Kita sering melihat realitas bahwa kemiskinan merupakan salah satu penyebab sulitnya meraih pendidikan yang layak. Tidak hanya di Indonesia, kemiskinan juga melanda belahan dunia lainnya, salah satunya Cina.
Di Zhanjiashu, sebuah desa kecil yang terletak ribuan kilometer di sebelah barat laut Beijing yang terisolasi dari kemajuan zaman dan teknologi, cerita ini berawal dari ketidaksengajaan Pierre Haski, seorang jurnalis Prancis yang bertemu perempuan lokal yang tiba-tiba memberhentikan mobil tim ekspedisi mereka. Sebuah buku bersampul cokelat diberikan pada Haski ketika ia dipaksa untuk mengunjungi rumah perempuan tersebut. Buku berisi catatan harian tersebut diterjemahkan dan dimuat dalam media Prancis yang kemudian menarik perhatian publik.
Kisah nyata ini lantas diabadikan dalam novel berjudul The Diary of Ma Yan: The Struggles and Hopes of a Chinese School Girl dan diterjemahkan ke dalam 17 bahasa termasuk bahasa Indonesia, lalu diterjemahkan ulang di tahun 2009 oleh Sanie B. Kuncoro dan diterbitkan Bentang Pustaka dengan judul Ma Yan.
Ma Yan bercerita tentang seorang anak perempuan tangguh bernama Ma Yan yang berjuang demi mengenyam pendidikan. Ma Yan bukan terlahir dari keluarga berkecukupan. Rata-rata keluarga yang tinggal di desa tersebut berada di bawah garis kemiskinan. Di desanya, mendapatkan pendidikan adalah hal yang begitu langka. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sulit, apalagi membiayai pendidikan.
Keinginan Ma Yan untuk bersekolah datang karena semangat belajarnya yang tinggi. Begitu kuat semangat yang dipancarkan Ma Yan maka luluhlah perasaan sang ibu. Dengan segenap daya, diulurkanlah tangan ibu juga ayahnya mengiringi langkah putri mereka untuk tidak menerima warisan yang diberi oleh generasi sebelumnya, yaitu kemiskinan.
Stigma Perempuan
Para tokoh perempuan yang terdapat dalam cerita ini digambarkan sebagai sosok yang gigih, tangguh, namun terjebak dalam lingkungan patriarkis. Karena diangkat dari catatan Ma Yan sendiri, maka banyak pemikiran-pemikiran Ma Yan dan juga terpengaruh dari pola pikir keluarganya, misalnya dari ibunya.
“Tetapi bahwa anak laki-laki lebih dipilih untuk bersekolah, sementara anak perempuan ditentukan untuk bekerja, itu sungguh bukan alasan yang akan kuterima dengan mudah. Mengapa muncul pembedaan itu?” (hal. 139)
Diskriminasi gender yang dialami oleh Ma Yan terjadi karena ia sebagai perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah dan pola pemikiran itu sayangnya masih dapat kita temukan hingga sekarang.
“Dan sesuai tradisi pada umumnya, yang berlaku entah sejak kapan, maka dalam situasi seperti itu selalu anak perempuanlah yang akan menjadi pilihan untuk menderita terlebih dahulu.” (hal. 148)
Ibu Ma Yan tak memiliki kuasa untuk melawan justifikasi sosial. Hanya karena ia terlahir sebagai anak pertama dan seorang perempuan, Ma Yan dipaksa untuk berhenti sekolah dan bekerja di ladang walaupun dalam sanubarinya bergejolak menolak.
Mengkritisi Negara
Cina yang kini berada di pusaran negara adidaya ternyata memiliki catatan kelam, bahkan buruk sepanjang tahun 1958 hingga 2000-an. Di tahun 1958 hingga 1962, dalam meningkatkan produksi baja, hutan di beberapa wilayah pedesaan dibabat habis. Efek ini ternyata memiliki dampak yang berkepanjangan.
“Ladang kami nyaris tidak menghasilkan apa pun, sama sekali tidak tersisa untuk uang saku.” (hal. 61)
Di rentang tahun tersebut banyak petani yang ladangnya tidak dapat menghasilkan apa-apa, bahkan mengalami kerugian. Lalu bencana kelaparan yang merenggut 30 juta korban jiwa hingga terjadi migrasi besar-besaran.
Sikap negara yang terkesan masa bodo pada veteran juga dikritisi Ma Yan, sebab kakeknya berjuang demi negara namun hanya dihargai dengan medali, bunga mawar imitasi yang terbuat dari kertas dan seekor keledai. Hal tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan, karena sang kakek juga tidak mengenyam bangku sekolah sehingga kondisi perekonomian keluarga mereka tidak akan pernah berubah.
Jalan Menuju Pendidikan
Berjalan 20 km, menumpang traktor jika ada yang lewat, bahkan menahan lapar beberapa hari sudah menjadi hal yang biasa Ma Yan lakukan demi mengenyam pendidikan. Novel ini juga tidak melulu bercerita tentang semangat juang. Sama seperti kita, Ma Yan juga memperlihatkan sisi lemahnya, saat ia berada dalam fase putus asa dan menyerah pada keadaan. Keluargannya pun tidak selalu mendukung Ma Yan. Adakalanya mereka dihantam realita dan menuntut Ma Yan menjadi perempuan versi orangtuanya.
Walaupun cerita dibuat dramatis dan banyak pengulangan yang sebenarnya tak perlu, namun novel ini bisa dijadikan sebagai bahan bacaan untuk berbagai kalangan, terutama para pelajar.
Latar belakang ekonomi, sosial, dan budaya yang ada pada novel nyatanya memiliki beberapa kesamaan dengan kondisi pendidikan di Indonesia, khususnya masyarakat pedalaman ataupun pedesaan. Ma Yan menjadi sebuah refleksi tentang perspektif seorang anak perempuan miskin yang menuntut kehadiran orangtua dan negara atas hak pendidikannya.
***
Editor: Ghufroni An’ars