti punya pemikiran bahwa menjamin kehidupan istri dan anak merupakan kewajiban suami. Sama halnya dengan seorang istri yang selalu sedia mencuci pakaian kotor suami dan anak serta mengurus kebutuhan dapur mereka, perempuan itu pasti berpikir bahwa hal itu adalah kewajiban istri.

Ini berlaku juga bagi kasus kekerasan dalam pacaran. Lelaki yang berani melakukan tindakan kekerasan pada perempuannya, baik seksual, fisik, atau lainnya, niscaya mengamini patriarki di dalam benaknya. Ia dipenuhi delusi bahwa lelaki wajib selalu diunggulkan dari perempuan dalam ruang sosial, ekonomi, pendidikan, dan aspek-aspek kehidupan lainnya. Selanjutnya, melalui pandangan ini, perempuan pun berada di posisi masyarakat kelas dua atau lebih bawah dari lelaki.

Mereka mulai memperlakukan perempuan begitu rendah. Misalnya doktrin dapur-kasur-sumur bagi para perempuan. Hingga detik ini doktrin domestifikasi masih berlaku, terutama di pedesaan. Masyarakat tidak mau menyekolahkan putri-putri mereka hingga ke jenjang perguruan tinggi, justru mereka berusaha lekas mengawinkannya. Hasilnya, terjadi kehamilan pada usia yang tidak seharusnya. Hal itu terjadi lantaran bagi mereka tujuan pokok kehidupan perempuan adalah melayani suami. Tidak lebih dari itu. Pendidikan tinggi bagi perempuan hanyalah kesia-sian.

Contoh lain terjadi di jazirah Arab pada ratusan abad lalu. Ketika bayi perempuan lahir, sang ayah akan kesal dan menyesal karena harus memiliki anak perempuan. Pada masa itu membunuh anak perempuan telah menjadi budaya, entah karena mereka dianggap hanya menjadi beban, aib keluarga, atau dianggap seonggok makhluk tidak berguna. Tak hanya di Arab, kejadian ini juga terjadi di tempat-tempat lain.

Kekerasan dalam pacaran merupakan pengulangan diskriminasi perempuan dari masa lalu. Artinya, ini adalah persoalan klasik. Bedanya, di masa lalu kita tidak punya data yang detail dan lengkap, dan perempuan tidak bisa melawan. Hari ini, dengan adanya revolusi digital, informasi tentang kekerasan pada perempuan mudah diperoleh dan dibagikan. Pendidikan perempuan yang semakin egaliter melahirkan perlawanan atas tirani patriarki, baik melalui aksi turun jalan, geliat di dunia literasi, atau bidang kehidupan lainnya sehingga paradigma saklek itu pun mulai luruh perlahan.

Faris Ahmad Toyyib
Faris Ahmad Toyyib Penikmat aliran keras manga dan anime sejak sekolah dasar. Kegemaran lainnya menulis dan membaca buku-buku filsafat, agama, dan sains.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email