Catatan Perjuangan Lekra Bersama Rakyat

Abdul Bais

3 min read

sastrawan adalah mata, telinga, suara klasnya. Ia boleh jadi tak menyadari hal ini… namun ia adalah pancaindra kelasnya.” Maxim Gorky

Sebagai pembuka dalam catatan ini. Pertama-tama mari kita perhatikan dengan seksama tentang judul yang terpampang di atas, sastrawan Lekra. Ya, gamblang dan amat signifikan karena yang menjadi sumbu perlawanan di sini adalah para kelas pekerja. Sastrawan yang sudah sedari lama dikenal oleh masyarakat bumi, dari berbagai wilayah, meskipun istilah sastrawan munculnya tak selama manusia mengenal substansi sastranya.

Sedangkan untuk Lekra sendiri, kemunculannya diinisasi oleh masyarakat yang menaruh kepeduliannya kepada substansi hidup. Yakni hidup yang bertujuan untuk mempermudah dan menyejahterakan masyarakat. Orientasi dari Lekra tak lain hanya itu. Tapi banyak juga yang menyebutnya bukan hanya demikian.

Di sisi lain perlawanan kelas pekerja merupakan kelanjutan dari aktivitas seorang sastarawan Lekra, artinya sastrawan Lekra dalam berkegiatan harus menjunjung tinggi keberpihakannya terhadap masyarakat. Harus turun ke bawah dan dapat menjadi kawan belajar bersama masyarakat. Tanpa tedeng aling-aling. Harus benar-benar menyatu dengan masyarakat. Hal itu supaya nantinya dapat menjadi kesadaran bersama masyarakat, tentang ketimpangan yang terjadi, tentang hak mereka yang secara pelan-pelan mulai dibatasi, bahkan juga tentang segala aspek yang dapat menjadi keterbatasan masyarakat dalam melakukan aktivitas.

Lekra melakukan aktivitas bertani hingga aktivitas-aktivitas kritis, seperti aksi penolakan, pemogokan dan teatrikal perlawanan terhadap otoritas kebijakan. Lekra juga menjadi jalan alternatif bagi masyarakat yang sedari awal sudah memiliki kesadaran dan keresahan dengan kebijakan Negara, agar menjadi lelaku yang berujung pada agenda revolusi dan melanggengkan kerja tradisionalnya; bertani, berkebun, menjadi buruh dan lain hal yang tergabung di dalamnya.

Revolusimu revolusi kami
Revolusimu revolusi kita
Revolusi dunia (Nyoto, 1961)

Bait di atas merupakan kutipan dari puisi Nyoto, seorang kiri lawasan, yang terpampang dalam catatan ini. Nyoto memaparkan bahwa revolusi itu harus muncul dari rakyat sendiri, bukan dari kalangan elit. Kita sebagai masyarakat yang mengerti dan peka betul terhadap aksi nyata/turun ke bawah harus menyiapkan suatu kehendak yang sama, ingatan yang sama dan aktivitas lain (alternatif) supaya tak ujug-ujug melakukan agenda revolusi.

Baca juga: 

Seperti yang tertuang dalam dalam buku Metode Jakarta, revolusi kebudayaan di Cina yang digagas Mao terlampau keliru sehingga menimbulkan implemetasi yang brutal. Sama halnya seperti revolusi Uni Soviet yang digagas Lenin. David Graeber seorang antropolog anarkis menjelaskan tentang revolusi yang digagas oleh sebagian masyarakat komunis menimbulkan kompromi baru dan menjadikan ketimpangan baru, bahkan menjadi sebuah kebingungan kepada masyarakat.

Kebingungan Pasca Revolusi

Mengapa bisa masyarakat merasa bingung setelah revolusi dilakukan? ketika revolusi terjadi maka pabrik banyak yang mulai mengalami kebangkrutan dan harus menutup lahan pekerjaan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, masyarakat yang awalnya berkerja menjadi tidak bekerja dan ketimpangan baru mulai terjadi. Dari hal itu, revolusi menjadi hal yang tak harus sekali jadi, perlu strategi pengorganisiran yang intens dan konsisten, serta perlu mangadakan kerja-kerja alternatif. Maka dengan adanya kerja-kerja seperti turun ke bawah dan mencoba membantu masyarakat untuk melakukan kegiatan alternatif selain bekerja sebagai buruh pabrik atau pun buruh ladang imperialis, menjadi tawaran yang ideal.

Disebutkan juga dalam sub bahasan buku ini yakni tentang “Sastra Anak Sebagai Penanaman Ideologi”, hal ini menjadi alternatif  yang menarik bagi kalangan sastrawan Lekra. Salah satu caranya adalah memberikan bacaan yang syarat akan moral dan motivasi tentang keberanian yang diambilkan dari kisah-kisah kehidupan rakyat di sekitar. Hal itu supaya anak mampu mengenal perjuangan rakyat sekelilingnya sehingga sejak dini mereka memeiliki sikap berani dan rela berkorban untuk sesama, terutama untuk tani dan buruh.

Sastra anak adalah sastra yang bergerak di ranah kebudayaan yang misi utamanya untuk edukasi yang berpihak. Dalam Konfernas I Lembaga Sastra di Medan mengatakan bahwa sadar akan pentingnya sastra anak berarti sadar akan tugas vitalnya dalam menyiapkan anak-anak menjadi manusia zamannya yang mempunyai ide, moral dan tendensi masa depan yang berpihak kepada ruh-ruh kerakyatan.

perjuangan kebudayaan harus mampu menyentuh massa rakyat pekerja. Karena itu para pekerja budaya harus terjun langsung pada massa rakyat, masuk ke perkampungan-perkampungan buruh, ke desa-desa kaum tani untuk hidup dan bekerja bersama mereka sambil menyebarkan gagasan-gagasan kebudayaan rakyat.” (Nyoto)

Nyoto juga sempat bersitegang dengan Aidit mengenai Lekra. Bagi Aidit, lekra harus berada di bawah PKI atau bergabung dengan PKI, serta harus berpaham PKI. Sedangkan Nyoto menolak terhadap argument dari Aidit tersebut, bahwa Lekra tak semuanya dari orang-orang PKI. Di dalamnya ada masyarakat tani, buruh dan masyarakat yang tak berpartai politik. Dijelaskan juga dalam buku tersebut bahwa Lekra adalah tempat berekspresi secara bebas, kecuali pada segala hal yang memiliki sifat menindas dan berpihak kepada kapitalis.

Turba (turun ke bawah) adalah aksi nyata dari para sastrawan Lekra. Membersamai masyarakat, merasakan kehidupan yang nyata, serta untuk dapat mengorganisir masyarakat dalam melanganggengkan kebudayaan yang berpihak dan lestari. Sehingga nanti dari kebudayaan yang ada dimasyarakat ini akan dijadikan instrument pengorganisiran. Salah satu caranya misalnya melalui sebuah pagelaran Ludruk; sebuah pementasan yang kisah-kisahnya diambil dari masyarakat sendiri dan untuk keabadian cerita-cerita yang memiliki semangat progresif revolusioner di tatanan lokal, baik daerah hingga pedesaan.

Baca juga:

Lekra vs Manikebu

Pertarungan antara Lekra dan Manikebu juga menjadi bahasan yang menarik dalam buku ini. Penulis menceritakan ketegangan yang terjadi pada tiap pementasan. Di luar  pementasan, Lekra dan Manikebu juga bersitegang dalam hal gagasan seni. Lekra yang memandang seni itu harus berpihak kepada rakyat, sedangkan Manikebu tak membatasi kepada kecenderungan tersebut. Artinya ia lebih menekan seni hanya untuk seni. Istilah yang tercupakan dalam buku ini tentang perhelatan antara Lekra dan Manikebu, yakni konsep realisme sosial dan humanisme universal. Keduanya merupakan identitas politik kedua organisasi seni tersebut.

Manikebu menolak untuk menyangkutkan seni dengan politik. Namun pada kenyataannya, mereka meminta pertolongan dari aparatur represif negara seperti militer dalam penolakan terhadap konsep seni dari Lekra. Bisa dilihat, bahwa relasi yang dilakukan oleh Manikebu kepada Militer menjadi unsur keberpihakan terhadap politik militerisme.

Lagi-lagi Lekra meraih kemenangan dalam pertarungan ini. Soekarno pada 8 Mei 1964 sempat mengubur Manikebu dari dunia kesenian dan kebudayaan. Ketika getol-getolnya dengan demokrasi terpimpinnya (sekitar 1950-1964), Soekarno memberikan tempat pada sastrawan Lekra yang memiliki paham politik yang sama dengan yang diinginkannya.

Hal itu membuat Manikebu terus berupaya untuk menolak dan meruntuhkan Lekra. Puncaknya adalah ketika peralihan kepemimpinan yang cukup janggal, dari Soekarno ke Soeharto. Ketika PKI dan kerabat-kerabatnya dihapus dan dileyapkan selama pergolakan traumatis 1965-1966, Lekra turut tergulung. Hingga sekarang, perbincangan atau pembahasan bab Lekra dalam sekolah-sekolah sudah tak ada.

Buku yang ditulis oleh Moh. Fikri Zulfikar, Djoko Saryono, Moch. Syahri ini adalah sebuah bentuk pengabadian sedikit cerita-cerita  tentang Lekra yang sering beriringan dengan rakyat. Bagi saya, selain tersebar luasnya pengetahuan tentang sastrawan Lekra, buku ini cocok menjadi kawan belajar pembaca untuk mengorganisir perjuangan kerakyatan dengan basis budaya. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Abdul Bais

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email