Isu joki karya tulis ilmiah (KTI) kembali ramai dibicarakan. Investigasi Kompas mendapati ada banyak akademisi senior yang menggunakan joki KTI guna mengejar titel guru besar.
Penggunaan jasa joki KTI memang bukan barang baru. Mulai dari penulisan proposal penelitian, skripsi, tesis, hingga disertasi bisa diperbantukan ke orang lain alias dijokikan. Peneliti dari UCE Birmingham, Thomas Lancaster dan Robert Clarke, menyebutnya contract cheating, yakni fenomena ketika akademisi menyewa pihak ketiga untuk menyelesaikan tugas akademik mereka. Tujuannya terutama untuk memenuhi syarat kenaikan pangkat dan status kepegawaian.
Perjokian KTI menikam jantung pendidikan itu sendiri. KTI yang idealnya menjadi bukti proses intelektual di bidang akademik ternyata dengan mudahnya berubah fungsi menjadi ajang manipulasi yang berorientasi pangkat, status, dan jabatan—yang ujung-ujungnya uang. Sampai-sampai, ada lembaga yang terang-terangan membuka praktik joki seperti Rivera Publishing dan Jagoketik. Usaha joki ini pun tak segan bermitra dengan para akademisi. Kalau sudah begini, apa bedanya akademisi curang dengan polisi yang malah jadi bandar sekaligus pemakai narkoba?
Baca juga:
Akademisi yang seharusnya memelopori usaha mencerdaskan bangsa justru dengan sengaja melecehkan moral dan tanggung jawab intelektualnya. Mereka menjadi pelaku, pemakai, sekaligus penyedia produksi pengetahuan yang korup ini. Tidak mengherankan bila masalah joki ini sulit diberantas, bahkan kian langgeng dan tumbuh subur. Di tingkat bawah maupun atas atas, selalu ada saja akademisi korup. Mungkin inilah yang disebut degradasi moral intelektual tingkat akut.
Tahu Sama Tahu
Kita adalah bangsa yang terlalu sibuk berbicara teknis moral, terutama dalam pendidikan. Kita hobi meributkan tentang bagaimana membentuk, menjalankan, dan menyediakan pendidikan karakter. Kurikulum digonta-ganti. Segala jenis pelatihan diadakan. Semua itu kalau dikerucutkan akan kembali ke urusan pemanfaatan anggaran dan dana.
Namun, kita lupa kalau selama ini kita terus memakai kurikulum bayangan. Dalam pendidikan dasar, misalnya, praktik tahu-sama-tahu terus terjadi; paling sering berupa kasus penilaian terhadap peserta didik yang dilakukan secara tidak jujur. Banyak guru dan sekolah yang integritasnya melenceng. Semua siswa mereka pukul rata dalam penilaian. Semua siswa diluluskan. Semua siswa diberi ijazah kesetaraan. Semua itu dibenarkan asal tidak ada tunggakan. Dalihnya, “Kalau tidak diluluskan kasihan.”
Ketika masih ada ujian nasional pun perjokian marak. Guru-gurulah yang menjadi pemain di balik dinding. Para siswa tahu sekolah mereka menyediakan bocoran jawaban. Pengawas ujian juga tahu. Akan tetapi, semua bungkam setelah ada bincang-bincang dan amplop. Tahu-sama-tahulah mereka.
Barangkali, kalau sampai kejujuran dipraktikkan pada titik terbaiknya, reputasi guru, kepala sekolah, yayasan, pengawas, dinas pendidikan, hingga kementerian akan tercoreng. Mengapa dan bagaimana bisa banyak siswa tidak lulus?
Di sinilah politik citra bekerja. Memberi nilai baik dan meluluskan semua siswa akan menyelamatkan semuanya. Mereka sama-sama tahu bahwa ada permasalahan. Mereka juga sama-sama tahu bahwa menutupinya adalah solusi.
Apa yang terjadi di pendidikan dasar tidak beda jauh dengan apa yang terjadi di pendidikan tinggi. Berapa banyak mahasiswa yang seharusnya tidak lulus yang lulus berkat adanya remedial berbayar?
Ilham Akhasanu Ridlo, dosen Kesehatan Masyarakat di Universitas Airlangga, mengatakan bahwa banyak dosen dan pimpinan perguruan tinggi waswas apabila repository kampus dibuat terbuka. Mereka takut berbagai praktik korupsi akademik yang selama ini terjadi terkuak. Mulai dari temuan karya ilmiah mahasiswa yang memplagiat dan diplagiat karya ilmiah lain, hingga buruknya kualitas dosen pembimbing skripsi.
Bila praktik semacam itu membudaya, boleh jadi artinya kita telah gagal melakukan evaluasi dan asesmen pendidikan. Padahal, evaluasi dan asesmen merupakan tolok ukur tumbuh kembang intelektual. Bayangkan, kalau tolok ukurnya saja bermasalah, bagaimana kita bisa mendapat hasil yang akurat, apalagi benar?
Baca juga:
Marwah Evaluasi dan Asesmen
Masalah joki ini berpangkal pada rendahnya kualitas evaluasi dan asesmen. Guru, dosen, dan penjaga gawang dunia akademik sebenarnya bisa dengan mudah mendeteksi kecurangan pada hasil pekerjaan sejawat profesi dan mahasiswa mereka. Mereka paham mana yang otentik dan mana yang hasil kreasi contract cheating. Namun, mereka tidak tegas, serta masih terjebak politik citra dan kebutuhan hidup.
Selain itu, fenomena contract cheating jugalah akibat dari tiga problem kronis lain dalam dunia akademik. Pertama, kebijakan publikasi oleh pemerintah yang hanya berorientasi kuantitas. Kedua, abainya kalangan akademisi dan mahasiswa doktoral akan standar, budaya, serta norma publikasi ilmiah dan keprofesian. Ketiga, tekanan akademik terhadap mahasiswa doktoral dan akademisi yang besar untuk melakukan publikasi pada jurnal bereputasi tanpa disertai pendampingan.
Pendidikan dasar dan tinggi harus mulai benar-benar berbenah. Jangan sampai guru dan dosen justru melacurkan integritas dan intelektualitas mereka hanya untuk sesuap nasi dan jabatan prestise. Pemerintah sebagai pelaksana undang-undang pun tak boleh lebih sibuk membangun citra politik ketimbang mengadakan evaluasi dan asesmen pendidikan yang jujur, baik, tegas, dan bermoral.
Editor: Emma Amelia