“Curah hujan yang tinggi akan diawali dengan udara malam sampai pagi hari terasa gerah hingga panas, pada satu hari sebelumnya. Pukul sepuluh pagi akan muncul awan cumulus—awan putih berlapis-lapis. Disusul dengan awan yang batas tepinya sangat jelas berwarna abu-abu, menjulang tinggi seperti bunga kol. Akan hadir pula embusan udara dingin di tengah hawa yang gersang.”
Aku masih merasakan cuaca terik tak berawan dalam hatiku saat kamu beberapa hari lalu meramalkan hujan deras disertai badai akan membatalkan semua rencana kita. Dalam siaran prakiraan cuaca yang tayang selama enam puluh detik itu, kamu mengatakan curah hujan akan tinggi di pertengahan Januari ini. Silakan membawa payung, dan jika memungkinkan gantilah aktivitas di luar ruangan menjadi di dalam ruangan, dan tetaplah jaga kesehatan.
Wahai Tuan Peramal Cuaca, kamu berbohong! Nyatanya tidak terjadi hujan sepekan terakhir ini. Aku menatap langit biru kosong dan membatin.
Selalu, kamu akan merasa telah mengecewakan orang-orang jika perkiraan cuaca yang kamu kabarkan meleset. Apa yang salah dengan BMKG akhir-akhir ini? Apakah alat mereka kurang canggih? Atau polusi udara yang kian meningkat menyebabkan iklim cuaca menjadi tidak beraturan, sehingga semakin pelik untuk ditebak? Kamu mulai berspekulasi, berlindung agar tidak disalahkan sendirian.
Seharusnya kamu tidak perlu khawatir tentang ramalan cuaca yang meleset. Di negeri tuna-aljabar yang tidak terbiasa membicarakan statistik, bubar saat membahas yang deterministik, apalagi yang stokastik ini, orang-orang tidak begitu peduli terhadap ramalan cuaca. Lebih seru menonton drama linimasa. Atau menyimak gosip artis idola. Dan sepanjang hari berdebat tentang politik atau agama, sembari meyakin-yakinkan diri bahwa perihal cuaca dan penyebab utama bencana adalah kelompok minoritas gender dan seksual belaka. Jadi, maksudku, kamu tidak perlu merasa mengecewakan banyak orang, sebab tidak ada yang paling ahli membuat orang-orang itu kecewa selain diri mereka sendiri.
Namun, kamu terus mengeluh, lantaran beberapa hari terakhir ini ada pesan singkat yang kerap kamu dapat dari seseorang yang tidak kamu kenal tatkala ramalan cuacamu keliru. Kamu bahkan menandai nomor pengirim pesan makian itu dengan nama “Tukang Protes”. Pesan itu pernah berisi perkataan kasar yang mengatakan karena ramalan cuacamu yang keliru, dia harus berepot-repot membawa payung, pedahal hujan tidak turun. Pernah pula dia menggerutu kebasahan saat sampai di kantornya karena percaya padamu yang mengatakan jika hari akan cerah berawan, padahal hujan turun begitu deras.
Aku menahan tawa, dan hanya memberikanmu nasihat untuk menghubunginya guna meminta maaf.
“Aku berusaha, tetapi panggilanku tidak pernah diangkat,” kamu menghela napas murung.
***
Malam ini hujan turun deras.
Seperti katamu, ini hujan pertama di awal tahun. Aku menatap keluar melalui jendela kamar. Udara dingin, sesekali datang kilat dan gemuruh petir. Langit begitu pekat, padahal aku ingin melihat cahaya bulan malam ini. Kamu pun berjanji ingin melihatnya bersama-sama denganku, tetapi di luar sedang hujan. Kamu tak bisa datang.
Besoknya, kamu mendatangiku dengan wajah cemberut. Sebelum aku bertanya, kamu telah menyodorkan ponselmu. Tertera di layar sebuah pesan berisi kata-kata kasar, meyalahkanmu atas hujan yang turun tadi malam. Kamu jengkel lantaran bukan karena ramalan cuacamu salah, tetapi ramalan cuaca yang tepat pun tetap dianggap sebagai kecerobohan. “Dasar Tukang Protes!” Keluhmu.
Aku menepuk-nepuk pundakmu, berusaha menghibur.
“Kalau dia tidak mengangkat saat ditelfon, coba saja di-SMS. Tanyakan apa masalahnya?” Saranku.
Kamu menuruti saran praktis dariku itu. Lalu tak lama kamu dapat balasan. Balasan yang lebih parah lagi. Tukang Protes mengancam jika nanti malam turun hujan, kamu akan berada dalam masalah besar. Karena makin jengkel, kamu membalas pesan itu dengan kalimat mengancam yang tak kalah mengerikan, bahwa nanti malam akan ada thunderstorm yang secara khusus menghantam kediaman Tukang Protes lengkap dengan badai, guntur, beserta kilat yang menyambar-nyambar. “Mampus kau!” Lalu kamu membating ponselmu di hadapanku. Aku bergidik sambil menahan senyum.
Nyatanya tidak terjadi thunderstorm, seperti apa yang kamu sumpahi, yang ada hanya gerimis singkat pada tengah malam. Dan kamu menghubungiku, bilang jika Tukang Protes mengirim pesan berisi ancaman lagi. Kamu pun mulai terganggu, merasa risih, dan semakin kesal. Aku berupaya menenangkanmu, dan memberikan keyakinan jika barangkali itu hanya ulah orang jahil yang tidak punya kerjaan. Namun, kamu mulai khawatir kalau-kalau ancaman-ancaman itu bisa benar terjadi. Bagaimana mungkin ada orang yang sebegitunya membenci hujan? Bahkan sekadar gerimis dapat membuat orang memaki-maki dan mengancam sebegitu parah.
Lalu aku bertanya, “Wahai Tuan Peramal Cuaca, di negeri yang mengenal salju, apakah hujan masih dimaknai penting bagi orang-orang?” Sengaja kutanyakan itu untuk membawamu mengganti fokus pembicaraan dan membuatmu tenang.
Kamu merespons lama. Sempat hening menggantung di udara beberapa saat. “Kalau benar di sini turun salju, bagaimana?” Ucapmu. Kamu bergumam sesaat lalu menjawab sendiri pertanyaanmu: “Kupikir akan seru. Aku juga penasaran bagaimana rasanya salju. Apakah bisa dibuat es campur? Es campur terlalu ribet, es serut tinggal tambah sirup Marjan!” Itu gurauan lucu, meskipun jika salju benar turun di negeri beriklim tropis dengan dua musim bisa berarti sebagai pertanda buruk yang serius.
“Menurutku tidak bisa.”
“Mengapa?”
“Salju rasanya asin, kata temanku yang di Amerika.”
“Mungkin salju di Amerika memang rasanya asin.” Katamu. “Bagaimana dengan salju di negera lain?”
“Aku tidak tahu, temanku cuma ada di Amerika.”
Dan percakapan tengah malam di antara gerimis itu, diisi dengan kita yang larut dalam membahasan bagaimana rasanya salju di tiap-tiap negeri dilihat dari berbagai kemungkinan.
***
Di malam yang lain, kita tetap tidak dapat melihat cahaya bulan. Akhir Januari hujan lebih sering mengguyur di malam hari. Pedahal peristiwa di langit malam bulan Januari akan menampakkan banyak fenomena mengagumkan, yang bagiku sungguh ajaib! Di antaranya: (1) Komet 45P di Perihelion. (2) Konjungsi planet Venus dengan Bulan. (3) Konjungsi planet Mars dengan Bulan. (4) Puncak hujan Meteor Quadrantid. (5) Bumi di Perihelion. (6) Merkurius di puncak kecerlangannya. (7) Bulan purnama. (8) Venus di sudut elongasi tertinggi. (9) Konjungsi planet Saturnus dengan Bulan.
Dan karena hujan aku jadi tidak bisa melihat semua keindahan-keindahan itu. Kurogoh ponsel dalam saku celanaku. Mengetik pesan singkat yang lalu kukirim padamu: kapan sih, malam akan cerah? Ponselku bergetar. Bukan balasan pesan darimu, tetapi panggilan darimu. Begitu aku menekan tombol hijau menerima panggilan, yang kudengar adalah deru napasmu yang terengah-engah, seperti kamu sedang berlari. Kamu hendak mengatakan sesuatu, tetapi napas yang tidak beraturan membuat bicaramu memburu satu-satu, ditambah lagi deras hujan mengaburkan suara.
“Ada apa? Kenapa? Kamu di mana?” Kejarku khawatir.
“Sese….seseorang mengikutiku.” Suaramu putus-putus dari sebrang telepon.
“Kamu di mana?” Seketika aku menjadi panik.
“Di …..jalan… pu….lang dari… kantor!”
“Aku ke sana sekarang!!!”
Segera aku berlari keluar rumah. Tanpa jas hujan ataupun payung. Aku tidak peduli lagi dengan hujan. Di pikiranku tinggal kamu yang berlari terengah-engah, dikejar-kejar seorang yang tidak kamu kenal. Benarkah itu Tukang Protes yang kerap mengirimi kamu pesan singkat berupa makian? Apa yang akan dilakukannya terhadapmu? Benarkah ancamannya? Jangan-jangan dia mendatangimu dengan membawa senjata tajam atau pistol atau pemukul kasti. Jangan-jangan kamu akan diculik, dibawa ke satu tempat terpencil lalu diperkosa dan dimutilasi, sebab si Tukang Protes ternyata adalah psikopat! Haduh! Betapa ketakutannya kamu sekarang. Betapa risau perasaanku. Atau… ternyata kamu sedang bercanda. Segalanya cuma gurauan. Kamu memang sering mengerjaiku. Bisa saja ternyata kamu kini sedang di rumah menatapi hujan dari jendela kamar dan aku tertipu. Atau sebenarnya, semua ini hanya khayalanku?
Aku menyetop taksi, kusuruh Pak Supir melaju cepat menuju kantormu. Aku harus segera sampai seperti hujan awal musim yang mengguyur tiba-tiba. Aku harus segera sampai bagaimana pun caranya. Tak peduli jika ini semua hanya khayalanku, atau hanya candaanmu, atau kenyataan yang sesungguhnya terjadi.
Dalam hati, aku mengutuki Tukang Protes itu. Lalu teringat bahwa aku pun sempat berperilaku serupa dengannya. Menyalahkan kamu atas cuaca yang terjadi. Lantaran aku yang tidak bisa melihat bintang-bintang dan cahaya bulan di langit malam. Aku menggerutu padamu, bertanya kapan malam akan cerah. Sesekali aku juga pernah mengirim pesan protes terhadap siaran cuacamu yang sering meleset. Aku mengutuki Tukang Protes dan mengutuki diriku sendiri.
Kian lama hujan kian deras. Makin lebat dan menebal. Kupinta Pak supir melaju lebih cepat lagi, tetapi dia mengatakan sudah dalam kecepatan maksimal, dan tidak mungkin lagi melaju lebih cepat dalam keaadaan hujan deras yang memburamkan pandangan.
Aku berupaya menghubungi ponselmu, tetapi gagal, kamu tak kunjung mengangkat panggilanku. Kubuka kaca jendela taksi, mengamati jalan kalau-kalau melihatmu. Pak Supir menegur sebab tempias air hujan masuk. Aku tidak peduli. Air yang dibawa angin seperti menggantarkan baumu. Bau yang tidak luntur oleh hujan. Aroma yang murup naik ke atas, bersamaan hujan menghujam turun ke bawah. Aromamu yang tidak terbilas hujan bahkan angin. Bukan uap tanah basah, tetapi aroma yang hadir dari dimensi lain. Aroma yang begitu kental, sehingga hujan tidak bisa menyembunyikannya.
Aku merasa tubuhku menggigil dan kamu seolah ada di dekatku.
Hujan mendadak bisu. Angin telah diam. Ponselku bergetar menunjukkan tanda pesanku telah terkirim: kapan sih malam akan cerah?
*****
Editor: Moch Aldy MA