Debu kosmik yang terkurung di dalam dunia ide

Saat Orang Miskin Dipelihara Negara untuk Tetap Miskin

Riandy K. Nugraha

3 min read

Belum lama ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas mengungkapkan 500 triliun dana untuk pengentasan kemiskinan ternyata banyak digunakan untuk mengongkosi perjalanan dinas birokrat dan memfasilitasi mereka rapat di hotel.

Di sisi lain, ada begitu banyak warga kelaparan. Riset Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada September 2022 ada 26,36 juta warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan (miskin ekstrem). Data tersebut merupakan angka kemiskinan tertinggi dalam sembilan tahun terakhir.

Mengacu pada Bank Dunia, penduduk miskin ekstrem hanya memiliki daya beli di bawah 1,9 USD. Jika nilai tersebut dikonversi, penduduk miskin ekstrem di Indonesia hanya memiliki pendapatan sekitar 11.900 rupiah per hari atau 358.200 rupiah per bulan.

Baca juga:

Melihat kondisi tersebut, negara sebetulnya sudah melakukan berbagai upaya. Tahun lalu Presiden Joko Widodo mengeluarkan Inpres No. 4 tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Hampir seluruh kementerian hingga pemerintah tingkat provinsi dan wali kota dimandatkan untuk menghapus masalah kemiskinan. 

Kontradiksi Anggaran dan Tingkat Kemiskinan

Anggaran yang digelontorkan untuk pengentasan kemiskinan juga tidak tanggung-tanggung. Sejak tahun 2017-2022 anggaran untuk perlindungan sosial berkisar 200-490 triliun. Dari rilis Kementerian Keuangan, tahun 2020 anggaran itu pernah mencapai angka 498 triliun saat pandemi. Dan pada tahun 2022 anggaran yang digelontorkan sebanyak 431,5 triliun. 

Tentu itu bukan angka yang sedikit. Jika dimanfaatkan dengan maksimal, persoalan kemiskinan di Indonesia semestinya bisa menemukan titik penyelesaian. Namun apa daya, pejabat kita sering kali hanya pandai bicara, tetapi minim tindakan. Regulasi yang dibuat juga kerap kali terbentur dengan bobroknya sistem birokrasi yang ada.

Di media mereka berkoar-koar seolah paling memikirkan rakyat. Kenyataannya warga miskin tetaplah miskin. Mereka memang melaksanakan amanat konstitusi yang berbunyi “rakyat miskin dipelihara negara”, tetapi lebih tepatnya mereka memelihara orang miskin untuk tetap miskin. 

Sebagaimana yang dilaporkan Kemenkeu selama periode 2021–2022, belanja perjalanan dinas secara umum di kementerian dan lembaga pemerintah meningkat 10 triliun rupiah. Modus perjalanan dinas itu biasanya adalah uang transportasi, penginapan, dan uang tak terduga yang bisa didapatkan para birokrat saat melakukan perjalanan dinas. 

Tempat-tempat yang dipilih untuk tempat rapat biasanya di sekitar pinggiran Jakarta, seperti Tangerang, Depok, atau Bogor, yang penting ada embel-embel ‘perjalanan ke luar kota’. Itu pernah diungkapkan Sekjen Transparency International Indonesia, Danang Widoyoko, dalam wawancaranya dengan BBC Indonesia. Dia menyebut perjalanan dinas itu banyak ‘uang plus-plusnya’. Makanya tidak heran banyak birokrat kita yang sedikit-sedikit ke luar kota untuk perjalanan dinas, meski yang dibahas bukan hal yang penting-penting amat. 

Belum lagi program pengentasan kemiskinan seperti bansos, Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Prakerja, program Kartu Sembako dan banyak program kementerian lainnya yang kerap kali tidak tepat sasaran. Kita sering mendengar berita soal kepala desa dapat bansos, lurah yang punya rumah mewah dapat bansos, dan terakhir Menteri Sosial Juliari Batubara terseret kasus karena ‘nilep’ uang bansos. Program-program semacam itu tak bisa menyelesaikan masalah kemiskinan hingga akarnya, berulang kali hanya menjadi lahan basah untuk dikorupsi.

Rentetan persoalan akibat kemiskinan ekstrem tidak akan pernah terselesaikan kalau sesat pikir di tiap kementerian itu sendiri masih subur. Padahal pemerintah sadar jika kualitas sumber daya manusianya meningkat, daya beli kuat, panggung persaingan global akan sangat mudah diraih. 

Banyaknya pengangguran akan memperlambat pendapatan nasional, dan dampak kemiskinan jelas sekali menghambat pertumbuhan negara. Bagaimana kualitas sumber daya manusia bisa meningkat kalau persoalan mendasar hidup mereka seperti makan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan saja sulit untuk dipenuhi?

Universal Basic Income (UBI)

Ada satu gagasan menarik yang menurut saya perlu dipertimbangkan pemerintah dalam menanggulangi masalah kemiskinan ekstrem di Indonesia. Selama pandemi, gagasan ini kembali menjadi perbincangan hangat—setelah lama tenggelam—di antara pengamat ekonomi, akademisi, aktivis, dll. Gagasan ini bernama Universal Basic Income (UBI). 

Baca juga:

Kita bisa saja mengadopsi gagasan tersebut untuk mengentaskan masalah kemiskinan. Tidak serumit kedengarannya, penerapannya cukup dengan menyalurkan uang tunai kepada masyarakat kategori miskin ekstrem. 

Berdasarkan riset dari Faculty of Administrative Sciences, University of Brawijaya, proyek UBI yang dijalankan selama dua tahun di Namibia dengan estimasi USD163 per bulan telah berhasil mengurangi malnutrisi, kelaparan, tingkat kemiskinan, dan tingkat kriminalitas. Selain itu juga untuk meningkatkan kegiatan ekonomi, pendapatan, dan kehadiran di sekolah. Proyek UBI berhasil pula membantu membangun ekonomi dan sumber daya manusia di 8 desa Madhya Pradesh, India, dalam penerapan selama 18 bulan dengan memberikan uang kebutuhan dasar sebesar USD26-77 atau sekitar Rp394 ribu-Rp1,16 juta.

Tim peneliti dari The Prakarsa tahun 2020 memberi simulasi total anggaran per provinsi jika menerapkan UBI sebesar Rp500 ribu per individu yang berusia di atas 14 tahun. Negara membutuhkan anggaran sebesar Rp96,782 miliar per bulan atau Rp 1,152 triliun per tahun. Jauh dari total anggaran perlindungan sosial yang disiapkan negara sebesar Rp 431,5 triliun. 

Di beberapa negara yang sudah menerapkan UBI, dana yang dipakai untuk disalurkan berasal dari gotong royong warga negaranya, yakni melalui pajak yang dibayarkan warga negara, seperti pembayaran dari  pengusaha, wiraswasta, maupun dari anggaran-anggaran pemerintah seperti dari dana kesehatan, dana pensiun dan anggaran untuk orang miskin, anak-anak dan pengangguran. 

Selain itu sumber dana juga bisa berasal dari dana deviden yang didapatkan negara dari perusahaan industri ekstraktif. Penerapan dari UBI ini tentunya juga memiliki dampak dalam sektor pembangunan seperti yang terjadi di Madhya Pradesh, India, dan juga di Namibia. Efek yang paling terasa adalah pada SDA di daerah yang sudah pernah menerapkan UBI.

Tentu saja skema ini akan efektif kalau diterapkan dengan sistem yang baik, tidak ada korupsi, atau penyelewengan dana. Ini bukan soal secanggih apa sebuah program, namun siapa yang menjalankan. Selain itu, perlu dibarengi dengan sosialisasi kepada masyarakat dalam mengelola keuangan agar tidak disalahgunakan untuk urusan gaya hidup.

Penekanan ini penting mengingat mentalitas masyarakat indonesia yang cenderung memiliki hasrat kebendaan yang tinggi, memilih mendahulukan kesenangan sementara daripada repot-repot membangun kualitas diri sehingga program tidak akan berjalan dengan semestinya. Lagipula keharmonisan antara kejujuran pemerintah dan keinginan kuat untuk maju dari masyarakatlah yang paling menentukan keberhasilan suatu sistem.

 

Riandy K. Nugraha
Riandy K. Nugraha Debu kosmik yang terkurung di dalam dunia ide

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email