Psikologi di Indonesia telah berkembang dengan sedemikian rupa sebagai disiplin ilmu yang memiliki peranan penting dalam memahami perilaku individu. Hanya saja, dalam kenyataan masyarakat yang plural seperti Indonesia, pendekatan psikologi yang tradisional acapkali menemui kegagalan dalam menangkap realitas yang lebih luas. Salah satunya adalah dalam melihat isu gender dan seksualitas. Pendekatan tradisional psikologi masih terlalu berfokus pada level individual seperti perilaku dan tidak cukup mempertimbangkan faktor lainnya seperti sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang mempengaruhi kesejahteraan mental dan psikologis individu.
Dalam hemat saya, teori kritis, yang berfokus pada analisis kekuasaan dan penindasan, menawarkan perspektif yang lebih inklusif untuk memberikan pemahaman mengenai bagaimana struktur sosial mempengaruhi pengalaman psikologis individu. Maka dari itu, psikologi di Indonesia perlu mengadopsi teori kritis ini untuk menganalisis isu terkait gender dan seksualitas secara lebih mendalam agar dapat menangani ketidakadilan dan diskriminasi yang dihadapi oleh kelompok yang termarjinalkan dalam masyarakat.
Peluang Teori Kritis
Tidak dapat dipungkiri, sejarah psikologi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pendekatan barat yang titik tekannya adalah pada penelitian empiris dan positivis. Fokus utamanya adalah pengukuran perilaku manusia, intervensi klinis, dan kesehatan mental individu; tidak jauh dari situ penelitian psikologi biasanya dipublikasi. Namun, dalam konteks Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki keragaman sosial yang begitu besar, pendekatan ini tidak memadai. Isu gender dan seksualitas seringkali terabaikan.
Adapun ketika seksualitas dibahas, seringkali menggunakan kerangka kerja konservatif yang secara diametral tidak sesuai dengan realitas yang dihadapi oleh kelompok-kelompok minoritas. Hal ini juga diperparah oleh dominasi interpretasi teks keagamaan yang sangat konservatif dan dogmatis sehingga perlakuan diskriminatif kerap dirasakan oleh kelompok-kelompok ini atas dasar kebenaran agama yang dianggap tunggal. Akibatnya percakapan yang dialogis terkait gender dan seksualitas di dalam ilmu psikologi masih dianggap tabu.
Ini adalah bukti bahwa positivisme belum memadai untuk menganalisis isu terkini seputar gender dan seksualitas karena ketidakmampuannya dalam mengungkap struktur kekuasaan yang membentuk dan mempengaruhi pengalaman individu, terutama pengalaman psikologis. Misalnya, dalam konteks diskriminasi terhadap perempuan dan komunitas LGBTQ+, psikologi positivis hanya fokus pada gejala-gejala psikoloigs seperti kecemasan atau depresi, tanpa memberikan pertimbangan terhadap bagaimana kekuatan patriarki dan heteronormativitas berperan dalam menciptakan kondisi yang menindas. Konsekuensinya adalah penggunaan terapi untuk ‘menyembuhkan’ individu yang dianggap ‘sakit’. Hal ini tidak akan bisa menyentuh akar masalah sosial yang menimbulkan tekanan psikologis tersebut.
Baca juga:
- Menuju Psikologi yang Lebih Membumi
- Kesejahteraan Psikologis sebagai Tujuan Pendidikan
- Psikologi Indigenous: Dana Riset, Bahasa Ilmiah, dan Permasalahan Lainnya
Paradigma ini tidak hanya memperlemah upaya untuk memahami isu gender dan seksulitas secara lebih mendalam, tapi juga gagal mendorong transformasi sosial untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Maka dari itu, psikologi butuh pendekatan yang lebih segar, yakni teori kritis sebagai alternatif untuk memecah kebuntuan; mendekonstruksi kekuatan ini dan memungkinkan psikologi menjadi lebih progresif, terutama untuk isu-isu seputar gender dan seksualitas.
Teori kritis diperlukan untuk mengatasi keterbatasan, untuk tidak menyebut kemustahilan, positivisme dan menawarkan pendekatan yang lebih progresif dalam memberikan pemahaman yang mendalam mengenai isu-isu gender dan seksualitas. Tentunya dengan menyoroti kekuatan sosial, budaya, politik, dan ekonomi dalam membentuk pengalaman psikologis individu di dalamnya.
Hal yang menarik dari teori kritis adalah kemampuannya dalam membangun pemahaman mengenai hubungan antara dinamika kekuasaan dengan penindasan serta bagaimana struktur ini bekerja dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks psikologi dan isu gender dan seksualitas, teori kritis memberikan kita pencerahan melalui kerangka yang lebih luas untuk memahami bagaimana pengalaman psikologis dipengaruhi oleh kekuatan sosial, budaya, politik dan ekonomi yang memperkuat patriarki dan heteronormativitas.
Contoh sempurna mengenai patriarki adalah ketidaksetaraan gender di tempat kerja yang membatasi perempuan. Melalui struktur kekuasaan patriarki, ide mengenai bahwa mereka tidak layak untuk promosi atau berprestasi di tempat kerja terus direproduksi. Pendekatan kritis membantu psikologi untuk melihat bahwa permasalahan ini bukanlah masalah individual, melainkan masalah sistemik. Tak hanya itu, teori kritis juga dapat membuka solusi yang berfokus pada transformasi sosial sehingga terjadi perubahan yang lebih berkelanjutan, serta memastikan bahwa psikologi berperan sebagai disiplin ilmu yang menjadi alat untuk transformasi sosial.
Perspektif Kritis
Teori kritis memiki kekuatan yang kuat untuk mempertanyakan apa yang selama ini kita yakini adalah benar adanya. Teori kritis memberikan sebuah konstruksi pengetahuan yang selama ini dianggap ‘unthinkable’, membuat kita tergugah untuk mencari tahu jawaban yang paling sesuai dengan diri kita sebagai individu.
Dalam perspektif teori kritis, gender dan seksualitas dapat dianalisis dengan mempertanyakan atau mengungkap bagaimana kekuasaan patriarkis dan heteronormativitas bekerja untuk membentuk formasi identitas dan pengalaman individu. Ketidakadilan struktural juga bisa dilihat melalui kacamata psikologi kritis.
Gender dan seksualitas tidak dapat dipisahkan dari kekuatan sosial yang mengatur hubungan antar individu. Dengan perangkat seperti feminisme kritis, kita dapat memahami bahwa gender bukan hanya atribut biologis, melainkan konstruksi sosial yang dibentuk oleh kekuasaan yang patriarkal.
Misalnya, dalam banyak konteks di Indonesia, seringkali dijumpai bahwa perempuan diharapkan untuk memenuhi peran tradisional sebagai ibu rumah tangga, yang membuat tekanan pada diri mereka untuk memilih antara karir dengan kehidupan rumah tangga. Ketegangan yang menyebabkan stress dan konflik ini kemudian dianggap sebagai masalah individual dalam psikologi tradisional yang positivistik.
Hal inilah yang luput dari pandangan psikologi tradisional sehingga dibutuhkan perangkat epistemik yang lebih memadai untuk menelaah masalah ini. Feminisme kritis bisa menunjukkan bahwa tekanan ini adalah hasil dari kekuasaan patriarki yang membatasi perempuan. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa solusi yang dibutuhkan adalah perubahan struktural yang sifatnya makro seperti upaya politik di parlemen daripada hanya perubahan perilaku individu.
Begitu pula mengenai isu LGBTQ+ yang seringkali dituduh dengan berbagai macam prasangka yang negatif, dapat dianalisis dengan perangkat epistemik seperti teori kritis. Heteronormativitas misalnya, dapat diungkap mengenai bagaimana norma ini membentuk stigma yang merugikan kesehatan mental mereka.
Heteronormativitas adalah asumsi bahwa heteroseksual adalah satu-satunya bentuk seksualitas yang normal dan sah. Asumsi ini memperkuat stigma terhadap individu yang memiliki orientasi seksual yang beragam. Dalam psikologi, heteronormativitas seringkali diterima sebagai sebuah kebenaran atau norma. Hal itu membuat masalah yang dihadapi komunitas LGBTQ+ dilihat sebagai masalah patologis, bukan masalah sosial yang disebabkan oleh diskriminasi dan represi.
Di Indonesia, diskriminasi dan represi terhadap individu dengan orientasi seksual yang berbeda seringkali terjadi seperti di institusi pendidikan, tempat kerja, dan lingkungan sosial lainnya. Bahkan di beberapa tempat memiliki aturan yang secara eksplisit mengkriminalisasi perilaku dengan orientasi seksual yang berbeda. Hal itu menciptakan ketakutan dan represi seksual.
Akibatnya, individu-individu ini mengalami stress, depresi, dan isolasi sosial karena adanya tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma heteronormativitas. Maka dari itu, dengan teori kritis, psikologi dapat mengidentifikasi bagaimana heteronormativitas beroperasi sebagai kekuatan yang menindas sehingga dapat mengembangkan strategi intervensi yang lebih inklusif dan mendukung ekspresi seksual yang beragam.
Potensi dan Tantangan
Teori kritis memiliki peranan yang sangat penting untuk masa depan psikologi yang lebih adil dan inklusif, terutama dalam menangani isu gender dan seksualitas. Dengan mengadopsi teori kritis, psikologi dapat melampaui batasan-batasan pendekatan tradisional dan mulai memahami bagaimana dinamika kekuasaan sosial, politik, budaya, bahkan ekonomi dapat mendeterminasi pengalaman individu terkait gender dan seksualitas.
Teori kritis sangat memungkinkan untuk menantang kekuasaan patriarki dan heteronormatif yang mendominasi dan menciptakan suasana sosial yang diskriminatif. Tantangan yang sangat mungkin dihadapi adalah penolakan terhadap konsep-konsep ini yang dirasa mengganggu tatanan sosial yang dianggap telah mapan. Konsep-konsep ini dianggap sebagai ‘pengacau’ sehingga perlu untuk dilawan.
Padahal, tema utama yang hendak diusung psikologi positif adalah menciptakan lingkungan yang lebih adil, terbuka dan inklusif, sehingga individu yang dianggap ‘sakit’ dan ‘meyimpang’ karena orientasi seksualnya bisa meningkat taraf hidupnya tanpa perlu merasa takut. Psikologi dapat berperan sebagai alat yang efektif untuk mendorong perubahan sosial dan menyemai nilai-nilai keadilan, inklusif, dan progresif di dalam masyarakat, terutama menyikapi isu-isu gender dan seksualitas. (*)
Editor: Kukuh Basuki
Saya masih SMA, beberapa teman saya seorang homoseksual. Walaupun menurut saya sendiri konklusi itu butuh eksplorasi yang panjang, tapi nyatanya mereka sudah melabel diri mereka dan saya tak masalah dengan itu.
Salah satu sahabat saya terlibat perkelahian karna lawannya saya akui sudah keterlaluan menyinggung hal yang terlalu personal untuk saya tuliskan. Walaupun perkelahiannya tak ada kaitannya dengan seksualitasnya, tapi saat berkelahi lawannya sempat mengatai-ngatai itu, lalu guru malah berfokus dengan seksualitasnya.
Sahabat saya disidang, saya juga ikut terseret karna saya jadi saksi dan sebagai temannya yang paling dekat. Panjang sekali urusannya dan berbelit karna guru-guru ini sebagai pengajar, dengan tidak bijaksananya membawa rumor-rumor tanpa bukti. Seberapa keras kami bilang itu hanya rumor, guru-guru ini mendesak saya buka mulut seolah itu memang faktanya.
Saya capek bersifat netral. Waktu dan pikiran saya sudah dikuras habis. Akhirnya saya tantang guru-guru ini beberkan pada saya faktanya. Saya bilang saya akan fair, kalau memang benar sahabat saya ini ‘penjahat kelamin’, saya akan dukung guru-guru ini untuk keluarkan dia sekalian. Saya blak-blakan juga bilang ini tak adil. Padahal pemantik perkelahian itu anak dari kelas sebelah, tapi dia hanya dapat peringatan dan tidak ikut sidang panjang ini.
Guru-guru ini makin marah. Mereka bilang saat bela dia kejauhan dan bertanya apa saya pro LGBT? Saya iyakan saja. Mereka bilang saya bodoh mendukung LGBT karna hewan saja tidak ada yang gay. Saya jelaskan penelitian tentang beberapa binatang mamalia yang kawin sesama jenis, lalu mereka sebut saya bodoh sekali lagi. Mereka bilang itu hanya rekayasa untuk propaganda dan saya kemakan media Barat. Saya bilang kalau di Indonesia dari dulu sudah ada LGBT, dalam budayanya saja ada beberapa yang mencerminkan LGBT seperti keragaman gender di suku Bugis dan itu bukan hanya di Barat. Mereka suruh saya diam dan jangan sok pinter dengan melawan guru. Mereka tetap keukeuh kalau saya kemakan budaya Barat. Salah satu guru bahkan bilang saya melawan pancasila, karna menurutnya LGBT=liberal.
Pada akhirnya saya dikeluarkan dari ruangan karna dianggap memperkeruh. Sahabat saya diserang habis-habisan, dibilang bisa merusak moral murid yang lain. Padahal siapa yang lebih merusak moral: murid yang suka mencaci dan berkelahi atau sahabat saya yang belum pernah buat masalah sebelumnya? Jalankan mengajak, dia bahkan selalu menutup seksualitasnya rapat-rapat. Tidak akan ada yang tau kalau semisalnya tak ada yang bocorkan.
Saya suruh sahabat saya pindah sekolah saja, tapi katanya nanggung sudah kelas 12. Nyatanya setelah orang tuanya dipanggil dia bilang dia mau ‘dibuang’ orang tuanya ke pondok pesantren.
Saya ceritakan ini untuk buktikan seberapa parahnya persekusi yang ada. Bahkan sekelas pengajar saja bisa menghakimi dengan benar-benar tidak bijaksana. Guru bahasa Indonesia saya saja bawakan berita pelecehan yang terjadi di panti asuhan di Tanggerang akhir-akhir ini menegaskan ‘perilaku menyimpang homoseksual’ daripada berfokus pada pedofilia dan kekerasan anak itu sendiri.