Peringatan: Tulisan ini mengandung deskripsi kekerasan fisik. Berpotensi memicu trauma.
Budaya kekerasan di pondok pesantren kembali menelan korban. Bintang Balqis Maulana, santri di Pondok Pesantren Tartilul Quran (PPTQ) Al Hanafiyyah, Kediri, Jawa Timur, tewas setelah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh kakak kelasnya secara intens dan brutal. Setelah membaca berita kematian Bintang, saya teringat bahwa saya pernah menjadi korban kekerasan di pondok pesantren.
Mengingat kembali masa kegelapan saat di pondok pesantren, badan saya seketika ngilu. Saya mengenal budaya kekerasan di sana sewaktu baru saja menginjakkan kaki di tempat yang katanya aman dan tenteram itu. Saya menjadi saksi atas tindakan brutal kakak kelas terhadap teman saya. Setiap tengah malam, dada teman saya dipukul keras. Akibatnya teman saya mengaku sesak napas dan sempat dilarikan ke klinik pondok pesantren.
Baca juga:
Saya melaporkan kelakukan si kakak kelas ke pihak pondok pesantren. Namun, masalah ini tidak pernah diselesaikan secara serius oleh mereka. Saya justru dirundung ketakutan setelah melapor. Teman-teman si kakak kelas mendatangi saya secara bergerombol menanyakan mengapa saya sampai melapor. Pertanyaan-pertanyaan intimidatif lainnya datang bersusulan setiap hari. Saya mengalami trauma, dan akhirnya memutuskan pulang ke rumah untuk setidaknya rehat dari perundungan keji.
Sekembalinya ke pondok, suara pukulan keras memburu saya setiap waktu. Saya tidak fokus belajar, menunggu dengan cemas akan tindak kekerasan seperti apa yang harus saya lihat pada malam hari. Saya juga khawatir apakah saya akan menjadi korban kekerasan selanjutnya. Pondok pesantren layaknya hutan. Kita harus menjadi yang terkuat jika tidak ingin diterjang.
Betul saja. Saya merasakan kekerasan dari kakak kelas. Paha saya dihantam benda tumpul berkali-kali hingga membiru. Tak hanya itu, saya ditendang hingga terhempas dan punggung saya menabrak lemari. Dan itu dilakukan oleh si kakak kelas bajingan beberapa kali. Punggung saya nyeri, begitu pula dengan paha saya. Saya berjalan pincang selama tiga hari.
Kekerasan dengan Dalih Keamanan
Penyebab utama terjadinya kekerasan di pondok pesantren adalah senioritas. Para senior diberikan amanah oleh pondok untuk menjaga “keamanan” asrama. Mereka akhirnya bertindak semena-mena atas nama keamanan. Jika si adik kelas melanggar aturan, misalnya tidak menjaga kebersihan, tidak salat berjemaah, atau hal paling remeh, tidak menunduk ketika berjalan di depan si senior, mereka akan ditampar, ditonjok, dipukul dengan benda tumpul hingga diterjang.
Bak terjebak di dalam labirin, budaya senioritas ini tak akan pernah berakhir. Teman-teman saya yang dahulu menjadi korban kekerasan, setelah dinobatkan sebagai “kakak kelas”, mereka beralih menjadi pelaku kekerasan. Tapi, posisi saya jelas. Saya menentang keras perundungan dan kekerasan. Saya tak sudi berada dalam gerbong yang sama dengan pelaku kekerasan.
Selain itu, para ustaz di pondok pesantren juga kerap menggunakan kekerasan untuk membikin jera para santrinya. Saya ditampar dengan keras oleh salah satu ustaz karena telat menghadiri upacara. Dengan mata melotot, si ustaz tampaknya menikmati proses penghukuman itu. Kekerasan menjadi bahasa utama di pondok pesantren.
Sebenarnya, negara telah berupaya untuk mencegah terjadinya kekerasan di lingkungan lembaga pendidikan, salah satunya pondok pesantren, dengan merumuskan Peraturan Menteri PPPA Nomor 8 Tahun 2014 tentang Sekolah Ramah Anak, serta Peraturan Menteri Pendidikam, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Baca juga:
Sayangnya, banyak lembaga pendidikan yang belum menerapkan dua peraturan tersebut. Dalam Permen PPPA tentang Sekolah Ramah Anak disebutkan bahwa lembaga pendidikan harus membuat kebijakan anti-kekerasan yang dibuat bersama oleh pendidik, peserta didik, dan pihak lain yang terlibat dalam pendidikan anak.
Dalam kebijakan itu juga, lembaga pendidikan harus melarang segala bentuk kekerasan, seperti perundungan, larangan pemberian hukuman fisik, dan pemberian hukuman yang menyebabkan psikis peserta didik terganggu.
Sebelum saya mengenyam pendidikan di pondok pesantren, saya membayangkan bahwa hidup di sana akan tenang, aman, dan tenteram. Pondok pesantren, dalam pikiran saya, sudah pasti berpegang teguh kepada Al-Quran dan hadis. Kedua sumber ajaran Islam tersebut tidak mengajarkan kekerasan kepada sesama manusia.
Misalnya saja dalam Surat Al-Maidah ayat 32 yang berbunyi: “Barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.”
Selamat jalan, Bintang. Kami akan terus berusaha menghancurkan budaya kekerasan di pondok pesantren. Pondok pesantren seharusnya menjadi tempat yang nyaman untuk belajar. Orang tua menitipkan kami ke pondok pesantren agar menjadi manusia yang cinta damai, bukan bernafsu melakukan tindakan keji. Istirahatlah dengan damai, Bintang. Cukup sudah budaya kekerasan di pondok pesantren.
Editor: Prihandini N