Logika Hukum Pasca Pemecatan Jokowi oleh PDI-P

sayid nurahaqis

2 min read

Baru-baru ini, partai pemenang pemilihan umum (Pemilu) 2024, yaitu PDI-P telah resmi memecat kadernya yakni, Joko Widodo (Jokowi) yang juga sebagai Presiden Ke-7 RI. Pemecatan itu terhitung sejak Sabtu (14/12) lalu, berdasarkan surat keputusan (SK) Nomor 1649/KPTS/DPP/XII/2024.

Dalam SK tersebut, dapat diketahui alasan PDI-P melakukan pemecatan Jokowi karena selaku kader PDI-P yang ditugaskan oleh partai sekaligus Presiden pada masa bakti  2014-2019 dan 2019-2024 telah melanggar AD/ART Partai dengan tidak mendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusung oleh PDI-P pada Pilpres 2024. Selain itu, Jokowi dianggap telah menyalahgunakan kekuasaan dengan mengintervensi Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengakibatkan rusaknya tatanan sistem demokrasi, sistem hukum dan sistem moral etika di Indonesia.

Terkait pemecatan Jokowi oleh PDI-P menarik untuk dikaji. Kali ini penulis akan mencoba mengkaji pemecatan tersebut secara objektif dalam perpektif keilmuan hukum, terkhususnya dalam logika hukum.

Sebagaimana yang diketahui, Jokowi adalah Presiden RI Ke-7 dengan masa bakti Presiden periode 2014-2019 dan periode 2019-2024. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dasar hukum Presiden telah diatur dalam Konstitusi Indonesia, yaitu UUD NRI Tahun 1945 dan Peraturan Perundang-undangan yang terkait Presiden.

Baca juga:

Menurut UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal 6A Ayat (2) menyatakan bahwa, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik (Parpol) atau gabungan Parpol peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Makna dari Pasal ini mengatur peran Parpol dalam mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu. Implikasinya, terdapat andil besar dari PDI-P dalam mengusulkan Jokowi sebagai calon Presiden  pada Pilpres 2014-2019 dan  2019-2024.

Lebih lanjut, berkaitannya Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dengan pemecatan Jokowi oleh PDI-P adalah flashback pada kontestasi Pilpres 2014 dan 2019. Pada waktu itu, pencalonan Jokowi sebagai Presiden diusulkan oleh Parpol PDI-P. Memang benar, pada waktu itu tidak hanya PDI-P saja yang mencalonkan Jokowi sebagai Presiden pada Pilpres 2014 dan 2019 melainkan terdapat Parpol gabungan lainnya yang mencalonkan Jokowi, tetapi fakta politiknya adalah Jokowi bisa menjadi Presiden periode 2014 dan 2019 karena dukungan PDI-P, tanpa dukungan atau usulan PDI-P, tidak mungkin Jokowi menjadi Presiden dan bahkan tidak dapat mungkin mencalonkan dirinya sebagai Presiden.

Memang tidak aturan hukum tertulis di Indonesia yang mengatur terkait seorang kader Parpol yang dipecat oleh partainya ketika pasca menjabat Presiden. Namun beda halnya jika Presiden dalam hal ini Jokowi Presiden Ke-7 Indonesia dipecat oleh PDI-P ketika sedang atau saat menjabat Presiden, mungkin saja Jokowi dapat dilakukan pemakzulan atau pemberhentian masa jabatannya oleh MPR atas usulan anggota DPR dari fraksi PDI-P dengan dasar SK No. 1649/KPTS/DPP/XII/2024 karena Jokowi telah melakukan perbuatan tercela dengan menyalahgunakan kekuasaan, mengintervensi MK sehingga merusak tatanan sistem demokrasi, sistem hukum dan sistem moral etika.

Baca juga:

Karena status Jokowi saat ini hanya seorang mantan Presiden, maka konsekuensi logis dari pemecatannya sebagai keanggotaan Partai yang juga pengusung ketika ia menjabat sebagai Presiden dengan seharusnya hak dan kepastian hukum yang melekat pada dirinya saat ini sebagai mantan Presiden telah hilang  atau hapus. Semisalnya, hak mendapatkan tunjangan, mendapatkan rumah, mendapatkan kendaraan, hak memiliki staf pribadi, dan sebagainya.

Alasan konsekuensi logis tersebut karena Jokowi pada saat menjabat sebagai Presiden adalah anggota Partai PDI-P dan diusung oleh PDI-P. Dalam konteks ketatanegaraan, relasi antara Presiden  dengan Parpol pengusung tidak dapat dipisahkan, baik saat menjabat maupun pasca menjabat sebagai Presiden. Terlebih lagi Jokowi pada saat itu telah mengikatkan dirinya untuk  berkomitmen dalam merealisasikan tujuan dan cita-cita Partai. Artinya, jika menggunakan logika terbalik seorang yang telah dipecat atau diberhentikan status keanggotaan partai dengan sendirinya hak yang mengikat pada keanggotaan  tersebut harus ditanggalkan karena bukan lagi berstatus anggota  partai.

Sekali lagi perlu diingat, hal di atas hanyalah “Konsekuensi Logis” bukan suatu kewajiban hukum atau dibenarkan hilangnya hak dan kepastian hukum dari seorang mantan Presiden. Karena memang tidak ada aturan hukum yang tertulis terkait pemecatan kader partai politik pasca menjabat sebagai Presiden.

Tetapi, terdapat asas hukum yakni, Ubi Societas Ibi Ius yang artinya di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Makna asas ini mengharuskan setiap warga negara atau masyarakat haruslah mematuhi dan melaksanakan peraturan dan kebiasaan dari hukum tertulis maupun tidak tertulis.

Jokowi saat ini seorang mantan Presiden yang juga sebagai warga negara Indonesia, dalam UUD NRI Tahun  1945 setiap warga negara berkesamaan kedudukannya tanpa terkecuali. Maka, konsekuensi logis tersebut sebenarnya dapat berlaku atas dasar asas Ubi Societas Ibi Ius. Selain itu, dapat berlaku juga jika Jokowi memiliki dan memahami konsep tahu diri atas pemecatan dirinya sebagai kader Parpol. Dan perlu diingat, tanpa Parpol PDI-P Jokowi tidak mungkin menjadi Presiden Ke-7 RI. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

sayid nurahaqis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email