Hukum, Adilkah bagi Perempuan?

Durohim Amnan

5 min read

Selama dua puluh lima abad, peradaban dirumuskan lewat cara berpikir laki-laki. Selama itu juga, perempuan hanya dijadikan objek observasi hukum demi kepentingan laki-laki. Disadari atau tidak, atas perbuatan itu perempuan dihadirkan sebagai pihak yang paling merasakan dampak dari ketidakadilan, ketidaksetaraan, ketidakbebasan, perundungan, dan seterusnya. Sementara itu, pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab justru menikmati tanpa sedikitpun rasa penyesalan. Peradaban seperti apa namanya jika separuh umat manusia menderita atas perbuatan manusia lainnya, tanpa adanya koreksi.

Bukankah laku itu layaknya menari diatas penderitaan orang lain? Apakah sifat arogansi yang menyebabkan separuh umat manusia tersiksa sebegitu lamanya masih ingin dipertahankan atas dasar kenikmatan?

Baca juga:

Terus terang saja, tak ada pembenaran bagi hukum yang menindas. Hukum dalam pengertian demokrasi adalah interupsi terhadap kesewenang-wenangan. Hukum yang demokratis tak pernah menyetujui laku penindasan, sekecil dan sesingkat apa pun.

Peradaban tak boleh mendiamkan terus-menerus hukum yang dibangun dengan menindas kelompok lain atas dasar perbedaan, apalagi karena perbedaan jenis kelamin. Salahkah alam memberi fasilitas terhadap manusia yang kemudian disebut dengan gender laki-laki dan perempuan? Terlalu naif menghakimi semesta dengan cara mendiskriminasi gender lain, lebih-lebih lewat manipulasi hukum. Peradaban harus disusun ulang untuk meluruskan praktik bernegara yang selama ini diselewengkan.

Patriarki yang Menggumpal

Kesalahan berhukum ini sudah terjadi sejak abad ke 3 sampai 2 sebelum masehi. Hukum telah diobsesikan secara patriarkis ketika Aristoteles berujar bahwa perempuan adalah anak kecil yang bertubuh besar. Ucapan itu secara tidak sadar membentuk karakteristik hukum yang selalu mendiskreditkan perempuan. Bahkan tidak sekedar hukum, politik, ekonomi, sosial, apalagi kebudayaan selalu menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua. Doktrin itu semakin menggumpal secara inkremental dan pada akhirnya teramplifikasi menjadi problem mondial.

Sesungguhnya bangsa ini tak layak sedikitpun mendaku sebagai negara hukum yang demokratis, mengingat bertumpuknya persoalan sosio-politik-kultural yang berimbas pada kelompok perempuan, dimana hukum tak mampu menjawab persoalan itu. Lebih-lebih, persoalan tersebut terus menumpuk tanpa ada kepastian hukum yang bisa menjamin kebebasan dan kesetaraan perempuan. Ruang publik justru makin pekat dengan cara pandang maskulin tanpa ada eksepsi hukum yang menentang dominasi itu. Atau, jangan-jangan, hukumlah dalang dari semuanya yang membentuk peradaban bangsa ini penuh dengan caci-maki terhadap perempuan.

Bilamana benar Indonesia yang mengklaim diri selaku negara hukum demokratis, maka konsekuensinya hukum harus melayani seluruh keluh kesah warga negara tanpa terkecuali. Hukum yang didasari demokrasi tak pernah berpihak selain kepada kebebasan, keadilan, kesetaraan itu sendiri dan tak akan rela membuat sengsara warganya. Perempuanlah pihak yang paling merasakan perihal nestapa dunia. Tapi, di satu sisi, perempuanlah yang terus mencoba merawat dan mengasuh peradaban ini yang selalu penyakitan.

Lalu, dimana letak keadilan hukum? Apakah KDRT yang kerap dialami perempuan dapat disebut sebagai andil hukum yang demokratis? Atau, perilaku pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap perempuan juga dapat diartikan buah dari keadilan hukum? Juga, apakah perilaku sewenang-wenang terhadap otonomi tubuh perempuan adalah wajah asli hukum? Hukum seperti apa yang bisa menjelaskan bahwa seluruh penderitaan perempuan selama ini merupakan bentuk nyata dari hukum yang adil?

Bilamana saat ini diajukan pertanyaan soal siapa kelompok yang paling merasakan ketidakadilan, maka jawabannya adalah perempuan. Seluruh jenis ketidakadilan menumpuk di tubuh perempuan. Ketidakadilan ekonomi dalam soal upah pekerja dirasakan perempuan. Ketidakadilan politik selalu dijumpai dalam pengisian jabatan publik yang memandang perempuan hanya sebelah mata. Ketidakadilan sosial menempatkan kelompok perempuan dalam pandangan stereotip, subordinasi, termarjinalkan, terisolasi. Ketidakadilan agama bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang selalu mengabdi pada suaminya, walaupun suami keliru. Ketidakadilan budaya pun sama, sering mengerdilkan perempuan dalam adat istiadat.

Bahkan, jika dibawa ke konteks hari-hari ini, kita bisa berkaca bagaimana ketidakadilan terhadap perempuan itu terasa begitu memilukan dalam kasus perang antara Israel dan Hamas. Per hari ini, jumlah korban jiwa yang melayang pada perang itu sejumlah kurang lebih 34.000. Mayoritas korban tersebut adalah perempuan. Hukum humaniter sebagai pedoman berperang pun dibentuk oleh cara pandang laki-laki dan, lagi-lagi, perempuan yang harus merasakan dampak dari arogansi tersebut. 

Adilkah buat perempuan? Tentu tidak.

Penolakan Peradaban

Tak ada yang bisa menyangkal semua fakta itu. Fakta yang kemudian menjadi sebuah fenomena sosial dan budaya bahwa siksaan terhadap salah satu kelompok manusia boleh didiamkan begitu saja karena mereka perempuan. Laki-laki yang arogan akan menikmati kesengsaraan perempuan dengan mengecap bahwa itu adalah “kodrat”. Ya, benar, kodrat bagi laki-laki yang tak berperikemanusiaan dan hanya melihat perempuan sebatas instalasi tanpa menyadari semua nestapa itu datang karena kedunguan laki-laki.

Peradaban tak pernah menoleransi sifat bengis. Peradaban mempunyai hukumnya sendiri yang suatu saat akan menghukum pihak yang tak mau mengakui dan memperbaiki kesalahannya. Begitu pula peradaban demokrasi, sebagai sebuah sistem yang buruk di antara yang paling buruk, demokrasi selalu menyediakan ruang untuk mereka yang ingin memperbaiki sebuah kesalahan. Demokrasi tak mengenal kata dendam, pun demikian dengan penghakiman dosa, selama seseorang menyadari bahwa perbuatannya telah mencampakkan sebagian kelompok manusia dalam rentang waktu berabad-abad lamanya.

Peradaban hanya disebut peradaban bila tatanan masyarakat bekerja tanpa menolerir praktik penindasan. Fasilitas itu baru bisa tersedia bila kebebasan dijunjung tinggi dan kesetaraan berlaku bagi semua orang. Saya meyakini bahwa fungsi primer dari hukum adalah menciptakan fasilitas itu sekaligus melindunginya lewat pengetatan norma agar tak ada seorang pun berani mencoba menggugatnya. Fasilitas kebebasan dan kesetaraan itulah yang selama ini dibutuhkan kelompok perempuan dalam rangka mengucapkan beribu kegelisahannya. Sayangnya, selama ini fasilitas itu tak pernah dilindungi oleh hukum dan akhirnya menjadi santapan empuk bagi para pemangsa yang punya pandangan patriarkis.

Hukum bisa dimaknai demokratis bilamana kehadirannya membuat kepentingan kelompok yang tertindas merasa terlindungi. Dalam hal kebebasan dan kesetaraan warga negara, hukum tak boleh bersikap abu-abu. Hukum harus tegas mangatakan bahwa kepentingannya pertama-tama hanya untuk melindungi warga negara atas kebebasan dan kesetaraan yang dimilikinya. Terlalu munafik bila ada pandangan yang mengatakan bahwa perempuanlah yang memosisikan dirinya sebagai warga negara kelas dua.

Pandangan tersebut tidak pernah belajar bahwa sejarah peradaban manusia dibentuk oleh bahasa kekuasaan. Dalam hal ini, kekuasaan patriarkislah yang merenggut kebebasan dan kesetaraan itu dari pangkuan perempuan. Sialnya, hukum meligitimasi itu selama 25 abad lamanya sampai hari ini. Teringat ujaran George Orwell yang mengatakan bahwa bahasa kekuasaan memang diracik untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihormati.

Tanggung Jawab Negara

Mengutip Rocky Gerung dalam salah satu serial kuliah filsafat keadilan Jurnal Perempuan, yang membedakan laki-laki dan perempuan ialah pandangannya tentang etika. Laki-laki menganggap etika pertama-tama diartikan sebagai hak atau ethics of rights, sedangkan perempuan memaknai etika sebagai kepedulian atau ethics of care

Pandangan ini bisa menerangkan bagaimana watak laki-laki yang sejak awal ingin “memiliki”, bahkan lewat paksaan sekalipun yang menurutnya menjadi haknya. Berbanding terbalik dengan perempuan yang hanya ingin memaknai segala sesuatu atas dasar sikap empati, tanpa intensi menguasai apalagi memiliki.

Laki-laki mendefinisikan situasi ketidakadilan lewat teori-teori yang ia pelajari. Berbeda dengan perempuan yang merasakan ketidakadilan secara langsung di dalam pengalaman dirinya sendiri. Ketidakadilan itu built in pada tubuh perempuan sehingga perempuan tidak perlu diajarkan tentang teori ketidakadilan ataupun seperti apa fenomena ketidakadilan itu berlangsung. Pengalaman perempuan terhadap ketidakadilan akan selalu membekas dan hal itu juga yang bisa menjelaskan mengapa perempuan lebih peka terhadap rasa penderitaan yang tersimpul dalam teori tentang etika kepedulian di atas.

Baca juga:

Sebetulnya sangat banyak alasan mengapa peradaban harus ditata ulang lewat fasilitas kebebasan dan kesetaraan itu agar steril dari dominasi yang selama ini terhimpun melalui cara pandang patriarkis. Proposal affirmative action yang digagas masyarakat internasional untuk melibatkan perempuan dalam setiap aspek kebijakan hanyalah langkah awal demi memulai peradaban baru yang meneduhkan perempuan. Walaupun proposisi tersebut menjumpai tembok besar di dalam praktiknya, tetapi itu bukan menjadi alasan surutnya semangat untuk memperjuangkan kesetaraan.

Anggap saja ide tindakan afirmasi terhadap perempuan tersebut sebagai upaya penebusan dosa atas keistimewaan yang selama ini dinikmati kaum adam. Penebusan itu sebetulnya tidak sebanding dengan jutaan derita yang dialami perempuan selama berwaktu-waktu. Tidak ada upaya yang bisa mengobati luka yang begitu mendalam atas perbuatan hina-dina yang dilakukan oleh laki-laki, khususnya mereka yang menikmati cara pandang patriarkis. Negara harus bekerja ekstra keras dalam rangka memapah pihak yang disingkirkannya selama ini karena kebrutalannya.

Negara punya segudang instrumen untuk mengakselerasi ide tersebut dengan cepat. Kebijakan negara dalam bidang politik, hukum, sosial, pendidikan, kebudayaan, terlebih keagamaan musti saling menopang agar menjamin ide afirmasi itu benar-benar terlaksana secara berkelanjutan. Meskipun persoalan ini amat pelik karena menyangkut problem struktural, yang paling penting adalah komitmen negara untuk menjadi pionir sekaligus katalisator menghadirkan ruang publik yang bebas dan setara itu bisa dimintakan pertanggungjawabannya secara langsung.

Untuk menutup tulisan ini, sebuah puisi yang ditulis penyair Eropa beberapa abad lalu sangat layak disyairkan ulang. Gubahan itu bertuliskan kurang lebih: Perempuan tidak diciptakan dari tengkorak laki-laki sehingga ia berada di atasnya/Perempuan juga bukan diciptakan dari telapak kaki laki-laki sehingga bisa diinjak-injak/Perempuan terbuat dari tulang rusuk laki-laki/Tulang rusuk itu berada di sisi-nya/Tulang rusuk itu dekat dengan tangan laki-laki sehingga perempuan didekap/Tulang rusuk itu di sebelah hati laki-laki sehingga perempuan disayangi. Begitulah seharusnya memperlakukan perempuan.

 

Editor: Emma Amelia

Durohim Amnan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email