Benarkah karya seni mampu menyampaikan cerita yang berdasarkan realitas sosial? Bolehlah kita mengambil salah satu contoh karya yang telah diketahui banyak orang yaitu One Piece. Serial yang diciptakan komikus Jepang Eichiro Oda ini mempunyai struktur cerita yang realistis dengan memunculkan suara hak asasi manusia, kebenaran arus bawah, dan sistem kuasa.
One piece telah menjadi manga yang diterjemahkan ke berbagai bahasa dan didistribusikan ke berbagai negara, sebut saja Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Sebenarnya apa yang membuat One Piece begitu populer dan masih sangat dinantikan oleh semua generasi, dari generasi milenial sampai generasi Z hingga kini?
One Piece di dalam kisah ini berarti sebuah harta karun peninggalan mantan Raja Bajak Laut, Gold. D. Roger. Kematiannya yang mengundang orang-orang untuk turun menjelajahi dunia demi menemukan harta tersebut telah memulai era bajak laut. Namun, siapa sangka bahwa ide yang terkesan sangat sederhana ini pada awalnya, bahkan sempat diragukan dan hampir tidak diserialkan oleh Shonen Jump, majalah mingguan di Jepang. Namun One Piece berhasil menjawab keraguan itu dengan mampu menyajikan cerita epik yang mengantarkannya mencetak rekor penjualan.
Menariknya pembaca akan menyadari selain permainan kekuasaan, One Piece sering mengangkat isu kemanusiaan. Sebut saja rasisme, genosida, politik kotor, pasar gelap hingga peperangan. Nuansa-nuansa itu muncul silih berganti di setiap pulau. Salah satu ceritanya yang menarik adalah ketika mengangkat isu hegemoni.
Baca juga:
- Dr. Vegapunk Menjawab Pertanyaan Hawking
- Belajar Kepemimpinan dari Nobita
- Sasuke, Boruto, dan Masa Depan Konoha
Hegemoni
Hegemoni menyebabkan ketidakpedulian dan penindasan terhadap orang-orang miskin di Terminal Grey, tempat terpinggirnya orang-orang miskin di wilayah Kerajaan Goa. Hegemoni itu bisa dilihat dengan melirik struktur wilayah dari kerajaan Goa yang ditata sesuai kasta. Ibu kota dan pusat kerajaan berada di tengah negara. Wilayah Kerajaan ini berbentuk melingkar dan dikelilingi gunung Calubo. Menuju utara dari Gunung ini adalah tempat pembuangan sampah dari kota dan kerajaan, tempat itu dibatasi tembok menjulang dan pintu besar Great Gate yang bisa digunakan untuk menuju kota Edge Town. Orang-orang miskin di Terminal Grey disebut “sampah”. Proses yang berawal dari menamai orang-orang “sampah” ini akan berlanjut pada tindakan kekerasan yang diwajari karena mereka tidak lagi dianggap sebagai manusia.
Hegemoni berasal dari kata Yunani, egemonia, yang berarti penguasaan satu bangsa atas bangsa lainnya. Hegemoni menurut Gramsci adalah sebuah konsensus di mana ketertundukan diperoleh melalui penerimaan ideologi kelas yang menghegemoni oleh kelas yang terhegemoni. Hegemoni bukan hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, tetapi hubungan persetujuan dengan mengunakan kepemimpinan politik dan ideologis.
Hegemoni akan melahirkan kepatuhan, sebuah sikap menerima keadaan tanpa mempertanyakannya lagi secara kritis karena ideologi yang diekspos kelas hegemonik hanya ditelan mentah-mentah. Dalam kisah One Piece, Penduduk di Terminal Grey adalah korban yang terhegemoni. Mereka ditundukkan melalui pikiran oleh pemerintah yaitu kaum bangsawan kerajaan Goa.
Di Kerajaan Goa, kaum borjuis telah berhasil menanamkan dalam benak rakyat bahwa Tenryuubito dan bangsawan harus dihormati dan dipuja. Mereka menciptakan ilusi bahwa negara yang bersih dan mandiri seperti Goa adalah model sempurna untuk diikuti oleh bangsa lain. Pada benak pemerintah kerajaan, ‘kebersihan’ negara dianggap lebih penting daripada manusia sampah yang ‘tidak berguna’. Ideologi dominan ini berujung pada tindakan simbolis yaitu membakar mereka. Dengan memperalat bajak laut Bluejam sebagai kambing hitam, masyarakat biasa dan bangsawan hanya diam ketika Terminal Grey telah rata dilalap api. Hegemoni memainkan pikiran demgan tetap menjaga citra pemerintah yang bagus, padahal busuk minta ampun. Kepatuhan justru melanggengkan oligarki.
Baca juga:
Kesadaran dan Resistensi
Ketika Terminal Grey dibakar, penduduk di sana berlarian tak tentu arah. Great Gate ditutup dan jalan menuju pantai telah dikepung api. Sampai akhirnya, sebuah kapal dari pantai menerjang dengan bantuan angin milik Dragon. Pasukan Revolusioner, yang selama ini dianggap organisasi pemberontak oleh pemerintah dunia dan keberadaannya dicari, muncul secara tiba-tiba. Mereka terbuka bagi siapapun yang berjuang untuk kebebasan.
Selain itu, Salah satu anak yang menganggap bahwa sistem hierarki sosial di Kerajaan Goa tidak adil adalah Sabo. Ia menyadari dan melawan hegemoni. Keputusannya untuk meninggalkan status kebangsawanannya dan bergabung dengan Ace dan Luffy di gunung Calubo adalah upayanya untuk mencapai kebebasan dari belenggu feodalisme keluarga yang menjalankan struktur kekuasaan. Ketika Terminal Grey dibakar, Sabo tidak dapat bertemu Luffy dan Ace, lalu dia bertemu Dragon dan berterus terang bahwa pelaku pembakaran adalah pihak kerajaan dan bangsawan. Setelah menyadari kekejaman dari pemaksaan pemikiran , dampak hegemoni secara langsung pada dirinya, Sabo menyatakan malu terlahir sebagai seorang bangsawan.
Kesadaran berpikir kritis timbul ketika seorang menyadari sistem yang menindas, akan memberi pilihan untuk melawan. Sayangnya, ketika hendak berlayar dengan kapal kecil ke laut, Sabo ditembak oleh pemerintah dunia (Ternyuubito). Lagi-lagi, masyarakat cuma merasa iba namun tak ada seorang pun yang berani mengomentari tindakan tidak manusiawi itu. Menembak anak berusia 12 tahun di kapal kecil dianggap suatu kewajaran ketika ia melintas di hadapan kapal bangsawan dunia.
Masyarakat tidak tahu sedang mengalami kesadaran bertentangan dengan menerima ketidakadilan sebagai norma. Hal itu terjadi bukan karena mereka setuju, namun karena mereka kekurangan basis konseptual dan pengetahuan. Pikiran mereka disetir hegemoni sehingga terjadilah konsesuf pasif, masyarakat akan menginternalisasi ketidakadilan sebagai sesuatu yang wajar karena kekurangan ”alat” untuk mampu memahami keadaan dengan berpikir kritis.
Banyak orang tutup mata atas penguasaan hukum dan hak asasi karena terperangkap ideologi pemerintah. Sesungguhnya, apakah hegemoni terjadi karena pemaksaan pemikiran ataukah karena justru masyarakat sendiri yang menerima untuk dikuasai tanpa kesadaran kritis? (*)
Editor: Kukuh Basuki