Terdapat beberapa komponen yang mewarnai nuansa tubuh pesantren. Kehidupan sosial di dalamnya pun tak berbeda jauh dengan kehidupan lain di luar pesantren. Menjawab argumen dalam tulisan Agus Ghulam Ahmad yang berjudul “Mereformasi Pesantren Kita”, kali ini saya ingin membahas lebih dalam tentang hidup dan kehidupan dalam pesantren. Apakah pesantren perlu reformasi besar-besaran?
Untuk menjawab pertanyaan itu, tidak serta merta kita bisa lemparkan jawaban tanpa disertai pijakan kuat, melihat usia pesantren terbilang tua untuk sebuah lembaga pendidikan. Tentu tak sedikit pula konflik telah ia lalui. Mari kita lihat lebih dalam lagi kehidupan pesantren, sebelum gegabah meneriakkan reformasi yang terkesan radikal.
Ilmu Sebagai Dasar Kehidupan
Hidup di pesantren berarti hidup di lingkungan keilmuan Islam. Dalam tulisan sebelumnya, “Keluarga Pesantren yang Merakyat”, saya mengungkapkan bahwa ilmu, di samping memiliki dimensi duniawi juga memiliki dimensi ukhrowi (akhirat). Menjalani ilmu dalam dimensi ukhrowi ini tak semudah dimensi duniawi. Di agama lain pun, ketika suatu hal memiliki hubungan dengan dimensi ukhrowi, maka jalan yang ditempuh tak main-main. Dalam Islam pun begitu.
Di agama Islam, salah satu jalan menuju ilmu itu sendiri adalah dengan menghormati Kyai beserta keluarganya. Sekali lagi hal ini didasari atas penghormatan ilmu. Ajaran itu telah melekat di kehidupan para santri.
Melihat Kyai dan Keluarganya sebagai Tanggung Jawab Keilmuan
Peran adalah pelaksanaan hak dan kewajiban. Berperan sebagai Kyai di pesantren berarti berkewajiban mengajarkan ilmu agama dan tentu saja memiliki hak untuk mendapat kepatuhan dari santrinya. Sedangkan santri memiliki kewajiban untuk patuh terhadap Kyai dan memiliki hak untuk mendapatkan ilmu.
Bagaimana dengan Gus? Gus di sini berperan bukan hanya pendukung pesantren dari luar. Banyak dari mereka bahkan turut ambil bagian dalam ekosistem keilmuan pesantren, baik dengan mengajar seperti orangtuanya, maupun memantau secara langsung kehidupan para santri, maka para santri pun menghormatinya. Dan perlu diketahui, Islam bukan hanya mengatur tata krama santri, tetapi juga Kyai sebagai pengajarnya.
Apakah Kyai tak tahu bahwa Islam mengajarkan kesetaraan? Tentu mereka tahu betul akan hal itu. Sedari putra-putri mereka masih kecil, Kyai telah menanamkan pada mereka bahwa yang membuat orang itu mulia adalah bukan nasab mereka, melainkan ilmu (dimensi duniawi sekaligus ukhrowi) yang mereka miliki. Andaikata Gus atau Ning itu tak dapat meneruskan tradisi keilmuan orangtuanya, dan kebetulan juga tidak ada menantu yang mampu meneruskannya, maka lambat laun pesantren itu akan mati atau pesantren tutup dengan sendirinya, dan hal ini beberapa kali terjadi.
Masih dalam satu benang merah, yaitu ilmu. Andaikata Kyai beserta keluarganya adalah bentuk kelas sosial, maka sudah pasti pesantren itu masih hidup karena masih ada ahli waris yang hidup, walau tradisi keilmuannya sudah lama mati. Dari sini bisa kita lihat bahwa tidak ada pengistimewaan yang bersifat fanatisme buta dan permanen. Dari penjabaran ini, tampak bahwa tudingan terhadap Gus sebagai kelas sosial atau memanfaatkan kedudukan adalah keliru.
Sepenggal Kisah tentang Ilmu dan Nasab
Saya akan menuturkan tentang keagungan ilmu atau keutamaan ilmu ketika bertemu dengan keagungan nasab untuk menyambung sangkut-paut bagaimana kehidupan sosial di pesantren terjadi begitu rupa; diceritakan suatu hari, setelah melaksanakan salat jenazah, Zaid bin Tsabit (salah satu Ulama di kalangan para sahabat Nabi) mendekatkan keledainya untuk kemudian ia tumpangi. Kemudian datanglah Ibnu Abbas (keponakan Nabi) yang mengambil keledai itu. Ibnu Abbas pun menyediakan pijakan kaki bagi Zaid agar ia lebih mudah untuk menaiki keledainya.
Melihat hal itu Zaid bin Tsabit berkata, “tolong menyingkirlah wahai keponakan Rasulullah.”
Ibnu Abbas menjawab, “seperti inilah kita diperintahkan untuk berbuat kepada Ulama dan para pembesar agama.”
Tiba-tiba Zaid mencium tangan Ibnu Abbas dan berkata, “dan beginilah kita diperintahkan berperilaku dengan ahlu bayt Nabi kita.”
Nabi Muhammad S.A.W bersabda: “Berlebih-lebihan dalam memuji bukanlah akhlak orang mukmin, kecuali dalam hal mencari ilmu.”
Mari kita pandang egalitarianisme ala Nabi pada kisah ini. Memang tak segala perkatan Nabi bisa kita perlakukan secara umum. Semuanya punya koridor dan penempatan.
Pesantren sebagai Bagian Integral Masyarakat
Sejarah panjang telah dilalui bersama oleh masyarakat dan pesantren. Lalu, apakah pesantren serta merta melupakan jasa besar masyarakat? Saya berani menegaskan bahwa hal itu keliru.
Di berbagai daerah kita bisa temukan pengajian umum yang diadakan oleh pesantren, banyak atau bahkan semuanya yang hadir berasal dari kalangan masyarakat sekitar dan mayoritas dari kalangan menengah ke bawah. Dalam pengajian itu pula Kyai bukan hanya memberikan bekal ilmu agama, tetapi juga disisipi pemecahan masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Lebih dekat lagi, masyarakat juga dijadikan sebagai mitra ekonomi pesantren. Masyarakat bukan hanya dijadikan sebagai objek ekonomi, tapi juga subjek ekonomi, sehingga di samping mereka diberikan jalan, juga diajak berpikir tentang bagaimana mengembangkan bisnis mereka yang kemudian menjadi swadaya.
Banyak juga lembaga sekolah yayasan dari pesantren yang tak memungut biaya sepeserpun bagi santri yang berasal dari masyarakat sekitar, bahkan kelak mereka akan diberi posisi penting dalam pengembangan pesantren di kemudian hari.
Masyarakat tak dilupakan. Kyai juga masyarakat, Gus juga masyarakat. Tak ada yang kebal hukum, apalagi suci atau minta disucikan dan dihormati, tak ada. Mereka tetap berpotensi salah dan pengkultusan terhadap mereka adalah salah.
Reformasi?
Reformasi itu perlu sebagai syarat kemajuan. Namun, perlu digarisbawahi bahwa reformasi itu harus bertujuan menciptakan keadaan lebih baik dari sebelumnya. Lantas, masihkah perlu reformasi pesantren, melihat sebenarnya kepemilikan pesantren oleh masyarakat telah terjadi dan kelas sosial dalam pesantren itu sebenarnya tidak ada?
Pesantren bukan kekuasaan, melainkan perihal peran dan hubungan sosial. Menempatkan pesantren sebagai ladang kekuasaan tidaklah tepat, karena menimbulkan kesan adanya penaklukan dahulu, baru timbul kepatuhan secara terpaksa.
***
Editor: Ghufroni An’ars
One Reply to “Pesantren: Evaluasi Sebelum Reformasi”