Sejak beberapa hari terakhir, saya mengamati perdebatan soal dunia pesantren yang awalnya ditulis oleh Agus Ghulam Ahmad dalam tulisan Pesantren Monarki, dan kemudian mendapat tanggapan dari Cangker Sholihuddin lewat tulisan Keluarga Pesantren yang Merakyat.
Dialektika di antara keduanya membuat saya merasa perdebatan tersebut sangat menarik dan perlu dilanjutkan lewat diskusi yang lebih serius, mendalam, dan bisa dibaca oleh banyak kalangan, khususnya kalangan pesantren. Saya yakin argumentasi yang ditulis baik oleh Agus dan juga Cangker tidak terpisah dari pengalaman mereka sebagai santri di pesantren. Saya juga yakin keduanya menulis argumentasi tersebut karena sama-sama mencintai pesantren, hanya saja keduanya memiliki cara pandang yang berbeda.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pesantren banyak berkontribusi pada peradaban bangsa ini. Pesantren menjadi lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Kiprah pesantren dalam dunia pendidikan sudah ada jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka. Perjuangan warga pesantren pun tidak bisa dilepaskan dari perlawanan terhadap para penjajah. Mereka berjuang di garda depan melawan bangsa penjajah. Tokoh yang sangat heroik di antaranya adalah KH. Hasyim Asyari. Ia menyerukan umat Islam untuk jihad melawan tentara sekutu yang ingin menjajah kembali Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan pada 22 Oktober 1945. Tanggal tersebut kini diperingati sebagai Hari Santri Nasional tiap tahunnya.
Dalam konteks sekarang, jumlah pesantren di Indonesia yang terdata dalam Pangkalan Data Pondok Pesantren (PDPP) adalah sebanyak 27.722, dan jumlah santri sebanyak 4.175.631. Tentu kuantitas tersebut juga mempunyai dampak sosial dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, dan politik di Indonesia. Namun disisi lain, kita juga tidak boleh menutup mata bahwa pesantren juga mempunyai sisi gelap yang tak banyak diungkap. Di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Agus dalam tulisannya yang berjudul Mereformasi Pesantren Kita.
Dalam perdebatan yang dimulai oleh Agus, saya sengaja menulis judul yang mungkin cukup sensitif. Namun, hal ini saya lakukan karena saya mencintai, menghormati, memiliki niat baik, dan bukan karena ada keinginan untuk mencemarkan nama baik kiai ataupun pesantren.
Sisi Gelap Pesantren
Ada banyak hal yang perlu kita ketahui dan sadari bersama bahwa pesantren memiliki sisi gelap, sisi yang sering kali tidak diungkap atau mungkin sengaja ditutup rapat-rapat. Sisi gelap ini menyoal budaya taklid buta atau menerima tanpa berpikir. Dalam tulisan saya ini, saya menyertakan data penelitian sebagai sumber yang bisa dipertanggungjawabkan, dan juga sepenggal pengetahuan dan pengalaman yang saya alami secara personal.
Dalam penelitian yang berjudul “Keyakinan Santri pada Kiai” yang ditulis oleh Loubna Zakiah dan Faturochman dalam jurnal Buletin Psikologi UGM tahun 2015, disebutkan bahwa pola pendidikan pesantren menempatkan santri sebagai murid, abdi, dan kawula. Hal ini dikenal dengan terminologi talmadzah yang menggambarkan dominasi aktivitas guru dan tuntutan santri untuk bersikap pasif. Hal tersebut didasarkan pada kitab Ta’lim Muta’allim, salah satu referensi kitab kuning yang sering dipakai di pesantren. Kitab karya Al-Zarnuji tersebut dinisbatkan kepada Sayyidina Ali: “Aku adalah kawula orang yang pernah mengajarkan satu huruf kepadaku, apabila mau ia boleh menjualku, memerdekakanku, atau tetap memperbudakku.”
Dalam penelitian tersebut, juga disebutkan bahwa dalam diri kiai terdapat karisma yang sangat melekat sehingga kiai memiliki kepemimpinan yang amat disegani. Hal tersebut menyebabkan santri bersikap tunduk dan tidak mau membantah atau menyangkal apa yang dilakukan kiai. Dalam hubungan di antara kiai dan santri, dikatakan bahwa kiai adalah patron, tempat bergantung para santri yang dilegitimasi oleh ajaran agama.
Santri menerima kepemimpinan kiai karena percaya pada konsep barokah yang berdasar pada doktrin sufi tentang emanasi, melanjutkan silsilah para ulama sebagai pewaris ilmu pada kejayaan Islam dulu, hingga kiai besar sering dianggap penting untuk mengetahui urutan silsilah yang dapat sampai kepada Muhammad SAW. Santri akan selalu memandang kiai sebagai orang yang mutlak harus dihormati karena dianggap memiliki kekuatan supernatural yang bisa membawa keberuntungan. Penghormatan ini tampak lebih penting daripada usaha untuk menguasai ilmu.
Lebih jelas lagi, penelitian tersebut menegaskan hubungan patron-klien di antara kiai-santri menyebabkan adanya hierarki status sosial serta ketergantungan dan penghormatan santri kepada kiai yang menjurus pada pengkultusan individu. Hal ini didukung oleh kewibawaan kiai yang biasanya berasal dari silsilah yang dapat sampai pada nabi Muhammad SAW, dan adanya nilai yang dipegang teguh oleh santri bahwa mendebat kiai akan menyebabkan kualat dan tidak mendapat barokah. Hal lain yang terjadi adalah tipe kepemimpinan di pesantren yang memberikan penonjolan besar pada kiai. Hal ini menyebabkan adanya kepemimpinan berunsurkan feodalisme yang dibalut dengan baju keagamaan. kekuasaan seorang kiai atas diri santri inilah yang membuat santri seumur hidup akan merasa terikat dengan kiainya.
Baca juga:
Merujuk referensi yang berbeda. Dalam buku Islam Sontoloyo yang ditulis oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekano. Bung Karno melakukan kritik yang tajam kepada umat Islam, tak terkecuali pesantren soal budaya taklid buta (menerima tanpa berpikir). Hal itu disebut Bung karno sebagai masalah besar yang menjadi penyebab kemunduran Islam, karena semenjak ada aturan taklid, para jenius dirantai, akal pikiran diterungku, dari situlah datang kematian peradaban.
Bung Karno bisa berpikir demikian karena ia mengalami banyak kegelisahan. Di antaranya ketika Bung Karno membaca surat kabar Pemandangan yang beredar tahun 1940, di mana ada pemberitaan seorang kiai melakukan pencabulan kepada santri perempuannya dengan dalih amalan ilmu agama. Kiai tersebut memengaruhi muridnya dengan mengatakan bahwa dirinya pernah bicara dengan Nabi Muhammad. Kemudian, diajarkanlah amalan malam Jumat, zikir untuk mendekatkan diri pada Allah yang dilakukan sejak magrib hingga subuh, diawali dengan seruan ramai-ramai “saya murid kiai…..” yang bertujuan supaya terkenal dan diampuni dosanya.
Dalam buku tersebut dijelaskan, tiap perempuan dan laki-laki dipisah, perempuan harus ditutup mukanya supaya tidak dilihat oleh laki-laki. Namun, dari tiap perempuan itu perlu diajar kiai tersebut. Setiap pertemuan, kiai tersebut selalu berucap “dimahramkan dahulu”, yang mana perempuan itu harus dinikahkan olehnya. Ia yang jadi kiai, ia yang menikahkan, dan ia juga yang jadi pengantinnya.
Para murid di situ menuruti kehendak kiai tersebut tanpa memikirkan, membantah, atau menolak apa yang dilakukan kiai. Kejadian pencabulan tersebut pun akhirnya terjadi. Jujur saja, saya memang membenci Bung Karno terkait bagaimana dia poligami (punya banyak istri), tapi terkait pemikiran yang ditulis di bukunya, saya mengakui apa yang ditulis Bung Karno sangat relevan dengan penelitian yang berjudul “Kepercayaan Santri pada Kiai” dan kondisi sosial yang ada saat ini.
Kekerasan Sekual di Pesantren
Kejadian tersebut membuat saya ingin menghubungkannya dengan pengalaman dan pengetahuan saya soal skandal kasus kekerasan seksual terhadap santri yang melibatkan M. Subchi Azal Tsani (MSAT). Anak kiai tersebut ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Jombang pada 2019, kemudian masuk ke daftar pencarian orang (DPO) oleh Polda Jawa Timur pada 14 Januari 2022. Meskipun kasusnya telah banyak diberitakan oleh media, baik media lokal, nasional, bahkan internasional, kenyataannya, pemberitaan yang ramai tersebut tak memengaruhi keyakinan para santrinya untuk tetap patuh dan taat pada MSAT.
Hal ini di antaranya juga disebabkan oleh adanya Kiai M. Muchtar Mu’thi Mursyid tarekat Shiddiqiyyah, yang merupakan ayah dari MSAT, dan para otoritas pesantren Shiddiqiyyah yang membuat narasi tandingan bahwa apa yang banyak diberitakan oleh media terkait MSAT adalah gosip tanpa bukti dengan tujuan untuk menjatuhkan kredibilitas MSAT sebagai anak seorang kiai, dan juga untuk mencemarkan nama baik pesantren yang terletak di Jombang tersebut.
Baca juga:
Lebih jauh lagi, mereka juga mengatakan bahwa kasus tersebut adalah perang dagang yang bertujuan untuk menjatuhkan perusahaan rokok dengan merek Sehat Tentrem, sebuah perusahaan rokok milik MSAT. Ditambah lagi, MSAT yang berstatus DPO ini masih bisa beraktivitas seperti orang biasa. MSAT terpantau bisa mengisi acara pengajian, melakukan konser musik berkali-kali, hingga mengundang sejumlah artis di area pesantrennya. Sementara itu, aparat kepolisian yang tidak segera menangkap MSAT yang berstatus DPO, membuat para santri semakin yakin bahwa MSAT memang tidak bersalah, bahkan mustahil bahwa MSAT berbuat salah.
Lebih parah lagi, para jamaahnya ini justru menyalahkan korban dengan menuduh bahwa korban memfitnah dan menghancurkan pesantren. Para jamaah pun rela meluangkan waktu untuk berdemonstrasi berkali-kali, juga menjadi pagar betis menjaga pesantren selama berbulan-bulan agar MSAT tidak digelandang polisi.
Selain kasus di atas, di Pemekasan, Madura, seorang habib yang menjadi pemimpin pesantren juga melakukan kekerasan seksual kepada santrinya. Para santri dari habib itu pun juga lebih percaya pada habib tersebut, daripada percaya kepada korban ataupun aparat kepolisian yang menerima laporan korban. Hal itu membuat ratusan santri ramai-ramai menggruduk Polres Pamekasan ketika Habib tersebut ditangkap. Para santri meminta agar habib tersebut dibebaskan.
Dari situ, saya bisa belajar dan menyadari bahwa di dalam pesantren memang terdapat sisi gelap yang memang cukup nyata untuk dilihat, yakni budaya taklid buta yang bersumber dari hierarki yang dipupuk dari tahun ke tahun, dan tak kunjung diakhiri. Hal tersebut bisa berpotensi membahayakan jika tidak segera diperbaiki. Bahaya yang timbul bisa berupa menumpulnya nalar kritis, susah mengidentifikasi kebenaran, melanggengkan hierarki sosial yang mengakibatkan hegemoni, diskriminasi, bahkan kekerasan kepada yang lemah.
Tentu, dalam pembacaan saya, taklid tidak menjadi sebuah masalah jika ditempatkan di tempat yang benar (belajar keilmuan) dan bisa memastikan taklid kita kepada seseorang itu tidak diselewengkan. Jika memang benar-benar menginginkan taklid buta, ya sebisa mungkin harus bisa memastikan bahwa kiai atau siapa pun yang dianut itu mutlak benar, tidak mungkin salah. Namun, yang menjadi pertanyaan, sejauh mana kita sebagai manusia bisa memastikan manusia lain untuk menjadi mutlak benar? Bukankah kiai atau siapa pun itu juga manusia seperti kita, yang sama-sama berpotensi untuk jatuh pada lubang kesalahan?
Menganggap kiai atau tokoh pesantren mutlak benar, tidak mungkin salah, tentu menyalahi prinsip dalam Islam yang menganggap manusia sebagai rumah kesalahan, dan prinsip bahwa kesejatian maha benar hanyalah milik Allah. Menganggap keturunan nabi, ulama, dan kiai lebih tinggi derajatnya ketimbang manusia lainnya juga menyalahi prinsip dalam Islam yang memerintahkan untuk memuliakan semua manusia, tanpa memandang ras, keturunan dan agamanya.
Allah sendiri mengingatkan kita semua sebagai manusia bahwa sesungguhnya yang paling mulia di sisi-Nya adalah siapa yang paling taqwa dan paling banyak beramal saleh dalam hidupnya. Semoga tulisan ini bisa memantik diskusi yang lebih mendalam lagi dan bisa menjadi refleksi berpikir untuk kita semua.
Editor: Prihandini N