Setiap mahasiswa dari berbagai zaman tentu memiliki beban dan rasa lelahnya masing-masing. Sama halnya seperti mahasiswa masa kini. Sudah pegal-pegal kuliah daring, masih juga harus dibebani mendandani CV demi tampil lebih percaya diri ketika sudah lulus. Bayang-bayang masa depan soal ketatnya persaingan di dunia kerja juga jadi bahan overthinking muda-mudi tiap malam. Mau tidak mau, suka tidak suka, magang memang menjadi opsi paling pas untuk menambah pengalaman, memperluas relasi, mempersiapkan amunisi sebelum terjun langsung ke medan perang yaitu fase berbahaya yang kerap dijadikan guyon ‘budak korporat’.
Baca Editorial:
Budaya untuk merias CV sampai menor dan kebut-kebutan mengisi LinkedIn ini tampaknya dimulai ketika muncul begitu banyak perusahaan, instansi, dan platform berbasis digital yang membuka unpaid internship dengan iming-iming sertifikat yang bisa dilampirkan di CV, pengalaman kerja, dan janji jam kerja yang fleksibel. Sayangnya, jarang ada yang menyadari bahwa hal tersebut dapat berpotensi menjadi celah bagi perusahaan yang punya banyak akal untuk memanfaatkan para pemagang yang masih imut nan menggemaskan itu sebagai tenaga kerja murah—paling banter diberi uang saku atau ganti makan dan transportasi. Padahal, bisa jadi jam kerja yang diberikan sama persis seperti karyawan tetap yang minimal mengantongi gaji UMR.
Alasan pertama mengapa magang adalah eksploitasi tenaga terselubung adalah tidak adanya payung hukum yang kuat untuk melindungi pemagang yang rentan dijejali pekerjaan yang bukan bagiannya, mendapat waktu istirahat yang tidak ideal, dan pendapatan yang tidak sesuai dengan kinerja yang telah dikerahkan untuk perusahaan. Dalam hal ini, magang dan eksploitasi memang dapat dibedakan sesimpel mengidentifikasi tujuannya.
Ada beberapa kasus mahasiswa yang memang tidak masalah tidak menerima upah dan lebih memilih melanjutkan magang atas alasan akademis (mengasah kemampuan plus beradaptasi dengan pekerjaan yang digelutinya), tetapi kita tidak bisa memungkiri bahwa mahasiswa yang demikian adalah mereka yang memiliki privilese sehingga tidak perlu pusing-pusing menutup biaya hidup yang dikeluarkan. Meski hal itu tentu sah-sah saja, sayangnya akan sangat bahaya jika dibiarkan. Lama kelamaan dapat memicu pemahaman baru dan menimbulkan normalisasi tenaga kerja gratisan.
Di sisi lain, calon pemagang yang tidak punya privilese justru cenderung semakin minder dan masa bodoh soal upah. Mereka akan tetap melamar dengan harapan meski tidak menghasilkan uang, setidaknya cukup oke untuk tambahan CV. Mereka tidak memikirkan kalau janji manis jam kerja yang fleksibel ternyata bisa menjadi bumerang untuk bekerja lebih dan lebih melampaui batas waktu yang ideal.
Sementara, saat ini ada banyak mahasiswa baru yang ambisius dan tidak sabar untuk ‘mencicipi’ pengalaman ini dengan mengikuti kerelawanan, kepanitiaan, kegiatan sana-sini, yang tentu saja disebabkan oleh rasa insekuritas dan cemas jika suatu saat nanti mereka tidak punya cukup sertifikat untuk menunjang karir mereka di dunia kerja. Membuat ‘akun ambisi’ atau ‘college acc’(akun kuliah) khusus mengunggah twibbon sebagai prasyarat lomba, webinar, beasiswa, volunteer, hingga magang juga sedang menjadi tren di kalangan mahasiswa, khususnya para pemburu sertifikat. Inilah alasan kedua mengapa magang yang seharusnya menjadi wadah untuk eksplorasi kreativitas di dunia kerja justru menjadi seperti kejar tayang — yang tentunya bersifat eksploitatif sekali. Apa tidak lelah? Bukankah terlampau produktif (burnout) justru tidak membuat sertifikat itu menjadi parameter yang valid untuk bukti kecakapan kerja?
Baca juga: Kita Butuh Cinta dan Healing
Alasan ketiga mengapa magang lebih mirip dengan eksploitasi tenaga kerja adalah kerangka hukumnya yang sudah usang. Permasalahan soal magang ini sebenarnya mengacu pada Pasal 12 ayat (1) Permenaker No. 36 Tahun 2016 tentang hak-hak peserta magang: memperoleh fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja, uang saku, perlindungan dalam bentuk jaminan kecelakaan kerja dan kematian, dan sertifikat. Selanjutnya, ayat tersebut menyebutkan bahwa uang saku peserta magang terdiri dari biaya transport, uang makan, dan intensif. Peserta magang juga tidak diperbolehkan untuk kerja lembur, bekerja di hari libur resmi, dan malam hari.
Sekilas, permasalahan ini mirip dengan kasus bunuh diri pekerja magang Oh Soo Yeon dalam Drama Korea Hush (drama slice of life tentang jurnalis yang menceritakan kebobrokan media, terutama eksploitasi reporter magang dengan membuat artikel hasil copy paste dari situs lain dan judul yang clickbait). Oh Soo Yeon ini diceritakan sebagai satu-satunya reporter magang yang tidak diterima sebagai reporter tetap di Harian Korea hanya karena dia merupakan lulusan universitas daerah dan berasal dari prodi yang kurang relevan dengan pekerjaannya, padahal pengalaman magangnya lebih banyak daripada pemagang yang lain.
Oh Soo Yeon akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya karena depresi dan pemakamannya penuh dengan banyak simpati dari pekerja magang di seluruh kota yang membaca surat terakhirnya di media dengan judul: No Gain, No Pain. Ya, tak ada hasil dan tak ada derita. Nantinya surat ini akan terkenal sebagai slogan dalam protes massa dan unjuk rasa di depan gedung-gedung perusahaan.
Korban eksploitasi selama magang ini tentu tidak hanya terjadi di Korea, apalagi drama. Realitanya, masih ada begitu banyak pemagang yang nasibnya terpaksa tetap bekerja dengan bayaran rendah karena sulitnya mencari instansi. Lantas, apa solusi dari eksploitasi terselubung pemagang yang tengah menjamur ini? Tentu saja dengan memilah instansi, mana yang lebih manusiawi dan rasional. Contoh kecilnya mungkin program magang Kampus Merdeka dari Kemendikbud—setidaknya karena resmi, lebih terstruktur, dan ada undang-undang yang melindunginya
Jangan terburu-buru. Dunia kerja memang selalu menghantui bagai tagihan ibu kos, tapi bekerja terlalu berlebihan tentu tidak sehat untuk tubuh dan mental. Untuk pemerintah sendiri, mengingat adanya perubahan sekaligus penyesuaian gaya kerja ketika pandemi, barangkali merevisi peraturan terkait permagangan adalah langkah awal yang baik. Kita tidak mau, kan, ada ‘Oh Soo Yeon lain’ yang menggantungkan hidupnya dari uang hasil magang yang tidak seberapa itu?