Tiga tahun menganggur, tak hanya menjadikan orangtua Buru sumpek dan bosan melihat anaknya klumbrak-klumbruk seperti jemuran setengah kering, tapi mereka juga harus melatih ketabahan menahan gunjingan tetangga.
Hari masih pagi ketika di sebuah warung kopi tak jauh dari pos ronda, sayup-sayup terdengar percakapan dua orang bapak.
“Udah lulus kuliah kok masih nganggur, ya?”
“Ya, mungkin itu pilihan Buru sendiri to Pak.”
“Milih apa? Milih kok nganggur? Anakku aja udah sampe Jakarta, tiap bulan ngirim duit.”
“Kali saja si Buru punya pekerjaan, tapi bisa digarap di rumah. Zaman sekarang kan banyak yang begitu, Pak.”
“Ah ndak percaya aku, Pak.”
“Lha, memangnya sampean sendiri kerja apa to Pak?”
“Yaa, nganggur juga sih.”
“Ya jelas wong pagi-pagi malah nongkrong di warung ngomongin anak orang.”
“Lha sampean nganggur juga to?”
“Lha iya.”
Orangtuanya sudah menyuruh Buru mengikuti tes CPNS. Dua kali ia mencoba, keduanya gagal. Mungkin karena ia setengah hari mengikutinya. Tinggi badan yang ideal sebetulnya bisa buat modal untuk mendaftar polisi atau tentara. Namun, modal fisik saja tidak cukup. Temannya, Anton, sekarang sudah menjadi bintara, dulu orangtuanya harus menjual sawah warisan agar “karcis” masuknya terbeli.
“Ya, sekarang ini apa-apa memang butuh modal, Pak.”
“Betul, Rudi yang sekarang jadi polisi, dulu bapaknya sampe jual dua ekor sapi buat ndaftarin anaknya, Pak.”
“Gak hanya tentara dan polisi, anakku mau masuk universitas aja kemaren harus ngasih enam puluh juta ke calo biar bisa langsung masuk.”
“Padahal abis lulus kuliah belum tentu dapet kerja ya, pak?”
“Ya iya sih, tapi setidaknya ngga ketularan nganggur kaya si Buru itu.”
“Tapi ngomong-ngomong soal sapi, kalo ekornya saja dijual bisa buat ndaftar polisi, cukup gak ya, Pak? Nyicil gitu maksudnya. Hahahaha. ”
“Asu!”
“Kalo asu gak laku, Pak. Hahahaha.”
Sebenarnya, Buru punya bakat dagang, dulu sewaktu SMP ia sering jual ikan cupang dan sering laris dibeli teman-temannya. Saat SMA, jualan kaus polos. Salahnya, ia kuliah mengambil jurusan filsafat. Bukan karena tertarik, tapi karena memang peluang diterima di jurusan tersebut besar dan tidak banyak orang yang berminat. Jadi ia bisa gampang masuk dan tidak perlu mengeluarkan ‘uang calo’ seperti yang dilakukan teman-temannya.
Memang, ia paham teori-teori absurd nan rumit. Namun, semua itu seperti tak ada gunanya di kehidupan nyata. Yang diinginkan orangtuanya hanya sederhana, ia bekerja dan bisa mandiri. Seperti anak-anak tetangganya.
Sekarang, bakat jualannya sudah terpendam. Ia hanya sibuk dengan buku-buku tebal. Membaca biografi tokoh-tokoh dari ratusan tahun sebelum Nabi Isa dan Nabi Muhammad lahir.
“Aku pernah ndak sengaja lihat di kamarnya Buru, banyak buku-buku tebal, Pak.”
“Aku juga pernah lihat. Sampulnya kaya gambar orang kafir.”
“Ah masa sih?”
“Beneran. Apa jangan-jangan dia udah gak seiman dengan kita ya?”
“Wah jangan asal menuduh gitu pak. Dosa.”
“Ngga menuduh, cuma hipotesa.”
Buru sudah tidak peduli dengan gunjingan tetangganya, yang ia lakukan sekarang hanyalah menjalani hari demi hari dengan caranya sendiri. Tak satupun orang yang tahu apa pekerjaannya di kamar.
Pagi itu, orang-orang di warung mendengarkan berita dari radio, bahwa banyak tenaga kerja asing asal Tiongkok yang masuk ke Indonesia.
“Lha wong orang-orang sini aja banyak yang nganggur kok malah ngambil pekerja dari luar negeri.”
“Ya, mungkin itu strategi pemerintah, untuk meingkatkan kerjasama, Pak.”
“Kerjasama opo, Pak? Jadi kuli bangunan saja aku juga bisa, gak usah ambil dari Cina.”
“Berarti di Cina juga banyak orang nganggur ya, Pak?”
“Ya pasti, tapi di sana ngga ada gorengan dan kopi item NASGITHEL.”
“NASGITHEL itu apa, Pak?”
“Panas, Legi, dan Kenthel. Hahaha.”
Saking bosannya, orangtua Buru menempel selembar kertas daftar jenis pekerjaan beserta nilai gaji per bulannya. Akuntan, 8 juta. Sales Marketing, 7 juta. Staf Keuangan, 10 juta. Pegawai Bank, 6 Juta. PNS, 3 juta. Guru, 500 ribu.
Keesokan harinya, Buru menulis judul di bagian atas daftar itu “DAFTAR HARGA MANUSIA”. Orangtuanya melihat dan hanya bisa geleng-geleng kepala.
***