14 Februari 2022 kanal YouTube Vindes menayangkan obrolan bersama Fiersa Besari. Seperti biasanya percakapan selalu diakhiri dengan pertanyaan playlist lagu favorit yang lagi didengar sang bintang tamu. Setelah Sheila On 7, lagu yang lagi didengar Fiersa adalah karya Soegi Bornean.
Itulah pertama kali saya mendengar nama Soegi Bornean. Nama ini mungkin sengaja digunakan untuk mewakili jenis musiknya; yaitu campuran dari musik Jawa dan Kalimantan. Benar saja, mereka acap memadukan notasi-notasi Jawa dan Kalimantan. Seperti mendengar gamelan Jawa dan Sape yang “diterjemahkan” dengan bahasa gitar akustik.
Setelah nonton obrolan Vindes, saya kemudian mendengarkan lagu-lagu Soegi Bornean. Lagu teratas di kolom pencarian adalah hits Asmalibrasi.
Asmalibrasi adalah campur kata dari asmara dan kalibrasi. Bisa jadi diksi ini dipilih agar terdengar lebih sastrawi. Setelah mendengar lagu ini, kesan pertama saya adalah notasinya unik, musik sederhana, ada nuansa etnis dan liriknya rumit.
Iya, lirik lagu ini rumit. Banyak diksi non-familiar yang dipakai. Dan ini yang di kemudian hari menjadi perbincangan warganet. Beberapa hari ini lirik Asmalibrasi ramai dibincangkan di jagat maya. Ada yang memuji setinggi langit, tapi tak sedikit yang menganggap lirik Asmalibrasi hanyalah permainan kata-kata yang pretensius agar terkesan sastrawi semata.
Ulasan menarik ditulis di utas Twitter oleh akun @Pak_Irv. Nama aslinya Ivan Karta. Seorang komika yang kebetulan dosen kimia. Ia menganalisis kata asmara dan kalibrasi dengan pisau analisis sains. Dengan mempertanyakan apa satuan cinta? Bagaimana mengukur cinta? Semakin rumit memang.
Sepertinya utas dari Ivan Karta ini yang memancing diskusi lirik Asmalibrasi mencuat kencang. Tercatat sudah 3,2 juta kali tayangan, 5.130 Retweet, 2.234 Kutipan, dan 21.000 Suka melekat di utas tersebut. Banyak yang mendukung dan tercerahkan, tapi banyak pula yang semakin bingung. Maklum, banyaknya istilah sains dalam utas Irvan Karta tampaknya juga sebanding dengan banyaknya diksi “aneh” dalam lirik lagu Soegi Bornean itu.
Sejak awal penilaian saya pada Asmalibrasi yaitu; lagunya secara keseluruhan bagus, musiknya bagus, liriknya kurang. Laiknya sebuah lukisan abstrak, lirik lagu ini seperti memainkan kosakata langka yang ujung-ujungnya sekadar mencari rima. Kurang tegas dalam mengungkapkan pikiran. Apakah lirik lagu harus tegas? Tentu tidak. Namun, menurut saya pesan yang subtil dalam lagu ini tidak bisa sampai kepada saya hanya dengan pendekatan estetika rima.
Setelah mendengar lagu ini biasanya akan disusul pertanyaan; Apa maksud lagu ini? Yang lumayan mudah ditangkap maknanya yaitu pada bagian chorus.
“Jadikan hanya aku satu-satunya. Sang garwa pambage Sang pelipur lara. Nyanyikanku kidung setia.”
Semacam permintaan kepada pasangan agar dirinya dijadikan satu-satunya. Sebagaimana fitrah manusia yang ingin selalu diistimewakan.
Tidak adil memang jika menilai lirik Asmalibrasi dengan kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar ala Ivan Lanin, yang harus ber-SPOK. Harus jelas subjeknya, harus tegas objeknya, dan harus berkaidah ketika menggunakan tanda titik, koma, dan tanda seru.
Lirik lagu punya cara sendiri dalam menentukan kaidahnya.
Ketika dibaca berulang-ulang, terutama bagi orang dengan tingkat literasi sastra masih di strata bawah (misal: saya), memang lirik Asmalibrasi cukup mampu membuat dahi mengernyit. Dari judulnya sudah menjadikan kita berpikir. Setelah dibaca seluruh liriknya, memang dalam lagu ini Fanny Soegi tampak menggunakan semua kosakata sastrawi. Terkesan terlalu banyak diksi “aneh” yang dipaksakan. Ibarat orang baru belajar pencak silat, semua orang diajak berkelahi dan mengeluarkan semua jurus.
Terlepas dari itu semua, menjawab pertanyaan “apakah lirik lagu harus bermakna lugas dan harus runut agar mudah dipahami? Jawabannya tidak selalu. Penulis lirik bebas menuliskan liriknya. Penulis lirik punya cara untuk mencurahkan isi hati dan kepalanya tentang keresahannya. Namun, bebas itu biasanya selalu diiringi dengan bersyarat.
Syarat apa yang harus dipenuhi? Salah satunya harus mau dan mampu menanggung beban perbincangan warganet yang kerap bahasanya pedas dan keras. Banyak yang menyanjung, dan banyak pula yang mengolok. Dari sini diuji sejauh mana Soegi Bornean mempertahankan “tesis” diksi-diksi sastrawinya sebagai sebuah pilihan menulis lirik yang khas.
Munculnya Soegi Bornean ke kancah musik nasional setidaknya manandakan pergeseran selera industri musik Indonesia. Musik gado-gado dan lirik njlimet ala Soegi Bornean ternyata mendapat tempat yang cukup di hati masyarakat. Mereka sangat eksis mengisi panggung-panggung festival musik, kampus maupun umum. Interpretasi yang beragam merupakan bagian dari keberhasilan lirik mereka dalam mengusik dan mendobrak pakem arus utama musik Indonesia.
Ingatkah Anda kapan terakhir kali sebuah lirik lagu dibahas habis dengan berbagai pendekatan? Tentu hal itu jarang terjadi, kecuali di kelas sastra dan sejenisnya. Asmalibrasi membawa tren interpretasi makna teks pada masyakarat yang lebih umum: pendengar musik.
Fenomena ini setidak-tidaknya dapat dilihat sebagai kemajuan kualitas pendengar musik Indonesia. Pendengar lebih kritis dalam menikmati lagu. Bahwa sebuah lagu memiliki unsur musik dan lirik yang keduanya sama-sama penting untuk menyampaikan perasaan, emosi, serta nilai-nilai. Respon terhadap Asmalibrasi adalah tanda bahwa apresiasi seni masyarakat masih ada dan tetap menyala.
Pengkajian seni sendiri memang punya aturan baku, tapi karya seni sendiri selalu mendobrak kebakuan yang ada. Ia bebas sebebas pikiran senimannya. Penulisan lirik tak harus mengikuti pola yang ada. Ia boleh ditulis samar-samar, mengambang, bermetafora, bahkan tak jarang terkesan tanpa makna apa-apa. Justru itulah kekhasan karya seni. Bilangnya begini maksudnya begitu, kata Sapardi.
***
Editor: Ghufroni An’ars