Tidak seperti Snowpiercer (2013) yang menampilkan kesenjangan kelas secara horizontal dalam sebuah gerbong kereta, atau Titanic (1997) yang menyoroti nasib penumpang di dalam sebuah kapal megah, atau yang terbaru, Us (2019) di mana realitas coba divisualisasikan dalam bentuk dunia “atas” dan dunia “bawah”, Bong Joon-ho dalam Parasite berusaha menyoroti kesenjangan sosial dalam garis vertikal dengan visualisasi yang lebih realistis tentang bagaimana si miskin dan si kaya hidup dalam skenario kapitalisme zaman modern.
Parasite bukan sebuah konsep yang baru, namun tak berlebihan jika kemudian film asal Korea Selatan ini diganjar Piala Oscar dan apresiasi positif dari berbagai kalangan lantaran memiliki sinematografi yang apik, serta sisi visualisasi yang kontras menggambarkan konflik nyata yang terjadi di masyarakat Korea Selatan dan bahkan dunia. Plot sederhana yang disajikan dan dikemas dengan ciamik oleh Bong Joon-ho menjadikan konflik kesenjangan kelas dalam Parasite benar-benar khas dan memancing kesadaran, kengiluan, decak kagum, serta pertanyaan: Apakah memang benar bahwa kehidupan nyata kita berjalan setragis itu?
Rumah yang sempit dan kumuh, kecoa yang berlompatan atau yang mendekam di dalam wadah makanan, mencuri sinyal dari tetangga, serta jemuran yang menggantung di dalam rumah adalah realitas dari kehidupan orang-orang miskin. Sedangkan rumah yang tinggi dan luas, lampu yang terang, fasilitas yang lengkap, halaman yang segar dan indah, makanan yang enak dan banyak merupakan citra dari kehidupan orang-orang kaya. Parasite, film bergenre family-tragic-comedy yang berdurasi sepanjang 132 menit berusaha menceritakan sebuah komedi tanpa badut, dan tragedi tanpa penjahat dalam kehidupan sehari-hari si kaya dan si miskin yang tinggal di satu bumi yang sama dalam realitas kelas yang berbeda.
Bau Badan dan Kemiskinan
Jika persoalan bau badan hanya dimaknai sebatas hidung dan penciuman, kita akan terjerembab pada sebuah makna sempit yaitu tentang selera wewangian. Pasalnya, persoalan bau badan memiliki makna yang jauh lebih gelap, yaitu soal kelas sosial, soal kemiskinan. Orang miskin bukan tak kepingin memiliki aroma wangi pada tubuhnya. Tetapi mereka tak memiliki kemampuan untuk memilih dan membeli jenis wewangian khusus. Persoalan wewangian bagi kelas bawah adalah persoalan yang jauh dari perhitungan ekonomi mereka. Jangankan membeli wewangian sejenis Christian Dior yang beraroma citrus, atau Calvin Klein Eternity Summer yang memiliki varian rasa, bahkan untuk persoalan perut saja, yang itu merupakan persoalan paling mendasar manusia, mereka masih sangat kelimpungan.
Persoalan lain yang lebih mendasar daripada wewangian ialah sanitasi dan air bersih. Sanitasi yang baik merupakan privilese untuk sebagian orang. Memiliki sanitasi yang baik dan akses air bersih bagi orang miskin yang tinggal di pemukiman kumuh merupakan sebuah impian yang barangkali setara dengan impian mereka memiliki rumah gedongan.
Novelis Edward Bulwer-Lytton pernah mencetuskan frasa olok-olok terkenal yang berbunyi “the great unwashed” yang menyoroti tentang orang-orang di sudut kota Britania Raya yang miskin. Bagi mereka, si miskin itu, persoalan mandi ialah persoalan yang sangat besar sehingga sulit untuk mereka dapatkan.
Parasite berusaha menceritakan kesenjangan sosial melalui elemen remeh temeh seperti masalah bau badan. Bau, layaknya cinta, bukan sesuatu yang buta, bau juga mengenal kasta. Pada adegan pertama, film menampilkan bagaimana kondisi rumah keluarga Kim. Meskipun penonton tak dapat merasakan semerbak bau busuk di dalam rumah itu melalui hidung mereka, kita dapat merasakan bahwa betapa bau tak sedap terasa di setiap sudut rumah yang tinggi jendelanya bahkan setara dengan tinggi jalan di luar rumahnya. Kaus kaki yang menggantung di ruang tamu, sirkulasi udara yang kurang baik, lubang kotoran yang berdekatan dengan ruangan lain, dan halaman depan rumah keluarga Kim yang dijadikan toilet umum oleh para pemabuk, sudah dapat kita rasakan wewangian semacam lobak busuk, bau wangur, bau pesing, bau anyir berkitar-kitar setiap hari di rumah itu.
Pada adegan lain, putra Park, Da-soong mengatakan bahwa Jessica, sopir Kim, Kevin, dan Cheung-seok sang asisten rumah tangga memiliki bau yang sama. “Bau yang sama” bagi anak sekecil Da-soong yang telah terbiasa menggunakan wewangian khusus, merupakan sebuah keganjilan. Anggota keluarga Park yang kaya itu, jelas memiliki hak dalam menentukan selera wewangiannya sendiri. Mereka bebas memilih merk parfume sendiri sesuai kehendak. Namun untuk keluarga Kim yang tengah menyamar sebagai orang lain di rumah keluarga Park, wewangian menjadi kebutuhan nomor sekian dalam catatan mereka. Karena perkataan Da-soong, sandiwara mereka nyaris terbongkar lantaran bau mereka yang sama persis.
Bau tersebut bukan saja berasal dari jenis wewangian yang sama, akan tetapi, bau yang berasal dari kemiskinan. Tempat tinggal mereka, juga cara mereka mencuci pakaian dan mandi merupakan penghasil bau alami yang melekat di tubuh mereka. Maka, persoalan bau bukanlah sekadar persoalan penciuman dan selera, tetapi lebih dari itu, ia menyangkut persoalan kelas sosial.
Tn. Park dalam adegan lain, menjadikan persoalan bau ini sebagai sebuah lelucon—yang ini kemudian menjadi asal muasal Kim merasa sakit hati. Sekitar kurang lebih 16 kali persoalan bau disebut dalam Parasite. Bau badan Kim, sebagai sopir pribadinya, ia ibaratkan serupa lobak busuk dan bau kereta bawah tanah. Bahkan, saat ia tengah bercinta dengan istrinya, ia memancing birahinya dengan mengolok-olok bau celana dalam yang merupakan milik Jesicca saat digunakan untuk menjebak sopir lama Park. Persoalan bau dalam Parasite ini kemudian yang melatarbelakangi mengapa Kim membunuh Park. Kita boleh saja mengatakan bahwa pilihan Kim menghabisi Park hanya karena alasan bau badan adalah sebuah keputusan yang konyol. Namun jauh lebih dari sebuah persoalan bau, saya menganggap, bahwa persoalan ini merupakan persoalan harga diri, persoalan kemiskinan.
Kemiskinan Struktural
Parasite menampilkan dua keluarga dengan posisi garis vertikal (stairway) yang jelas. Keluarga Kim ada pada garis bawah kemiskinan. Rumahnya berada di sebuah pemukiman semi-bawah tanah yang kumuh dan sempit. Bahkan untuk menuju ke rumahnya, Ki-woo harus menuruni ratusan anak tangga yang apabila hujan turun dengan lebat—yang bagi sebagian orang kaya, hujan ialah anugerah—rumah-rumah di pemukiman keluarga Kim mengapung bak buih di lautan. Sedangkan keluarga Park ada pada garis atas kenikmatan. Ia tidur nyenyak di sebuah rumah dengan desain interior yang artistik, ruangan yang luas dan sejuk, dan untuk memasuki halaman rumahnya nan indah itu, Ki-woo harus menaiki puluhan anak tangga. Dengan posisi garis vertikal yang tidak sejajar itulah kemudian menyebabkan dua keluarga tersebut tidak mendapatkan akses yang sama. Keluarga Park bisa makan dengan enak, terus menghasilkan pundi-pundi finansial dari pekerjaannya yang elit, memberi pendidikan yang layak bagi anak-anaknya, berlibur ke mana pun mereka mau, hingga memilih jenis wewangian apapun yang disukai. Sedangkan keluarga Kim, bisa makan dengan enak dan cukup saja sudah merupakan sebuah kebahagian yang luar biasa.
Dalam Parasite, penonton diajak menyadari sebuah ketimpangan kelas di satu tempat, yaitu rumah keluarga Park. Bong Joon-ho tidak membawa kita ke pabrik-pabrik di mana para buruh bersusah payah menyambung hidup dengan jam kerja yang panjang dan upah yang sedikit, atau sebuah kota dengan banyak gelandangan dan orang miskin di sudut-sudutnya. Wilayah privat antara pekerja dan majikan di sepanjang adegan digambarkan sebagai kesenjangan yang nyata antara si miskin dan si kaya. Bahkan pertarungan dalam mempertahankan hidup antara si miskin keluarga Kim dan si miskin asisten lama keluarga Park berada di tempat itu
Bong Joon-ho seperti ingin menampar kita bahwa hidup tidak selalu tentang hitam dan putih, baik dan jahat, benar dan salah. Lebih dari itu, hidup selalu abu-abu. Parasite juga tidak menampilkan realitas utopis manusia“yang sangat baik” melawan manusia “yang sangat jahat”. Dunia manusia dalam Parasite berjalan di rel keputusan di mana kondisi menjadi bahan bakar keputusan itu. Kita akan bingung menentukan siapa sosok antagonis dan protagonis dalam Parasite. Setiap keputusan para tokoh tidak bisa begitu saja dilabeli sekadar benar atau salah. Keputusan-keputusan yang lahir dari diri mereka merupakan sesuatu yang diyakini paling mungkin dilakukan berdasarkan fakta yang mereka punya. Keluarga Kim tidak bisa dilabeli begitu saja sebagai orang-orang jahat. Ada sejarah dan kondisi sosial-ekonomi yang melatarbelakangi perbuatan mereka. Seperti pada dialog antara Kim dan Cheung-seok, “Walau dia (istri tuan Park) kaya, dia tetap baik,” kata Kim, “Dia baik karena dia kaya,” jawab istrinya.
Dan Bong Joon-hoo sukses mengakhiri kejengkelan kita dengan adegan khayalan Ki-woo yang ingin menjadi kaya dan kelak membeli rumah bekas peninggalan Park untuk menyelamatkan ayahnya yang kini tinggal di dalam bungker rumah keluarga Park sebagai buronan. Iringan soundtrack “564” menjadi pesan satir yang secara harfiah diartikan bahwa butuh 564 tahun bagi Ki-woo untuk mewujudkan impian menjadi orang kaya dan membeli bekas rumah Park itu.