Di bawah Presiden Prabowo Subianto, mungkin Indonesia tidak lagi menganggap penting persoalan krisis iklim. Hal itu nampak dari keputusan Presiden Prabowo Subianto menunjuk adiknya sendiri, Hashim S. Djojohadikusumo, menjadi Ketua Delegasi Repulik Indonesia (Delri) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim Ke-29 PBB (Conference of the Parties/COP 29) di Baku, Azerbaijan. Hashim S Djojohadikusumo bukanlah sosok yang memiliki rekam jejak sebagai pejuang keadilan iklim. Sebailinya, menurut catatan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), ia justru memiliki jejak dalam industri ekstraktif di Indonesia.
Tidak dianggapnya penting persoalan iklim itu semakin nampak dari pidato Hashim di KTT Iklim tersebut tentang arah kebijakan transisi energi Indonesia kedepannya. Pertama, ia menyampaikan bahwa pemerintahan Prabowo Subianto akan fokus mengembangan energi terbarukan skala besar yang bersumber dari energi angin, surya, tenaga air, panas bumi, dan nuklir. Kedua, Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto akan tetap memperpanjang penggunaan energi fosil melalui teknologi teknologi penyimpanan emisi GRK berupa CCS (Carbon Capture Storage).
Jika ditelisik lebih dalam, kedua arah kebijakan transisi energi yang ada dalam pidato Hashim S Djojohadikusumo itu adalah solusi iklim yang palsu. Mengapa bisa dikatakan demikian?
Mitigasi & Adaptasi
Untuk mengatasi krisis iklim, ada dua agenda besar yang harus dilakukan secara bersamaan. Kedua agenda itu adalah mitigasi dan adaptasi. Mitigasi adalah agenda upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab krisis iklim. Sedangkan adaptasi adalah agenda mempersiapkan respon yang tepat terhadap krisis iklim. Dengan adaptasi diharapkan masyarakat bisa mengurangi kerentanannya terhadap dampak krisis iklim. Kedua agenda itu seperti dua sisi mata uang, bisa dibedakan namun tidak bisa dipisahkan. Artinya, agenda mitigasi tidak boleh mengurangi kapasitas masyarakat untuk beradaptasi terhadap krisis iklim, begitu pula sebaliknya.
Baca juga:
Dalam pidato Hashim di KTT Iklim, upaya mitigasi emisi GRK dari sektor energi justru berpotensi mengurangi kapasitas masyarakat dalam beradaptasi terhadap krisis iklim. Pengembangan energi terbarukan skala besar yang ia promosikan justru berpotensi untuk menggusur masyarakat dari sumber-sumber kehidupannya. Tersingkirnya masyarakat dari sumber-sumber kehidupannya atas nama pengembangan energi terbarukan jelas akan menurunkan kapasitas mereka untuk beradaptasi terhadap krisis iklim. Inilah yang disebut solusi palsu krisis iklim.
Salah satu proyek energi terbarukan skala besar yang sering menyingkirkan masyarakat dari sumber-sumber kehidupannya itu adalah proyek panas bumi (geothermal). Proyek geothermal di Waesano, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang didanai oleh Bank Dunia misalnya mendapat perlawanan gigih dari masyarakat lokal. Masyarakat lokal merasa proyek itu akan menyingkirkan mereka dari sumber-sumber kehidupannya. Penolakan masyarakat lokal yang gigih itu membuat Bank Dunia menghentikan pendanaan proyek geothermal di Waesano.
Masih di NTT, proyek geothermal di Pocoleok, yang didanai oleh Bank Pembangunan Jerman (Kreditanstalt für Wiederaufbau/KfW) juga mendapat perlawanan dari masyarakat sekitar. Sama seperti di Waesano, masyarakat di Pocoleok juga menilai proyek yang mengatasnamakan energi terbarukan itu akan menyingkirkan mereka dari sumber-sumber kehidupannya. Sebagian masyarakat Pocoleok yang melakukan perlawanan mendapat intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan dari aparat pemerintah. Bahkan jurnalis lokal pun juga sempat mengalami kekerasan. Hampir sebagian proyek geothermal di Indonesia mendapat perlawanan dari masyarakat lokal.
Baca juga:
Substansi kedua pidato Hashim di KTT Iklim yang mengungkapkan Indonesia akan menyediakan wilayahnya sebagai toilet karbon melalui teknologi CCS. Dilihat dari sisi mana pun ini jelas merupakan promosi atas solusi palsu transisi energi. Teknologi CCS ini akan memperpanjang penggunaan energi fosil. Akibatnya, penggunaan teknologi CCS ini akan menghalangi pengembangan energi terbarukan.
Bukan hanya itu, CCS juga menghasilkan emisinya sendiri, yang sering tidak diperhitungkan. Emisi GRK dalam teknologi CCS muncul saat proses penangkapan dan transportasi. Kebocoran dari emisi GRK selama proses CCS ini berlangsung bisa saja sama atau lebih besar daripada emisi GRK yang dapat disimpan. Laporan Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) juga mengungkapkan bahwa kemampuan CCS untuk memberikan pengurangan emisi yang berarti dalam dekade berikutnya sangatlah rendah, sementara biayanya akan sangat tinggi. Dengan biaya yang tinggi itu harusnya investasinya langsung diarahkan ke pengembangan energi terbarukan.
Paradigma Usang
Solusi iklim palsu yang ditawarkan Hashim di KTT Iklim menunjukan bahwa Presiden Prabowo Subianto melanjutkan paradigma usang para Presiden Indonesia sebelumnya, yang melihat upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim hanya dari sisi kepentingan ekonomi segelintir elite di lingkar kekuasaan.
Riset Indonesia Corruption Watch (ICW) yang diluncurkan pada Juni 2024 mengungkapkan bahwa sebagian industri yang sekarang bergerak di sektor energi terbarukan skala besar di Indonesia adalah industri-industri yang sebelumnya bergerak di sektor ekstraktif. Riset ICW itu juga mengungkapkan bahwa para pengusaha tersebut adalah elite ekonomi yang dekat dengan lingkar kekuasaan Prabowo Subianto dan Gibran.
Agenda solusi iklim palsu yang disampaikan dalam pidato Hashim di KTT Iklim itu sejatinya hanya mengaskan agenda pemerintahan Prabowo Subianto di sektor energi. Agenda Presiden Prabowo di sektor energi adalah swasembada energi, seperti yang diungkapkan dalam pidato pelantikannya beberapa saat yang lalu.
Substansi pidato Presiden Prabowo dalam pelantikannya sama dengan pidato Hashim di KTT Iklim, mempromosikan solusi iklim palsu melalui pengembangan energi terbarukan skala besar dan juga mempertahankan penggunaan energi fosil. Bedanya, dalam pidatonya, Presiden Prabowo menutupi solusi iklim palsunya dengan jargon-jargon nasionalisme. Sementara pidato Hashim di KTT Iklim lebih menutupi solusi iklim palsunya dengan kerjasama investasi.
Solusi palsu transisi energi yang dipromosikan Prabowo dan Hashim harus dihentikan. Sebagai negara yang rentan menjadi korban krisis iklim dan juga di satu sisi memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah, Indonesia lebih memerlukan solusi iklim yang adil. Solusi iklim yang adil itu adalah solusi yang berbasis masyarakat bukan kepentingan bisnis elite ekonomi yang berada di lingkar kekuasaan. Solusi iklim yang adil itu adalah yang tidak lagi memisahkan agenda mitigasi emisi GRK dengan adaptasi masyarakat terhadap krisis iklim. (*)
Editor: Kukuh Basuki