“Saya kira ke depan kita harus tambah tanam kelapa sawit, enggak usah takut apa itu katanya membahayakan deforestasi.”
Ujaran Presiden Prabowo Subianto dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) pada akhir tahun 2024 tersebut merupakan salah satu manifestasi dari Prabowonomic yang disasarkan pada paradigma usang antroposentrisme. Paradigma ini memandang manusia sebagai pusat alam semesta. Paradigma ini memandang hanya manusia yang punya nilai. Alam hanya alat bagi pemuasan kepentingan ekonomi manusia.
Di hampir setiap era pemerintahan muncul istilah terkait model pembangunan ekonominya. Di era Presiden Habibie ada istilah Habibienomic, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ada istilah SBYnomic, di era Presiden Jokowi ada istilah Jokowinomic, begitu pula di era Presiden Prabowo Subianto, mulai dikenalkan istilah Prabowonomic.
Demi Pertumbuhan Ekonomi 8%
Menurut Anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sukamta, istilah Prabowonomics ditandai dengan kebijakan pembangunan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi mencapai 8%. Tidak ada yang salah dengan kebijakan pembangunan yang menyasar pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Persoalannya bagi publik adalah dengan cara apa pertumbuhan ekonomi sebesar 8% itu akan dicapai? Cara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8% itu penting bagi publik karena akan menentukan letak kepentingan publik dalam kebijakan pembangunannya.
Baca juga:
Untuk menjawab kedua pertanyaan itu kita perlu terlebih dahulu menjawab cara yang akan ditempuh Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% itu. Untuk mengetahuinya, publik perlu menelisik berbagai pidato Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan.
Dalam pidato pertamanya saat menjadi Presiden Indonesia, Prabowo Subianto mengungkapkan setidaknya dua cara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Pertama, melanjutkan kebijakan hilirisasi mineral kritis (nikel) yang sudah dimulai oleh Presiden Joko Widodo. Kedua, Prabowo Subianto akan menekankan pada swasembada pangan dan energi.
Dari kacamata ekonomi pengelolaan sumberdaya alam (SDA), kedua cara Prabowo Subianto dalam mencapai pertumbuhan ekonomi itu adalah bagian dari model pembangunan ekstraktif, model pembangunan yang mengandalkan pengerukan SDA di Indonesia. Hilirisasi nikel misalnya, bertumpu pada penambangan nikel di hulunya. Pertanyaannya, bila dilihat dari kacamata ekonomi SDA, bagaimana penambangan dan hilirisasi nikel dilakukan?
Hilirisasi Nikel dan Persoalan yang Ditimbulkan
Hilirisasi nikel sejak dari hulunya (proses penambangannya) menimbulkan persoalan lingkungan hidup. Salah satu kawasan tambang nikel itu ada di Wawonii. Sejak kedatangan perusahaan tambang nikel di pulau itu, lingkungan hidup di pulau kecil itu dalam bahaya.
Mata air di Wawonii banyak yang rusak setelah tambang nikel beroperasi. Sebelum perusahaan tambang Nikel beroperasi di pulau kecil itu, penduduk bisa menikmati air bersih untuk kegiatan mereka sehari-hari, dari minum, mandi, hingga mencuci. Setelah tambang nikel beroperasi di kawasan itu, mereka menjadi kesulitan menggunakan air bersih.
Bukan hanya air bersih yang langka di Wawonii, udara bersih juga menjadi persoalan serius setelah perusahaan tambang nikel beroperasi di pulau kecil itu. Debu-debu yang dihasilkan dari operasional tambang tidak hanya mencemari udara, tetapi juga telah merusak berbagai macam tanaman penduduk lokal. Kerusakan tanaman ini berujung pada penurunan produksi dari kebun mereka. Akibatnya, pendapatan mereka menurun drastis bila dibandingkan sebelum tambang beroperasi di pulau tersebut.
Nasib Swasembada Pangan dan Energi
Bila hilirisasi nikel sudah bermasalah dari sisi ekologis di hulunya, bagaimana dengan swasembada pangan dan energi? Swasembada pangan dalam Prabowonomic didasarkan pada pengembangan pertanian skala besar seperti food estate. Pertanian pangan skala besar ini membutuhkan lahan yang luas. Dampaknya, food estate berpotensi mengubah bentang alam dan juga mengalihfungsikan hutan. Bukan hanya itu, proyek pertanian skala besar ala food estate ini juga rentan menimbulkan konflik agraria dengan masyarakat lokal.
Baca juga:
Lantas, bagaimana dengan swasembada energi dalam Prabowonomic? Dalam pidato pertamanya, Prabowo Subianto menyebutkan bahwa swasembada energi yang digagasnya berpijak pada sumber batu bara dan pengembangan energi terbarukan skala besar seperti biofuel dan panas bumi (geothermal).
Batubara adalah energi kotor, yang bukan hanya merusak alam saat proses penambangannya (di hulunya) namun juga menimbulkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) saat pembakarannya (di hilirnya). Bukan hanya itu, di hulu dan hilirnya, batu bara juga menimbulkan konflik agraria dengan masyarakat lokal.
Sementara biofuel dalam Prabowonomic berasal dari sawit, tebu, dan singkong. Seperti halnya food estate, proyek biofuel ini juga memerlukan lahan skala besar sehingga berpotensi merusak alam dan menimbulkan konflik agraria dalam implementasinya di lapangan. Pengembangan biofuel ini juga mengancam keanekaragaman hayati karena berbasis pertanian monokultur, pertanian yang hanya menanam satu jenis tanaman.
Sumber energi berikutnya yang diungkapkan Prabowo Subianto dalam pidatonya adalah geothermal. Masyarakat lokal di hampir setiap lokasi geothermal menentang proyek ini. Masyarakat lokal menilai proyek geothermal akan merusak lingkungan hidupnya dan juga menutup akses mereka dari sumber-sumber kehidupannya.
Di Poco Leok, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Proyek geothermal yang rencananya mendapatkan pendanaan dari Bank Pembangunan Jerman, Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW), mendapat penolakan dari warga setempat. Di awal Oktober 2024, aksi protes warga bukan hanya berujung pada kekerasan terhadap masyarakat lokal. Sebelumnya, di Wae Sano, Bank Dunia menarik diri dari pembiayaan proyek yang mendapat penolakan warga sekitar itu. Salah satu alasannya, proyek geothermal di Wae Sano, NTT tidak memenuhi aspek Free, Prior and Informed Consent (FPIC), yang menjadi standar baku proyek Bank Dunia.
Paradigma antroposentrisme Prabowonomic memiliki risiko sosial dan ekologi yang besar. Selagi kekuasaan Prabowo Subianto belum genap berusia setahun, publik perlu mulai memberikan koreksi secara mendasar terhadap Prabowonomic. Jika lebih dari setahun, konsep Prabowonomic akan sulit dikoreksi meskipun praktiknya mungkin akan merugikan kepentingan publik.
Publik perlu mendorong paradigma ekosentrisme untuk menggantikan paradigma usang antroposentrisme dalam Prabowonomic. Paradigma ekosentrisme ini memandang tidak hanya manusia yang memiliki nilai, tetapi juga ekosistem (baik yang hidup maupun mati). Konsekuensinya, keberlanjutan ekosistem menjadi pijakan dalam model pembangunan. Tanpa pergeseran paradigma dalam Prabowonomic, lingkungan hidup hanya akan menjadi tumbal pertumbuhan ekonomi 8%.
Editor: Prihandini N