Pada tulisan Pesantren Monarki, saya menyampaikan kritik terhadap pengagungan nasab dan pembagian kelas sosial di pesantren. Saya menyebutnya sebagai kemunduran dari nilai-nilai Islam yang revolusioner. Mengapa demikian? Saya ingin menjelaskannya lebih lanjut di sini.
Cangker Sholihuddin, dalam tulisannya, Keluarga Pesantren yang Merakyat, memaklumi penghormatan terhadap keturunan kiai atas dasar penghormatan kepada orangtuanya. Katanya, itu tak jauh berbeda dengan kita menghormati anak dari bos perusahaan yang orangtuanya berjasa untuk kita.
Secara naluriah, kita memang cenderung membalas orang-orang yang berjasa dalam hidup kita dan ikut melimpahkan perasaan utang budi itu kepada keluarganya. Namun, tidak ada yang berakhir baik dari sesuatu yang berlebihan. Jangan sampai penghormatan itu justru jatuh dalam fanatisme buta hingga kita bersikap tidak adil.
Ketidakadilan inilah yang sebenarnya saya tentang. Nyatanya, masih banyak anak kiai yang memakai keistimewaan nasab mereka untuk keuntungan pribadi, entah itu dalam ranah sosial, politik, atau ekonomi. Ketimpangan kuasa antara anak kiai dengan santri biasa juga rentan merugikan mereka yang tidak punya kekuasaan.
Tidakkah kita belajar bahwa orang-orang sebelum kita hancur karena tidak menghukum pencuri dari kalangan orang-orang terpandang, dan hanya menghukum orang-orang kecil yang mencuri? Itu bukan kata saya, tetapi kata Nabi Muhammad yang sama-sama menjadi teladan kita.
Egalitarianisme dan Kedaulatan Hukum dalam Islam
Saya kerap bertanya, Nabi Muhammad ingin membangun masyarakat yang seperti apa? Ada berbagai macam sistem sosial yang mungkin beliau pilih, dan sejauh pembacaan saya, sepertinya beliau ingin membentuk masyarakat egaliter dengan kedaulatan hukum. Artinya, hukum mengatur kehidupan masyarakat, dan setiap orang setara di mata hukum.
Dalam khotbah terakhirnya saat Haji Wada, Nabi Muhammad menyerukan: “Tidak ada superioritas bangsa Arab atas non-Arab, begitu juga sebaliknya. Dan tidak ada superioritas kulit putih atas kulit hitam, begitu juga sebaliknya, kecuali atas ketakwaan mereka.”
Saya mendefinisikan ketakwaan sebagai ketaatan terhadap hukum yang berlaku. Khotbah di atas sangat nyaring menyampaikan pesan kesetaraan hukum di antara manusia. Tidak tanggung-tanggung, Nabi Muhammad secara terbuka juga berkata, “seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, sungguh akan aku potong tangannya.”
Dari pernyataan tadi, bukankah Nabi Muhammad menegaskan bahwa keistimewaan nasab tidak berarti apa pun di hadapan hukum? Artinya, hukum tidak hanya berlaku kepada masyarakat bawah, tetapi juga mereka yang merumuskan hukum tersebut.
Pembagian Kelas Sosial dan Bahaya Fanatisme Pesantren
Sejarah pendirian pesantren memang tidak lepas dari peran kiai perintisnya. Sayangnya, peran masyarakat sekitar yang tak kalah penting justru kerap dilupakan. Padahal, rata-rata pesantren berdiri dan berkembang dengan dana dari masyarakat. Memang, tanpa ada kiai mungkin tidak akan ada pesantren. Namun, tanpa ada peran masyarakat, kiai tidak akan memiliki pesantren.
Kesadaran akan peran kolektif inilah yang saya rasa mulai terkikis, dan pada akhirnya, lama-kelamaan masyarakat tidak merasa ikut memiliki pesantren. Sebaliknya, keluarga pengasuh pesantren merasa memiliki pesantren sepenuhnya. Meskipun itu tidak bisa disalahkan, tetapi saya rasa itu juga tidak bisa sepenuhnya dibenarkan.
Secara formal, kepemilikan pesantren boleh saja atas nama pengasuh. Namun, secara moral, saya rasa pesantren adalah milik bersama, milik masyarakat, dan milik santri-santri. Dengan begitu, seharusnya tidak ada pembagian kelas sosial antara anak kiai dengan santri biasa. Semua punya hak dan kewajiban yang sama tanpa ada pengistimewaan.
Tentu itu bayangan ideal lembaga pesantren dalam benak saya. Pesantren dengan semangat egaliter, semuanya sederajat, seperti yang pernah disampaikan Nabi Muhammad. Sayangnya, beberapa pesantren, khususnya di Jawa, masih menilai nasab secara berlebihan. Pada kasus yang ekstrem, itu juga menciptakan masyarakat yang fanatik dan menganggap kesucian pesantren tidak mungkin ternodai.
Yang berbahaya adalah ketika pesantren menjelma menjadi lembaga yang nyaris tak tersentuh hukum, dan orang-orang yang berkuasa di sana bisa dengan mudah berlindung di balik dinding pesantren itu. Seperti kasus kekerasan seksual di salah satu pesantren di Jombang yang melibatkan seorang anak kiai terpandang.
Hingga kini, tersangkanya masih dalam daftar pencarian orang (DPO) dan sulit diringkus polisi karena dilindungi para santri dan pendukungnya. Sementara itu, korban dan saksi yang berasal dari kalangan biasa mengalami persekusi dan dituduh ingin menjatuhkan nama baik pesantren.
Reformasi Pesantren
Jika kita benar-benar menghormati kebenaran, kata Popper, kita harus terus-menerus mencari kesalahan kita. Caranya adalah melalui kritik rasional dan evaluasi diri.
Dalam khazanah pesantren NU, ada istilah masyhur yang berbunyi: al-muhafadzah ‘ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Istilah itu memiliki arti “menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”. Melalui kritik terhadap sistem kekuasaan dan kelas sosial dalam pesantren, sebenarnya saya berharap adanya perkembangan pesantren ke arah yang lebih baik.
Menurut saya, perlu ada reformasi yang radikal dalam pesantren kita. Dan ketika saya bilang reformasi pesantren, yang saya maksud bukan sekadar soal siapa yang meneruskan tongkat estafet kepemimpinan pesantren, tapi juga bagaimana menumbuhkan kesadaran terhadap peran dan kepemilikan bersama, penghapusan kelas sosial di lingkungan pesantren, dan mewujudkan kedaulatan hukum yang adil.
Pesantren sebagai ujung tombak penanaman nilai-nilai Islam, seharusnya setia kepada nilai-nilai yang diperjuangkan Nabi Muhammad dan keberpihakannya. Dan sejauh yang saya ketahui, beliau selalu berdiri di pihak mustadh’afin, orang-orang yang lemah, orang-orang yang terpinggirkan. Lalu, bisakah kita? Saya rasa keadilan itu sulit terwujud jika masih banyak yang menganggap nasab di atas segalanya.
Jakarta, 2022
Editor: Prihandini N