Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya

Melihat Konstruksi Kuasa dan Memori dalam Infrastruktur

Muhammad Haidar Sabid A

4 min read

Infrastruktur “hidup” di antara materialitas dan simbolisme; antara keteraturan teknologis dan medan konflik ideologis. Infrastruktur bertindak tidak hanya sebagai jaringan yang menyokong kehidupan, tetapi juga menyusup sebagai manifestasi kekuasaan yang subtil dan sering kali tidak terlihat.

Seperti yang dicatat oleh Star dalam The Ethnography of Infrastructure (1999), infrastruktur sering kali bekerja dalam ketidakterlihatan. Artinya, materialitasnya—sifat fisik, keberadaan, atau esensi kebendaannya—sering kali tersingkir ke latar belakang dalam interaksi sehari-hari manusia dengan dunia, sehingga ia tampak sebagai sesuatu yang “biasa” atau tidak terlihat. Meskipun tidak terlihat, bukan berarti ia netral. Lebih dari itu, ia adalah perangkat kekuasaan yang bekerja secara simultan dalam ruang dan waktu.

Sejatinya infrastruktur sarat dengan muatan politis. Ia mengatur bagaimana kita bergerak, bagaimana kita berinteraksi, atau bahkan bagaimana kita mengingat. Infrastruktur bukanlah sekadar material yang membentang—jalan, saluran air, rel kereta api, atau menara pemancar sinyal. Tidak. Ia adalah tubuh-tubuh politik yang diam-diam (atau secara vulgar) menyusup dalam kehidupan sehari-hari, mengatur pola gerak dan cara bertahan hidup manusia.

Bagaimana jika infrastruktur menjadi rusak? Ketika, misalnya,  jalan berlubang atau listrik padam, infrastruktur mendadak menjadi terlihat—ia dan segala kebendaannya mendadak muncul dari panggung belakang. Gangguan tersebut membuka apa yang Star (1999) sebut sebagai breakdown moment—momen ketika infrastruktur, yang biasanya tak terlihat, mendadak menjadi subjek perhatian. Di sini, kekuasaan tetap bekerja: siapa yang berhak untuk memperbaiki? Siapa yang dilibatkan dalam prosesnya? Lagi-lagi kekuasaan hadir dalam bentuknya yang lebih subtil—melalui kontrol atas akses dan pemeliharaan.

Infrastruktur dan Kekerasan oleh Negara

Infrastruktur juga merupakan suatu perkara yang menjembatani negara untuk memilih “siapa yang hidup dan siapa yang mati”. Ambil contoh jalan raya. Sebagai jalur transportasi, ia adalah simbol “modernitas” dan “kemajuan”. Akhirnya, sebagai instrumen kemajuan, ia merupakan instrumen eksklusi yang menggusur hal ihwal yang dianggap mencegah kemajuan; ia meminggirkan hal-hal yang dianggap sebagai simbol kemunduran.

Negara sering kali melakukan pendekatan represif  untuk melancarkan pembangunannya. Maka tesis tentang betapa sentralnya kekerasan (violence) dalam negara, patut dipertimbangkan dalam membaca pembangunan infrastruktur.

Baca juga:

Pembangunan infrastruktur sering kali memiliki konsekuensi yang mahal. Berdasarkan laporan tahunan Konsorsium Perubahan Agraria (KPA), tercatat 241 konflik agraria dengan 135.608 kepala keluarga (KK) terdampak. Dari jumlah tersebut, 12% di antaranya disebabkan oleh pembangunan infrastruktur, termasuk Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diinisiasi pemerintahan Joko Widodo (KPA, 2023). Selain dampak sosial, pembangunan ini juga membawa kerusakan ekologis yang signifikan. Pada tahun 2021, tercatat sebanyak 18.864 desa menjadi korban kerusakan ekologis akibat pembangunan tersebut (KPA, 2023).

Tidak hanya itu, bencana ekologis yang disebabkan oleh pembangunan PSN juga menunjukkan tren peningkatan sejak tahun 2015 hingga mencapai puncaknya pada tahun 2021. Meskipun pada tahun 2022 jumlahnya menurun menjadi 3.531 kasus, dampaknya tetap dirasakan oleh masyarakat yang kehilangan akses terhadap sumber penghidupan, seperti tanah dan air (Walhi, 2023). Akibatnya, banyak masyarakat terdampak yang harus berjuang mencari ruang penghidupan baru untuk menopang perekonomian mereka.

Pembangunan yang dibingkai dalam wacana “kepentingan umum” ini pada akhirnya harus mengorbankan ruang hidup, ruang ekologis, dan ruang ekonomi masyarakat luas. Apa yang terjadi kemudian adalah semacam accumulation by disspossession, dan akumulasi primitif dalam bentuk yang baru: masyarakat teralienasi dan kehilangan penguasaan atas ruang hidup mereka sebagai akibat dari pembangunan infrastuktur dan sirkulasi kapital yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Infrastruktur Sebagai Lieu de Mémoire

Infrastruktur tidak hanya mengatur ruang; ia juga mengonstruksi memori. Pierre Nora memperkenalkan konsep lieux de mémoire (mnemonic places/site of memory)—atau tempat-tempat di mana memori kolektif “disimpan” dan terkristalisasi. Contoh dari situs memori ini adalah Museum Lubang Buaya. Museum ini mencoba menyajikan narasi tunggal tentang tragedi 1965, yang didesain untuk memperkuat status quo Orde Soeharto, serta legitimasi anti-Komunis.

Perlu digarisbawahi bahwa narasi-narasi tersebut bukanlah sesuatu yang netral. Ia dibangun dan dipertahankan, untuk memproduksi pengetahuan dan klaim kebenaran oleh pihak yang memiliki kontrol terhadap situs memori tersebut. Maka pernyataan Derrida yang berbunyi: “There is no political power without control of the archive, if not memory,” layak untuk dipertimbangkan.

Sekali lagi, infrastruktur tidak akan bersifat netral. Memori yang menempel pada infrastruktur adalah “memori yang dipilih” oleh kekuasaan untuk mengontrol narasi mana yang harus dilestarikan dan mana yang harus dilupakan.

Baca juga:

Dalam proyek-proyek besar, seperti bendungan Jatiluhur atau pembangunan jalan tol Trans-Jawa, memori individu masyarakat tergusur digantikan oleh memori kolektif yang dimediasi oleh institusi negara. Narasi kemajuan yang dikawinkan dengan narasi pemberadaban menjadi narasi tunggal, menyingkirkan pengalaman-pengalaman partikular yang terpinggirkan. Fenomena ini adalah bentuk high modernist schemes, di mana negara, melalui infrastruktur, menciptakan narasi tunggal tentang kemajuan yang menyederhanakan persoalan serta menyapu bersih pluralitas memori lokal.

Lebih lanjut, infrastruktur juga bisa membayangi masa kini dengan sisa-sisa masa lalu yang tak sepenuhnya lenyap. Contoh konkritnya adalah sistem irigasi di wilayah Jawa yang dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda, yang hingga kini menjadi dasar pengelolaan air di banyak daerah. Infrastruktur ini, meski telah diperbarui, masih menyimpan ingatan kekuasaan kolonial yang mendikte cara tanah dan air diatur.

Akhirnya, infrastruktur boleh jadi dapat diperlakukan layaknya arsip (the archive) dalam pembacaan Derridean. Maka, infrastruktur, jika diperlakukan sebagai arsip, adalah suatu hal yang bersifat ambivalen, sebab proses-proses pengarsipan tidak hanya menciptakan ingatan, tetapi juga melupakan—apa yang tidak masuk arsip cenderung diabaikan; ia melibatkan seleksi dan ekslusi.

Infrastruktur Sebagai Agen Non-Manusia

Alih-alih dianggap sebagai objek pasif, infrastruktur dapat dilihat sebagai aktor non-manusia yang turut memengaruhi manusia dalam jaringan hubungan antar-aktor. Karen Barad, misalnya, mengembangkan gagasan tentang realisme agensial yang menyatakan bahwa manusia dan hal-hal lain (termasuk infrastruktur) bukanlah entitas yang sepenuhnya otonom, tetapi saling terkait melalui proses yang disebut intra-aksi (intra-action). Konsep intra-aksi ini menunjukkan bahwa keberadaan manusia dan teknologi (termasuk infrastruktur) tidak berdiri sendiri, melainkan terus-menerus terbentuk dan berubah dalam hubungan timbal balik. Dalam hubungan ini, infrastruktur menjadi bagian tak terpisahkan dari “tubuh” manusia.

Sementara itu, Bruno Latour menawarkan pendekatan yang senada. Ia tak memandang hubungan antara manusia dan “yang-bukan-manusia” (seperti teknologi atau infrastruktur) dalam kerangka relasi subjek-objek. Sebaliknya, Latour melihatnya sebagai sebuah perakitan, di mana objek dan subjek saling berinteraksi dan membentuk satu sama lain, menciptakan apa yang disebut sebagai quasi-object—entitas yang bertindak secara dialektis, melampaui batas-batas antara subjek dan objek.

Dengan memosisikan ulang pembacaan antara “yang-bukan-manusia” dengan manusia—terlebih dalam melakukan pembacaan pada pembangunan infrastruktur—sebagai sesuatu yang tak timpang, kita akan menemukan implikasi pada suatu analisis yang lebih cair dan keluar dari kebuntuan analisis.

Baca juga:

Geger Riyanto (2023) dalam tulisannya, Bruno Latour dan Sosiologi Tanpa yang Sosial, mendorong para sosiolog untuk beranjak dari tipikal analisis sosiologis, menuju pembacaan “jalan pintas” yang lebih komprehensif. Ia memberikan contoh pembacaan terhadap pembangunan infrastruktur pada era kepemimpinan Joko Widodo. Riyanto mencoba memberikan tumpuan dengan memperlihatkan bagaimana imaji tentang infrastruktur kemudian memberikan dorongan bagi pemerintahan dan pemangku kebijakan untuk membuka kran pembangunan yang amat lebar.

Memaknai Infrastruktur

Ketika membicarakan infrastruktur, kita tidak hanya berbicara tentang infrastruktur itu sendiri. Kita juga harus mencoba menggali bagaimana ia dimaknai, diterima, dan dilawan oleh subjek yang berinteraksi dengannya. Kita harus membaca bagaimana infrastruktur dan teknologi dikonstruksikan oleh masyarakat.

Infrastruktur, sebagai jaringan yang memungkinkan aktivitas manusia, memediatori pengalaman waktu yang dialami individu maupun kolektif. Percepatan dari sistem teknologi (termasuk infrastruktur), secara fundamental mengonfigurasi ulang sisi spasio-temporal dari eksistensi manusia. Infrastruktur menjadi alat yang memungkinkan pengalaman coevalness, yaitu keberadaan bersama dalam ruang dan waktu yang sama, tetapi juga dapat menciptakan pengalaman waktu yang bersifat subjektif, yang berbeda bagi setiap individu.

Infrastruktur bukanlah semata-mata alat. Ia adalah cara pengungkapan yang membentuk bagaimana manusia memandang dan menghadirkan dunia. Jika tidak berhati-hati dalam menggunakan, membaca, dan memaknainya, infrastruktur dapat berubah dari instrumen pembantu menjadi instrumen yang justru membatasi kita. Pada akhirnya, infrastruktur dapat menciptakan “ilusi” terkontrol yang mempersempit cara kita memahami realitas, alih-alih memperluasnya.

 

 

Editor: Prihandini N

Muhammad Haidar Sabid A
Muhammad Haidar Sabid A Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email